Palembang, Sumatera Selatan (ANTARA) - Palembang  sebagai pusat  Kerajaan Sriwijaya sudah ada sejak abad ke-7. Palembang berdiri sejak 682 Masehi, sehingga kini telah berusia 1.339 tahun, dan diyakini sebagai  kota tertua di Indonesia.

Sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang, di Provinsi Sumatera Selatan,  memiliki banyak warisan budaya peradaban masyarakat masa silam yang mesti dilestarikan menjadi cagar budaya.

Warisan budaya berupa kawasan pemakaman keturunan raja era Kerajaan Sriwijaya (671-1025 Masehi) atau para sultan era Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823 Masehi) hingga bangunan era kolonial, tersebar di setiap penjuru kota yang terbelah oleh aliran Sungai Musi.

Beberapa di antara warisan budaya tersebut adalah Makam Ki Gede Ing Suro (berusia 500 tahun), Makam Kawah Tengkurep (300 tahun), Makam Sabokingking (400 tahun), Kawasan Benteng Kuto Besak (200 tahun), serta Makam Pangeran Kramajaya (200 tahun).

Selain itu, ada beberapa bangunan peninggalan era kolonial Belanda-Jepang di Palembang di antaranya Goa Jepang, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Gedung eks Schow Burg atau Balai Prajurit  Kuto Besak Theater Restaurant  (KBTR), Pasar Cinde, dan Jembatan Ampera.

Sebagai warisan budaya, objek tersebut penting untuk dirawat dan dilestarikan agar tidak rusak dan punah termakan zaman. Hal tersebut  sebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan kemerdekaan bangsa ini sekaligus sebagai media edukasi  yang mengajarkan bahwa Palembang pernah menjadi pusat ekonomi-politik terbesar Asia Tenggara kepada generasi penerus.


Darurat Cagar Budaya

Meski Palembang memiliki banyak peninggalan sejarah masa lampau, namun kalangan budayawan Palembang menilai kota tertua itu kini dalam kondisi darurat cagar budaya.

Para budayawan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB) Palembang menemukan bahwa warisan budaya  di kota ini belum sepenuhnya ditetapkan sebagai situs cagar budaya oleh pemerintah setempat, sehingga rentan terjadi perusakan. Padahal, amanat pelestarian warisan budaya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. 

Dalam UU tersebut menyatakan warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air perlu dilestarikan keberadaannya, karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Budayawan Palembang, Febri Al Lintani, mengatakan ada sekitar 209 warisan budaya berupa kawasan ataupun bangunan di kota ini yang didaftarkan sebagai cagar budaya.

Dari jumlah tersebut ada 168 warisan budaya yang telah diverifikasi melalui penelitian ilmiah oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) untuk menjadi objek diduga cagar budaya (ODCB).

Kendati demikian, dari sejumlah ODCB tersebut baru Pasar Cinde yang disertifikasi menjadi cagar budaya atas keputusan Wali Kota Palembang Nomor 17.a/KPTS/DISBUD/2017.

Sayangnya, status cagar budaya atas bangunan distrik komersial Cinde yang berarsitektur khas Eropa di Jalan Jendral Sudirman itu sudah sirna, karena konstruksi bangunannya dihancurkan oleh pengembang untuk kemudian dijadikan kawasan apartemen elit Aldiron yang sampai saat ini mangkrak.

Menurut Febri, permasalahan Pasar Cinde itu adalah bagian nyata yang membuktikan Palembang darurat cagar budaya buah dari minimnya kepedulian pemerintah untuk menjaga bangunan bersejarah di Bumi Sriwijaya.

Pihaknya juga mengkhawatirkan bangunan warisan budaya lainnya juga berpotensi menjadi korban seperti yang terjadi pada Pasar Cinde itu.

Setidaknya ada tiga bangunan warisan budaya terancam rusak karena tidak terurus dan menjadi sasaran program pembangunan pemerintah sehingga status ODCB-nya terancam hilang.

