Jakarta (ANTARA) - Sukses Piala Dunia Wanita 2023, sepekan lalu, membuat Australia dimabuk optimisme bahwa mereka kini lebih siap menyelenggarakan Piala Dunia Putra.

Selama empat pekan dari 20 Juli sampai 20 Agustus 2023, sekitar dua miliar pasang mata di seluruh dunia tercurah kepada Piala Dunia Wanita edisi kesembilan yang dijuarai Spanyol itu.

Dua juta penggemar sepak bola hadir langsung di 10 stadion di lima kota di Australia dan empat kota di Selandia Baru tersebut. Itu 600 ribu lebih banyak dibandingkan Piala Dunia Wanita 2019.

FIFA menyatakan Piala Dunia Wanita yang untuk pertama kalinya mempertemukan 32 tim itu, telah melewati ekspektasi dan membuka jalan untuk semakin populernya sepak bola wanita di seluruh dunia.


Asutralia puas

Australia lebih dari sekadar puas, karena mereka kini memiliki modal dalam membidik turnamen lebih besar, Piala Dunia Putra.

Australia sudah menyelenggarakan hampir semua perhelatan olahraga bergengsi di dunia, termasuk Olimpiade Musim Panas pada 1956 dan 2000, tapi menyelenggarakan Piala Dunia sepak bola putra membuat mereka semakin lengkap.

Pada 20 Juni 2019, tepatnya saat Federasi Sepak Bola Australia (FFA) dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) bertemu dalam pertemuan Dewan AFF di Laos, Australia menjajaki rencana menggandeng Indonesia untuk menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2034.
Australia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, setelah pada proses bidding 2010, FIFA memenangkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia edisi itu.

Kini, Australia mencoba lagi peruntungan mereka dengan membidik Piala Dunia 2034.

Edisi 2026 sudah menjadi milik Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko, sedangkan Piala Dunia 2030 tengah diperebutkan Spanyol-Portugal-Maroko (UEFA Eropa-CAF Afrika) dan Uruguay-Argentina-Chile-Paraguay (Conmbebol Amerika Selatan).

Selain akan masih bersama Selandia Baru, Indonesia menjadi pilihan ideal Australia.


Sudah lazim

Persoalan jarak menjadi salah satu pertimbangan, karena jarak Australia ke Indonesia, lebih dekat ketimbang Australia ke negara-negara Asia Tenggara lain, termasuk Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam.

Menyelenggarakan Piala Dunia FIFA di lebih dari satu negara sudah lazim sejak Jepang dan Korea Selatan melakukannya pada 2002.

Bahkan tiga tahun nanti pada 2026, Piala Dunia akan digelar di tiga negara Amerika Utara (Concacaf), yakni Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko.

Sebelum itu, Euro 2020 yang diadakan telat setahun karena pandemi, bahkan diadakan di 11 negara, yang membentang dari Glasgow di Inggris sampai Baku di Azerbaijan sejauh 5.300 km, dan dari Seville di Spanyol sampai St Petersburg di Rusia sejauh 4.480 km.

Sementara dalam Piala Dunia 2026, turnamen ini akan membentang sejauh 4.790 km, dari tempat terjauh di utara di Vancouver, Kanada, sampai venue paling selatan di Mexico City, Meksiko.

Oleh karena itu, tak aneh jika Australia menggandeng Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, walaupun jaraknya bisa lebih jauh lagi. Misal, jarak Jakarta ke Sydney saja mencapai 5.490 km.

Indonesia juga memiliki basis penggemar sepak bola yang besar yang juga menjadi pasar menarik untuk industri sepak bola, di mana, menurut penelitian Trade Desk pada September 2022, 78 persen penduduk Indonesia adalah penggemar sepak bola.

Indonesia sendiri berencana mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA bersama negara-negara ASEAN lain. Tapi mungkin, lebih baik jika menggandeng pula Australia dan Selandia Baru, jika konstelasi suara anggota federasi sepak bola kawasan menjadi sangat menentukan.

Jika tiga kawasan ini mengajukan diri menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2034, maka minimal sudah mengantongi 25 suara (11 suara AFF, 13 suara Oseania, dan satu suara Australia).

