Jakarta (ANTARA) -
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada awal pekan melemah akibat naiknya imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS).
Rupiah pada Senin pagi turun 11 poin atau 0,07 persen ke posisi Rp14.923 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.912 per dolar AS.
"Rupiah diperkirakan melemah karena naiknya imbal hasil obligasi AS menyusul rilis data penggajian nonpertanian (Non-Farm Payroll/NFP)," kata Analis DCFX Futures Lukman Leong saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS dua tahun, yang biasanya bergerak sejalan dengan ekspektasi suku bunga, naik 13 basis poin (bps) menjadi 3,951 persen, sedangkan imbal hasil obligasi 10 tahun naik 8,8 bps menjadi 3,378 persen.
Menurut Lukman, kenaikan imbal hasil obligasi AS terjadi setelah data NFP terbaru menunjukkan sektor tenaga kerja Negeri Paman Sam yang masih ketat sehingga memicu kembalinya kekhawatiran akan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi.
Data Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (7/4) menunjukkan bahwa data NFP meningkat 236.000 pekerjaan bulan lalu, sedikit di bawah 239.000 yang diperkirakan oleh para ekonom dalam jajak pendapat Reuters.
Laporan yang diawasi ketat juga menunjukkan bahwa kenaikan upah tahunan melambat tetapi tetap terlalu tinggi untuk konsisten dengan target inflasi bank sentral AS sebesar 2 persen.
Namun, kata Lukman, pelemahan rupiah akan terbatas pada hari ini dengan investor menantikan data cadangan devisa Indonesia yang diperkirakan kembali meningkat.
"Rupiah berpotensi berbalik menguat apabila data lebih baik dari perkiraan," tambahnya.
Oleh karena itu, dia memprediksi kurs rupiah bergerak di kisaran Rp14.875 per dolar AS hingga Rp15.000 per dolar AS.
Pada Kamis (6/4) rupiah ditutup naik 20 poin atau 0,13 persen ke posisi Rp14.912 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya, yaitu Rp14.932 per dolar AS