Ketiga warisan budaya itu ialah Makam Pangeran Kramajaya di Jalan Segaran 15 Ilir. Makam penguasa terakhir di era Kesultanan Palembang Darussalam tersebut saat ini dalam keadaan rusak.  Berikutnya, Gedung eks Schow Burg di kawasan 19 Ilir Palembang yang terancam rusak keaslian konstruksinya karena dalam waktu dekat pemerintah berencana merevitalisasinya untuk perkantoran.

Begitupun halnya dengan Jembatan Ampera. Dua pilar jembatan ikon kota Palembang yang menghubungkan kawasan Hulu – Hilir itu dipasangkan tangga otomatis atau lift untuk tujuan kepariwisataan. Menurut para budayawan dan ahli sejarah, pembangunan itu dilakukan tanpa melalui pengkajian akademis kebudayaan, sementara jembatan berusia 57 tahun itu bertatus sebagai ODCB.

“Perintah UU jelas dan Pemerintah Kota pun mengeluarkan Perda Cagar Budaya tetapi mereka tidak melindungi ODCB yang ada. Artinya, ini kelalaian yang patut diduga disengaja dan ini menahun,” kata Febri, saat menjadi pembicara dalam program siaran talkshow Radio Republik Indonesia RRI Pro 2 FM, pada 16 Februari 2023.

Oleh sebab itu, pihaknya mendorong semua pihak untuk bersama-sama melalukan upaya perlindungan terhadap objek warisan budaya Palembang agar tidak sampai rusak atas kecerobohan pengambil keputusan.

Bahkan, ia menyatakan, Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB) Palembang cukup serius untuk memperjuangkan tujuannya menjaga kelestarian objek cagar budaya. Saat ini pihaknya sedang berkonsultasi dengan aparat kepolisian untuk penegakan hukum atas kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap objek tersebut.

Mantan Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Palembang, Retno Purwati, juga menyesalkan lambannya respons pemerintah untuk meningkatkan status ODCB menjadi cagar budaya terhadap ratusan objek warisan yang telah mereka rekomendasikan kepada Pemerintah Kota.

Setiap objek warisan budaya yang direkomendasikan TACB tersebut sudah sangat layak untuk dijadikan cagar budaya setelah melalui tahapan verifikasi penelitian ilmiah.

Dia mencontohkan mulai dari Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang ada di tepian Sungai Musi atau berdampingan dengan Benteng Kuto Besak, itu dulunya adalah Kraton Kuto Batu, sempat dihancurkan oleh Belanda sekitar tahun 1821.

Museum tersebut telah diteliti sejak tahun 1992, namun penelitian selanjutnya di tahun 2022 lalu sampai batas waktu yang ditentukan Wali Kota belum kunjung menerbitkan keputusannya.

Sementara itu, pada tahun 2021 pihaknya merekomendasikan Makam Ki Gede Ing Suro, Makam Kawah Tengkurep, Makam Sabokingking, Kawasan Benteng Kuto Besak untuk ditetapkan sebagai objek cagar budaya, namun juga mengalami hal serupa.

Situs Makam Ki Gede Ing Suro yang berada di Kelurahan 1 Ilir merupakan komplek pemakaman raja-raja Kerajaan Palembang yang datang dari Pulau Jawa sekitar tahun 1500, di dalamnya terdapat delapan bangunan berisi 38 makam.

Sedangkan Situs Makam Sabo Kingking yang berada di kawasan Pabrik PT Pupuk Sriwijaya merupakan pemakaman raja-raja kerajaan Islam Palembang, di dalamnya terdapat makam Ratu Sinuhun yang dikenal sebagai tokoh perempuan pembuat undang-undang Simbur Cahaya, berisi kompilasi aturan hukum adat di Sumsel.

Kemudian, situs Makam Kawah Tengkurep dibangun pada 1728 atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I Jaya Wikramo, di dalamnya terdapat makam-makam tokoh penting islam masa Kesultanan Palembang namun gaya nisan mencerminkan akulturasi ajaran Hindu.

