Jakarta (ANTARA) - Peneliti ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf R Manilet memperkirakan BI akan mempertahankan kebijakan suku bunga acuan atau BI-Rate di level 6,25 persen.
"BI saya kira masih akan berada pada posisi melihat situasi dan kondisi, dan oleh karena itu akan mempertahankan kebijakan suku bunga acuan di level yang sama dan tidak menaikkan terutama untuk rapat dewan Gubernur di Mei 2024," kata Yusuf kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Ia menuturkan keputusan BI untuk menaikkan suku bunga acuan di rapat Dewan Gubernur BI April 2024, dampak yang diberikan mulai terasa terutama dalam jangka pendek.
Depresiasi nilai tukar rupiah yang sempat terjadi dan menyentuh level psikologis Rp16.000 per dolar AS ketika itu sudah mulai melandai dan kembali kepada level Rp15.000.
"Ini merupakan salah satu dampak jangka pendek yang diberikan dari kenaikan suku bunga acuan BI di periode sebelumnya," tutur Yusuf.
Meski demikian, masih ada tantangan yang akan dihadapi oleh BI terutama dalam memastikan stabilitas nilai tukar rupiah. Salah satu tantangan tersebut adalah neraca dagang yang berpotensi akan mengecil surplusnya dan secara umum neraca pembayaran yang sudah kembali mengalami defisit di kuartal I-2024.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca perdagangan Indonesia berlanjut pada April 2024 sebesar 3,56 miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan dengan surplus pada Maret 2024 sebesar 4,58 miliar dolar AS.
Neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I-2024 mencatat defisit 6,0 miliar dolar AS dan posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2024 tercatat tetap tinggi sebesar 140,4 miliar dolar AS, atau setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Sementara untuk peluang penurunan BI-Rate pada 2024, akan ditentukan dari seberapa mampu kebijakan suku bunga acuan bisa meredam permasalahan seperti nilai tukar di sisa tahun 2024.
"Karena sekali lagi yang menjadi perhatian dari BI adalah kenaikan harga yang kemudian bisa muncul dari depresiasi nilai tukar rupiah," ujarnya.
Di sisi lain faktor dari suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed juga akan mempengaruhi keputusan BI dalam menurunkan atau mempertahankan BI-Rate.
"Selama kemudian The Fed tidak melakukan penyesuaian suku bunga acuan maka peluang BI dalam menurunkan suku bunga acuan juga relatif semakin kecil," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: i 6,25 persen
"BI saya kira masih akan berada pada posisi melihat situasi dan kondisi, dan oleh karena itu akan mempertahankan kebijakan suku bunga acuan di level yang sama dan tidak menaikkan terutama untuk rapat dewan Gubernur di Mei 2024," kata Yusuf kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Ia menuturkan keputusan BI untuk menaikkan suku bunga acuan di rapat Dewan Gubernur BI April 2024, dampak yang diberikan mulai terasa terutama dalam jangka pendek.
Depresiasi nilai tukar rupiah yang sempat terjadi dan menyentuh level psikologis Rp16.000 per dolar AS ketika itu sudah mulai melandai dan kembali kepada level Rp15.000.
"Ini merupakan salah satu dampak jangka pendek yang diberikan dari kenaikan suku bunga acuan BI di periode sebelumnya," tutur Yusuf.
Meski demikian, masih ada tantangan yang akan dihadapi oleh BI terutama dalam memastikan stabilitas nilai tukar rupiah. Salah satu tantangan tersebut adalah neraca dagang yang berpotensi akan mengecil surplusnya dan secara umum neraca pembayaran yang sudah kembali mengalami defisit di kuartal I-2024.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca perdagangan Indonesia berlanjut pada April 2024 sebesar 3,56 miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan dengan surplus pada Maret 2024 sebesar 4,58 miliar dolar AS.
Neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I-2024 mencatat defisit 6,0 miliar dolar AS dan posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2024 tercatat tetap tinggi sebesar 140,4 miliar dolar AS, atau setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Sementara untuk peluang penurunan BI-Rate pada 2024, akan ditentukan dari seberapa mampu kebijakan suku bunga acuan bisa meredam permasalahan seperti nilai tukar di sisa tahun 2024.
"Karena sekali lagi yang menjadi perhatian dari BI adalah kenaikan harga yang kemudian bisa muncul dari depresiasi nilai tukar rupiah," ujarnya.
Di sisi lain faktor dari suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed juga akan mempengaruhi keputusan BI dalam menurunkan atau mempertahankan BI-Rate.
"Selama kemudian The Fed tidak melakukan penyesuaian suku bunga acuan maka peluang BI dalam menurunkan suku bunga acuan juga relatif semakin kecil," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: i 6,25 persen