Angka itu masih jauh dari minimal separuh dari 211 anggota FIFA yang dibutuhkan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Oleh karena itu butuh suara tambahan dari konfederasi kawasan lain.

Tantangan Australia, Indonesia, dan ASEAN menjadi lebih berat lagi, karena Arab Saudi yang sama-sama anggota Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) juga membidik Piala Dunia 2034, setelah gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026.

Saudi, bahkan menggandeng Mesir dan Yunani. Ini adalah strategi Saudi guna mendapatkan dukungan dari konfederasi kawasan, selain AFC. Mesir adalah anggota Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) yang total memiliki 54 anggota, sedangkan Yunani berasal dari badan sepak bola Eropa (UEFA) yang beranggotakan 55 negara.

Jadi, jika prosesnya semulus dalam taksiran, maka dari konfederasi itu saja, Saudi mendapatkan jaminan 109 suara. Saudi sendiri tengah habis-habisan guna menjadi tuan rumah Piala Dunia, termasuk menduniakan kompetisi lokal mereka, termasuk dengan membeli bintang-bintang dunia, semacam Cristiano Ronaldo.


Keadilan kawasan

Namun demikian, keadilan kawasan kadang menjadi bahan pertimbangan.

Salah satu kegagalan Saudi menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026 adalah pandangan dari FIFA dan AFC bahwa benua yang sama (Asia) tak dapat menyelenggarakan turnamen itu secara berturut-turut.

Jika keadilan kawasan menjadi pertimbangan, seharusnya 2034 adalah jatah Afrika, yang baru sekali menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2010 di Afrika Selatan.

Tapi jika mau benar-benar adil, maka Oseania justru harus menjadi tuan rumah Piala Dunia berikutnya, karena kawasan ini belum pernah menjadi penyelenggara Piala Dunia. Apalagi jika Piala Dunia 2030 dimenangkan Spanyol, Portugal, dan Maroko di mana Maroko adalah salah satu wakil Afrika.

Australia memang tak lagi masuk Oseania karena sudah pindah ke AFC, tetapi secara geografis negara itu ada di Oseania. Di sini, Australia bisa "meminjam" Selandia Baru untuk "jatah" Oseania.

Namun, kedua negara tak cukup hanya dengan Oseania, mereka harus mendapatkan dukungan dari konfederasi lain, minimal AFC.

Jika Asia Tenggara (AFF) yang menjadi bagian AFC, dan Oseania akhirnya "berkoalisi" menjadi tuan rumah Piala Dunia, maka dua format "koalisi", yakni Australia-Selandia Baru-Indonesia dan Australia-Selandia Baru-ASEAN, mesti bergerilya mencari dukungan dari kawasan lain.

Lobi menjadi keharusan, dan sangat mungkin lebih dari sekadar sepak bola, karena juga bisa lewat aspek-aspek lain, termasuk diplomasi.

Walaupun demikian, kesiapan infrastruktur dan rekam jejak dalam menyelenggarakan turnamen FIFA, selain kualitas sepak bola dan atmosfer sepak bola, tetap modal utama.

Australia dan Selandia Baru baru saja mendapatkan rekam jejak itu, dari Piala Dunia Wanita 2023, walau mereka pernah menyelenggarakan turnamen level FIFA lainnya, masing-masing Piala Dunia U20 pada 1993 dan Piala Dunia U17 pada 1999.

ASEAN, khususnya Indonesia, bakal segera mendapatkannya dari Piala Dunia U17 diadakan mulai 10 November tahun ini.

Malaysia sudah berpengalaman menggelar Piala Dunia U20  pada1997, sedangkan Thailand akan menggelar Piala Dunia Wanita U20 pada 2024.

Semoga Indonesia sukses menggelar Piala Dunia U17 pada 2023, baik dari sudut prestasi maupun penyelenggaraan, karena itu bakal menjadi modal bagus dalam melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, entah bersama Australia dan Selandia Baru, atau ASEAN, atau bersama ketiga kawasan itu sekaligus.

 

Pewarta : Jafar M Sidik
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024