Lalu, Benteng Kuto Besak (BKB) yang berada tepat di pinggir Sungai Musi, bangunan tersebut menjadi satu-satunya benteng di Indonesia yang dibangun oleh warga pribumi pada 1780, semual berfungsi sebagai keraton SMB I Palembang namun kini menjadi markas TNI.

“Kami sudah meneliti semuanya, data verifikasinya pun sudah lengkap. Tidak tahu apa alasan sehingga mereka mereka (Pemerintah Kota Palembang) tak kunjung menetapkannya sebagai Cagar Budaya. Nah masalahnya di sini sehingga legitimasi perlindungannya tidak kokoh,” kata Retno, yang juga Arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dibutuhkan keterbukaan

Angota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Mustafa Kamal, merekomendasikan untuk segera dilakukan rapat dengar pendapat antara Pemerintah Kota Palembang dengan kalangan budayawan dan para peneliti kebudayaan setempat.

Perlu adanya saling keterbukaan informasi dari masing-masing pihak tersebut supaya permasalahan terkait upaya pelestarian objek warisan budaya di Palembang dapat diselesaikan dan konkret. Jangan sampai rencana pembangunan yang dinisiiasikan pemerintah daerah justru membiaskan upaya pelestarian terhadap warisan budaya yang ada.

Oleh karena  itu, Komisi X menyatakan siap mendorong pemerintah untuk segera memproses penetapan status cagar budaya terhadap objek yang telah direkomendasikan itu.

Sebab, bagaimanapun merujuk pada Pasal 3 Undang-undang nomer 11 tahun 2010 menyebutkan bahwa pelestarian cagar budaya memiliki lima tujuan utama.

Kelima tujuan tersebut yakni melestarikan warisan bangsa dan manusia, meningkatkan harkat dan martabat, memperkuat kepribadian bangsa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta sebagai bentuk promosi kebudayaan bangsa kepada dunia.


Verifikasi ulang

Dinas Kebudayaan Palembang, Sumatera Selatan, berkomitmen untuk mempercepat proses verifikasi ulang setiap objek peninggalan sejarah di kota setempat supaya dapat segera sertifikatkan menjadi cagar budaya.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Agus Rizal, mengatakan proses verifikasi ulang tersebut sudah dapat dilakukan pada bulan Mei 2023  setelah selesai dilakukannya asesmen terhadap anggota TACB Palembang, yang terdiri dari tujuh orang dari latar belakang peneliti profesional dan dinas kebudayaan.

Kemudian, hasil verifikasi TACB tersebut nantinya menjadi rekomendasi apakan objek peninggalan sejarah itu dapat ditingkatkan statusnya menjadi cagar budaya oleh Wali Kota Palembang.

Dia menilai, penetapan status cagar budaya sangat penting dilakukan untuk memperkecil potensi kerusakan atas objek baik karena termakan usia atau pun tangan manusia sebagaimana amanah undang-undang.

Meski demikian, semua pihak harus menyadari bahwa proses penetapan tersebut tidak bisa dilakukan secara sekaligus terhadap objek warisan budaya, melainkan harus bertahap sebab perlu disesuaikan dengan rencana kerja pemerintah.

Agus Rizal pun memastikan tidak ada pembiaran terhadap situs atau objek warisan budaya yang ada sekalipun belum secara sah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Pemerintah Kota Palembang bahkan telah menggelontorkan dana cukup besar mencapai miliaran rupiah untuk merawat setiap aset ODCB itu secara berkala setiap tahun. Pemerintah Kota Palembang mengharapkan partisipasi aktif dari masyarakat kota setempat untuk bersama-sama menjaga setiap aset yang ada demi kepentingan bersama.


Pewarta : Muhammad Riezko Bima Elko
Editor : Syarif Abdullah
Copyright © ANTARA 2024