Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berkomitmen menindak tegas setiap penambang timah ilegal yang terbukti merusak lingkungan dan ekosistem keanekaragaman hayati di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
"Ini konsistensi dan komitmen KLHK dalam menindak pelaku kejahatan yang mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat," imbuhnya.
Aktivitas penambangan timah ilegal di Provinsi Babel, kata dia, termasuk kejahatan sangat serius lantaran menyebabkan lahan-lahan menjadi kritis dan kehidupan penduduk lokal menjadi terganggu.
Pemerintah setempat mencatat sebaran lahan rusak akibat penambangan timah ilegal telah mencapai 62.423 hektare. Selain itu, kata dia, negara juga berpotensi rugi akibat para pelaku tambang timah ilegal tak membayar royalti dan iuran tetap.
Dalam menindak penambang timah ilegal, lanjutnya, KLHK tidak hanya fokus terhadap kasus pidana saja, tetapi juga kasus perdata.
Beberapa regulasi yang bisa menjerat pelaku tambang timah ilegal antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Regulasi itu memuat ancaman sanksi penjara maksimal hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Bahkan bila ada fasilitas pemurnian atau smelter yang kedapatan membeli timah dari penambang ilegal, pemerintah dapat mencabut izin usaha smelter tersebut.
Rasio mengungkapkan pihaknya pernah menggugat perusahaan tambang di Belitung Timur dengan gugatan perdata senilai Rp35 miliar. Sanksi itu telah dibayar oleh perusahaan tergugat.
Ia menegaskan harus ada efek jera bagi pada pelaku pertambangan timah ilegal. Oleh karena itu penindakan tegas yang dilakukan KLHK merupakan bentuk pencegahan agar pelaku merasakan efek jera atas aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan ekosistem keanekaragaman hayati.
"Tidak boleh ada orang yang mengambil keuntungan dengan merugikan orang lain, termasuk mengorbankan lingkungan hidup," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani dalam konfirmasi di Jakarta, Rabu.
"Ini konsistensi dan komitmen KLHK dalam menindak pelaku kejahatan yang mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat," imbuhnya.
Aktivitas penambangan timah ilegal di Provinsi Babel, kata dia, termasuk kejahatan sangat serius lantaran menyebabkan lahan-lahan menjadi kritis dan kehidupan penduduk lokal menjadi terganggu.
Pemerintah setempat mencatat sebaran lahan rusak akibat penambangan timah ilegal telah mencapai 62.423 hektare. Selain itu, kata dia, negara juga berpotensi rugi akibat para pelaku tambang timah ilegal tak membayar royalti dan iuran tetap.
Dalam menindak penambang timah ilegal, lanjutnya, KLHK tidak hanya fokus terhadap kasus pidana saja, tetapi juga kasus perdata.
Beberapa regulasi yang bisa menjerat pelaku tambang timah ilegal antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Regulasi itu memuat ancaman sanksi penjara maksimal hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Bahkan bila ada fasilitas pemurnian atau smelter yang kedapatan membeli timah dari penambang ilegal, pemerintah dapat mencabut izin usaha smelter tersebut.
Rasio mengungkapkan pihaknya pernah menggugat perusahaan tambang di Belitung Timur dengan gugatan perdata senilai Rp35 miliar. Sanksi itu telah dibayar oleh perusahaan tergugat.
Ia menegaskan harus ada efek jera bagi pada pelaku pertambangan timah ilegal. Oleh karena itu penindakan tegas yang dilakukan KLHK merupakan bentuk pencegahan agar pelaku merasakan efek jera atas aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan ekosistem keanekaragaman hayati.