Jakarta (ANTARA) - Ratusan orang mengular di depan Cendrawasih Hall, Jakarta Convention Center (JCC). Mereka mengincar produk hijab, aksesori, hingga pakaian muslim premium dengan harga miring. Sebagian dari mereka mengantre sejak pukul 04.00 pagi demi mendapat tiket masuk yang dijual di tempat seharga Rp40.000, karena tiket yang dijual online ludes terjual.

Setelah mendapatkan tiket masuk, pengunjung perlu mengantre untuk mendapat giliran berbelanja. Panitia membagi lima kelompok belanja dalam sehari. Setiap kelompok berkesempatan belanja hanya dalam waktu satu jam.

Dalam waktu yang sempit tersebut, para pengunjung yang mayoritas adalah pelaku jasa pembelian barang untuk orang lain atau "jastip", meraup apa yang ada di depan mata tanpa pilih-pilih. Sambil menumpuk gunungan hijab di depan mata, pengunjung sibuk melihat telepon genggam untuk mengirim gambar dan berkomunikasi dengan para calon pelanggan secara virtual.

Produk-produk hijab adalah mangsa utama mereka. Selain hijab, terdapat pakaian, aksesori, hingga alas kaki. Mereka yang bermodal ratusan juta, langsung memboyong belasan karung belanjaan ke kasir. Sedangkan yang bermodal pas-pasan, membawa tumpukan hijab ke sudut ruangan untuk memilah mana saja yang diminati oleh para pelanggan.

Secara langsung “jastipers” atau pelaku usaha jastip berhubungan dengan para pelanggan yang tergabung dalam grup WhatsApp. Mengirim foto yang menampilkan harga yang sudah dinaikkan untuk mengambil keuntungan, para anggota di grup tersebut pun dapat langsung memilih mana yang mereka minati untuk kemudian melakukan transfer ke jastipers.
Ketika waktu berbelanja sudah habis, para pelaku jastip kemudian ikut kelompok belanja selanjutnya guna kembali mengulangi proses berbelanja dari awal. Pelaku usaha jastip juga datang dari berbagai daerah di luar Kota Jakarta. Seorang pelaku asal Indramayu bernama Ratna, rela menginap tiga malam di Jakarta khusus untuk menghadiri pameran produk premium tersebut.

Para pelaku jastip meyakini, produk hijab yang mereka buru dengan penuh perjuangan tersebut akan laku keras. Terbukti, seorang jastip bernama Orin mengaku baru pertama kalinya membuka jasa titip bermodal ratusan juta rupiah dan langsung balik modal bahkan untung besar dalam waktu hanya kurang dari tiga hari.

Melalui tangan-tangan mereka, produk berkualitas jenama nasional itu sampai ke rumah para konsumen. Membayar produk hijab dengan harga jauh lebih murah namun merek premium, konsumen boleh jadi senang dan percaya diri saat memakainya. Secara tidak langsung, para pelaku usaha jastip itu menjadi pemasar produk-produk nasional.

Sementara itu, ramai di dunia maya, jastip lainnya "live shopping" dari berbagai negara di dunia, yang menjajakan produk-produk bermerek global dengan harga yang juga sedang miring. Promo "Black Friday" atau cuci gudang akhir tahun merupakan momen yang dinanti para jastipers barang impor untuk memborong jenama global dan menjualnya di dalam negeri.

Dengan harga relatif lebih murah, namun tetap pada angka jutaan rupiah, lantas saja konsumen Indonesia gelap mata memborong dagangan yang diboyong dari Bangkok, Korea Selatan, atau bahkan Amerika Serikat tersebut. Meskipun terdapat waktu tunggu sampai barang tiba, para pelanggan tetap tak segan melakukan transfer.

Hal itu membuat barang "branded" impor yang dulunya sulit terjamah bagi kalangan ekonomi menengah, kini didapat dengan mudah. Hanya dengan menggunakan ujung jempol dan tanpa perlu beli tiket pesawat sampai berlelah.
Mata pisau perdagangan

Fenomena jastip tumbuh seiring dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang kian berubah. Selain hadirnya belanja melalui situs resmi dan pasar dalam jaringan atau e-commerce, kini konsumen dihadapkan pada pilihan cara berbelanja lain, yakni melalui jastip.

Prinsip utama dalam berbelanja menggunakan jastip adalah kepercayaan. Prinsip ini juga yang membuat jastip membuat grup WhatsApp, di mana anggotanya mayoritas mengenal pelaku jastip, atau mendapat rekomendasi dari anggota lain di grup jastip tersebut.

Pelaku usaha jastip juga biasanya mengajak para calon konsumennya melalui media sosial dengan mencantumkan link yang akan terhubung langsung dengan grup di media sosial yang telah tersedia. Melalui grup tersebut, seorang jastip akan membagikan informasi soal barang yang sedang dijual setiap saat. Sesekali mereka juga melakukan "live shopping" melalui akun media sosial dan para konsumen dapat langsung menyampaikan minat untuk produk yang diinginkan.

Terdapat beberapa perbedaan antara belanja online dengan menggunakan jasa titip. Jika e-commerce menampilkan macam-macam produk dan konsumen tinggal memilih yang cocok, sementara untuk usaha jastip mereka bisa meminta produk yang diinginkan sejak awal, kemudian pelaku usaha akan mencarikan produk tersebut sampai dapat.

Adapun tarif untuk setiap jasa titip bervariasi, tergantung usaha untuk mendapatkan produk. Untuk produk lokal yang dibeli di Indonesia, para jastip biasanya mematok tarif Rp30.000 ke atas. Sementara untuk produk impor, tarif jasanya bisa sampai ratusan ribu untuk setiap produk.

Dengan modal ratusan juta hingga miliaran, tangan-tangan jastip kini berjasa dalam perdagangan produk-produk Indonesia. Namun di sisi lain, jastip juga berperan dalam maraknya produk-produk impor yang masuk ke tanah air tanpa bea masuk.

Produk impor yang masuk lewat koper-koper para jastiper tanpa bea masuk tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pengusaha ritel Indonesia. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bahkan mengkritik keras fenomena tersebut.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah memperketat pengawasannya di pelabuhan, dengan menggandeng Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Untuk barang impor lewat jastip seharga 500 dolar AS atau lebih akan dikenakan pajak bea masuk.

Diharapkan kebijakan tersebut mampu membendung masuknya barang impor mewah dengan harga murah tersebut ke Indonesia secara ilegal. Jastip yang sedianya adalah Warga Negara Indonesia (WNI) boleh jadi hanya mengambil peluang usaha dari produk yang dijajakan di dalam maupun luar negeri.

Adapun konsumsi masyarakat Indonesia yang terbilang tinggi, menjadi gayung bersambut bagi para jastip untuk memasok berbagai produk yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah, agar kebutuhan konsumsi masyarakat dapat ditangkap sebagai peluang untuk mendongkrak produk-produk nasional melalui tangan para jastip.

Ketika produk itu berasal dari luar negeri, seyogyanya masuk dengan cara yang baik dan memenuhi aturan. Dengan demikian, baik para jastipers maupun masyarakat Indonesia sama-sama saling diuntungkan.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Fenomena "jastip", pisau bermata dua perdagangan Indonesia

Pewarta : Sella Panduarsa Gareta
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024