Jakarta (ANTARA) -
Ia menegaskan, apabila transformasi kesehatan tidak diiringi dengan pengendalian tembakau, maka hasilnya akan sia-sia.
"Seperti menabur garam di laut, untuk upaya mengendalikan penyakit tidak menular seperti hipertensi, jantung, atau diabetes, kalau persentase merokoknya masih tinggi," ucapnya.
Ia mengemukakan, pemerintah daerah, khususnya dinas kesehatan saat ini memahami bahwa transformasi kesehatan sebagai upaya penguatan dan percepatan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional, dalam implementasinya perlu disinkronkan dengan tugas-tugas wajib di daerah sesuai dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.
"Sesuai dengan amanah UU nomor 17 tahun 2023, ini merupakan pedoman final dalam kesehatan, untuk saat ini daerah menunggu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), utamanya yang mengatur Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dan berkaitan dengan sinkronisasi anggaran pusat dan daerah," tuturnya.
Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes) Mohamad Subuh menyarankan adanya Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan untuk menghentikan penjualan rokok eceran agar bisa membatasi perokok pemula.
"Kami menginginkan di PP yang baru sudah mengatur masalah penjualan rokok eceran, karena DKI Jakarta pernah mengadakan survei, 70 persen perokok pemula itu dapatnya dari rokok eceran," kata Subuh dalam diskusi "Refleksi Dua Tahun Transformasi Kesehatan" di Jakarta, Senin.
Subuh juga menekankan agar pemerintah tetap fokus membatasi perokok pemula ini, selain dengan membuat PP yang mengatur tentang rokok eceran, juga membesarkan persentase peringatan kesehatan bergambar atau picture health warning (phw) dalam kemasan rokok sebesar minimal 75 persen.
"Indonesia adalah negara yang paling kecil di bungkus rokok persentase phw-nya. Timor Leste, Nepal, Selandia Baru bahkan mencapai 92 persen. India, Thailand, Australia, Srilanka mencapai 85 persen. Indonesia hanya 40 persen. Jadi, tuntutan pegiat antitembakau, kita tawarkan Indonesia 75 persen dulu deh," ujar dia.
Ia menegaskan, apabila transformasi kesehatan tidak diiringi dengan pengendalian tembakau, maka hasilnya akan sia-sia.
"Seperti menabur garam di laut, untuk upaya mengendalikan penyakit tidak menular seperti hipertensi, jantung, atau diabetes, kalau persentase merokoknya masih tinggi," ucapnya.
Ia mengemukakan, pemerintah daerah, khususnya dinas kesehatan saat ini memahami bahwa transformasi kesehatan sebagai upaya penguatan dan percepatan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional, dalam implementasinya perlu disinkronkan dengan tugas-tugas wajib di daerah sesuai dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.
"Sesuai dengan amanah UU nomor 17 tahun 2023, ini merupakan pedoman final dalam kesehatan, untuk saat ini daerah menunggu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), utamanya yang mengatur Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dan berkaitan dengan sinkronisasi anggaran pusat dan daerah," tuturnya.