Palembang (ANTARA) - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kemenhub RI, Prasetyo Boeditjahjono terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara atau seumur hidup usai kembali menjadi terdakwa pada kasus korupsi pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Palembang, Sumatera Selatan dengan kerugian negara lebih dari Rp74 miliar. 

Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum itu dibacakan Kasubsi Penuntutan Bidang Pidsus Kejari Palembang Syahran Jafizan pada sidang di Pengadilan Negeri Palembang Kelas 1 A khusus Tipikor, Kamis.

Terdakwa dijerat dengan dakwaan alternatif atau subsideritas, yakni Primair Pasal 2 ayat (1) atau Subsider Pasal 3 juncto Pasal 18, atau kedua Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang Ancaman maksimal hukuman pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun. Selain itu, pelanggar dapat dikenai denda minimal Rp200 juta (Pasal 2) atau Rp50 juta (Pasal 3) dan maksimal Rp1 miliar, serta pidana tambahan seperti perampasan aset atau pencabutan hak jabatan. 

Tak hanya soal korupsi, Prasetyo juga dijerat dengan dakwaan gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 atau Pasal 13 undang-undang yang sama dengan ancaman pidana maksimal Pasal 11 UU Tipikor adalah pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dan denda minimal Rp200 juta hingga Rp1 miliar, sementara ancaman pidana maksimal Pasal 13 UU Tipikor adalah pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp150 juta. Pasal 11 mengatur tentang penerima suap aktif yang terhubung dengan jabatannya, sedangkan Pasal 13 mengatur tentang pihak yang secara sengaja tidak melaporkan gratifikasi yang diterima. 

Di hadapan ketua Majelis hakim Pitriadi SH MH , Prasetyo didakwa JPU tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur hukum dan aturan pengadaan barang dan jasa dari pemerintah.

Selain itu jaksa menyebut bahwa terdakwa Prasetyo Boeditjahjono diduga mengintervensi proses pemilihan penyedia proyek, dengan menetapkan PT Perentjana Djaja sebagai pelaksana pekerjaan tanpa melalui mekanisme pemilihan yang benar.

"Dalam proses tersebut terdapat pengondisian dan kesepakatan mengenai fee yang harus diserahkan oleh PT Perentjana Djaja kepada PT Waskita Karya (Persero) Tbk," ungkap Jaksa Syaran saat membacakan dakwaan dimuka sidang. 

Selain dugaan manipulasi dalam proses pemilihan penyedia, jaksa juga mengungkapkan bahwa dalam pelaksanaan proyek ditemukan sejumlah pekerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai kontrak.

Beberapa item pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh PT Perentjana Djaja ternyata tidak pernah terealisasi, namun tetap dibayarkan penuh sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja.

Akibat perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian yang sangat besar. Berdasarkan hasil audit dan perhitungan ahli, kerugian negara mencapai Rp74.055.156.050.

Jaksa menilai tindakan terdakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi tertentu.

Dakwaan berlapis ini, memperkuat posisi jaksa bahwa terdakwa telah melakukan penyalahgunaan jabatan secara sistematis dan terencana.

Menanggapi dakwaan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa yang diketuai Grees Selly SH menyatakan keberatan dan akan mengajukan eksepsi (nota keberatan) secara tertulis.

"Setelah berkoordinasi dengan terdakwa, kami akan membacakan eksepsi dalam persidangan dua pekan mendatang," ujar Grees singkat seusai sidang.

Sebagai informasi, dalam kasus ini, empat orang terdakwa lain dari pihak swasta sebelumnya telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Palembang pada 6 Mei 2025 lalu.

Mereka adalah Tukijo, Ignatius Joko Herwanto, Septiawan Andri Purwanto, serta Bambang Hariadi Wikanta, yang merupakan pejabat dari PT Perentjana Djaja.

Tiga di antaranya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), sementara satu lainnya, Bambang Hariadi, masih menjalani proses kasasi di Mahkamah Agung.

Sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi dijadwalkan akan digelar dalam dua pekan ke depan. 


Pewarta : M. Mahendra Putra
Editor : Dolly Rosana
Copyright © ANTARA 2025