Palembang (ANTARA) - Pantau Gambut, organisasi non pemerintah berjejaring di sembilan provinsi, yang fokus pada riset serta advokasi dan kampanye untuk perlindungan dan keberlanjutan lahan gambut di Indonesia, gencar melakukan kampanye untuk mencegah dan melindungi lahan gambut di Sumatera Selatan.

"Melindungi dan mencegah kerusakan lahan gambut menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan perubahan iklim, untuk itu kami gencar melakukan kampanye agar dapat meningkatkan partisipasi semua pihak dan lapisan masyarakat melakukan pencegahan dan perlindungan gambut," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut Wahyu Perdana, di Palembang, Ahad.



Dia menjelaskan, melindungi dan mencegah kerusakan lahan gambut menjadi sangat penting karena negara ini memiliki luasan gambut tropis terbesar di dunia mencapai 13,43 juta hektare yang tersebar di tiga pulau besar yakni Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 30 persen karbon dunia atau sekitar 57 gigaton karbon.

Cadangan karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut akan terlepas ke udara jika lahan gambut dikeringkan atau dialihfungsikan.

Gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer akan menahan panas dari matahari sehingga meningkatkan suhu bumi.

Proses yang dikenal sebagai efek rumah kaca ini dapat mempercepat laju perubahan iklim.

Oleh sebab itu, melindungi dan mencegah kerusakan lahan gambut menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan perubahan iklim, jelasnya.

Menurut dia, kewajiban untuk mengembalikan lahan gambut yang rusak menjadi hutan mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2016 jo. PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Sesuai aturan itu kewajiban pencegahan, penanganan saat kebakaran, hingga pemulihan area yang telah terbakar menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, bukan malah dilimpahkan kepada masyarakat, kata Wahyu.

Sementara Data Analyst Pantau Gambut Almi Ramadhi menjelaskan bahwa berdasarkan studi 'Gelisah di Lahan Basah' banyak infrastruktur pembasahan seperti sekat kanal dan sumur bor yang rusak.
Dari beberapa sampel titik pengamatan studi itu juga ditemukan gambut yang kering karena tidak memenuhi standar tinggi muka air tanah (TMAT) tidak lebih dari 40 cm.

Pemantauan restorasi gambut dilakukan pada kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang tersebar di tujuh provinsi yakni Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.

Lokasi studi dibedakan berdasarkan dua jenis lokasi yakni area konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan dan area non-konsesi yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan restorasi gambut.

Tercatat 95 persen dari 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar (burned area) dan kehilangan tutupan pohon (Tree Cover Loss/TCL), telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar. Sawit menjadi komoditas paling dominan.

Kondisi yang jauh memprihatinkan ditemukan pada area konsesi perusahaan, hanya satu persen dari 240 titik sampel area konsesi yang kembali menjadi hutan meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon.

Ironisnya, kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan di Sumsel yang kerap memiliki masalah konflik sosial.

Sesuai dengan Permen LHK Nomor P.16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, baik perusahaan maupun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merestorasi gambut di area otoritasnya.

Perusahaan bertanggung jawab untuk menjaga dan merestorasi gambut di area konsesinya. Sementara, pemerintah pusat (KLHK dan BRGM) maupun daerah bertanggung jawab untuk
melindungi dan merestorasi area non-konsesi yang terbagi menjadi kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi, taman hutan raya, dan areal penggunaan lain (APL), ujar Almi Ramadhi.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pantau Gambut gencar kampanye lindungi lahan gambut di Sumsel

Pewarta : Yudi Abdullah
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024