Jakarta (ANTARA) - Pengkampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar mengatakan daur ulang saja tidak cukup untuk mengatasi masalah sampah plastik, sebab hanya sebagian kecil produk plastik yang dapat didaur ulang yakni sekitar 9-12 persen dari yang diproduksi.
"Bergantung pada daur ulang saja itu sama sekali tidak cukup, karena ada 90 persen plastik yang diproduksi itu berakhir mencemari lingkungan, dibakar dan menjadi polusi udara, jadi emisi gas beracun, dan jadi mikroplastik yang tercecer ke mana-mana," kata Ghofar kepada ANTARA, Selasa.
Untuk itu, menurut Ghofar, daur ulang harus diiringi dengan upaya lain.
Dia mengatakan, pada tahun 2022 negara-negara di dunia telah bersepakat membuat perjanjian untuk menangani masalah sampah plastik yang disebut Global Plastic Treaty.
Adapun yang dirancang dalam perjanjian tersebut adalah penanganan masalah sampah plastik dari hulu ke hilir. Di hulu, upaya yang didorong adalah pembatasan produksi plastik.
"Jenis plastik seperti polistirena, styrofoam, sachet, tas kresek, itu akan dilarang atau sudah dilarang di beberapa negara dan seharusnya dilarang di negara-negara lain juga termasuk Indonesia," kata Ghofar.
"Mustahil kan mengatasi pencemaran kalau sumber pencemarannya tidak dibatasi," tandasnya.
Di tengah, Ghofar mengatakan, perlu ada upaya untuk mendorong bisnis yang lebih ramah lingkungan, seperti mengganti kemasan sachet menjadi kemasan lain yang lebih mudah didaur ulang atau mudah terurai oleh alam.
"Pelaku usaha yang terlibat dalam mata rantai plastik baik sebagai material tunggal maupun kemasan produk, dia harus transisi untuk tidak lagi menggunakan jenis plastik tertentu seperti polistirena, sachet, multilayer sachet," ujarnya.
Sementara di hilir, perlu ada penguatan upaya untuk meningkatkan collection rate atau pengumpulan sampah plastik, guna meningkatkan recycling rate (tingkat daur ulang).
"Problem selama ini, orang bicara produknya bisa didaur ulang, tapi siapa yang mengumpulkan? siapa yang daur ulang? enggak dibicarakan. Makanya, di hilirnya, dinaikkan lagi collection ratenya dengan sistem retur misalnya, deposit, lalu naikkan angka recycle-nya," saran Ghofar.
Menurutnya, upaya-upaya tersebut harus dilakukan secara beriringan agar penanganan masalah sampah plastik dapat lebih efektif.
"Tiga layer itu (harus dilakukan). Kalau hanya satu layer, tidak akan menyelesaikan persoalan. Kalau cuma di hilir mengumpulkan dan daur ulang tapi produksinya enggak dibatasi dan pelaku usaha enggak berubah, ya, berat di hilirnya," pungkas Ghofar.
"Bergantung pada daur ulang saja itu sama sekali tidak cukup, karena ada 90 persen plastik yang diproduksi itu berakhir mencemari lingkungan, dibakar dan menjadi polusi udara, jadi emisi gas beracun, dan jadi mikroplastik yang tercecer ke mana-mana," kata Ghofar kepada ANTARA, Selasa.
Untuk itu, menurut Ghofar, daur ulang harus diiringi dengan upaya lain.
Dia mengatakan, pada tahun 2022 negara-negara di dunia telah bersepakat membuat perjanjian untuk menangani masalah sampah plastik yang disebut Global Plastic Treaty.
Adapun yang dirancang dalam perjanjian tersebut adalah penanganan masalah sampah plastik dari hulu ke hilir. Di hulu, upaya yang didorong adalah pembatasan produksi plastik.
"Jenis plastik seperti polistirena, styrofoam, sachet, tas kresek, itu akan dilarang atau sudah dilarang di beberapa negara dan seharusnya dilarang di negara-negara lain juga termasuk Indonesia," kata Ghofar.
"Mustahil kan mengatasi pencemaran kalau sumber pencemarannya tidak dibatasi," tandasnya.
Di tengah, Ghofar mengatakan, perlu ada upaya untuk mendorong bisnis yang lebih ramah lingkungan, seperti mengganti kemasan sachet menjadi kemasan lain yang lebih mudah didaur ulang atau mudah terurai oleh alam.
"Pelaku usaha yang terlibat dalam mata rantai plastik baik sebagai material tunggal maupun kemasan produk, dia harus transisi untuk tidak lagi menggunakan jenis plastik tertentu seperti polistirena, sachet, multilayer sachet," ujarnya.
Sementara di hilir, perlu ada penguatan upaya untuk meningkatkan collection rate atau pengumpulan sampah plastik, guna meningkatkan recycling rate (tingkat daur ulang).
"Problem selama ini, orang bicara produknya bisa didaur ulang, tapi siapa yang mengumpulkan? siapa yang daur ulang? enggak dibicarakan. Makanya, di hilirnya, dinaikkan lagi collection ratenya dengan sistem retur misalnya, deposit, lalu naikkan angka recycle-nya," saran Ghofar.
Menurutnya, upaya-upaya tersebut harus dilakukan secara beriringan agar penanganan masalah sampah plastik dapat lebih efektif.
"Tiga layer itu (harus dilakukan). Kalau hanya satu layer, tidak akan menyelesaikan persoalan. Kalau cuma di hilir mengumpulkan dan daur ulang tapi produksinya enggak dibatasi dan pelaku usaha enggak berubah, ya, berat di hilirnya," pungkas Ghofar.