Jakarta (ANTARA) - Rasanya cukup sulit untuk tidak menghiraukan film-film laga seperti The Raid (2011), hingga kebrutalan Fight Club (1999) dan serial Daredevil (2015-2018) ketika bicara soal seni bela diri campuran (mix martial arts/MMA).

Di medium sinema, para lakon digambarkan sebagai sosok yang tak terkalahkan, tak takut akan apa pun yang siap menghajarnya di depan mata.

Namun, bagi para atlet bela diri, ketakutan bukanlah hal yang asing, meskipun sudah tak terhitung berapa kali mereka dibanting dan membanting lalu mengusap peluh yang tiada habisnya mengucur dari tubuh mereka.

Berlaga di atas ring di depan ratusan pasang mata, beradu kebolehan fisik dan mental untuk dinikmati sebagai cabang olahraga serta hiburan, ternyata bukan sekadar upaya meraih titel jagoan bagi para atlet bela diri — yang kerap disebut fighter — seorang petarung, seorang pejuang.

Waktu kurang lebih 20 menit di atas ring, bagi Frans Lincoln, merupakan momen singkat nan ajaib untuk mengubah rasa takut dan sakit menjadi bara keberanian.

Dalam selang waktu sepersekian detik, perasaan gugup dan ragu itu menjelma sebagai kekuatan untuk menaklukkan lawan di depannya serta ketakutan di dalam dirinya.

“Semua orang, bahkan juara dunia MMA, pun pernah merasakan ketakutan. Mau sehebat apa pun dia, pasti pernah merasakannya. Akan tetapi, ketika sudah di dalam (ring), kita hanya lepas,” kata Frans.

Frans, petarung asal Siantar, telah menyukai MMA sejak muda dan memulai gulat serta menekuninya secara profesional. Berbeda dengan para lakon film aksi, perjalanannya tidak terlalu mulus. Ia pernah masuk di balik jeruji besi hingga rumah tinggalnya habis dibakar massa.

Pembuktian, bisa dibilang merupakan hal yang tak asing bagi semua orang -- mengingat semua orang adalah fighter -- berani menghadapi rintangan kehidupan setiap harinya.

Petarung Indonesia lainnya, Rheza Arianto, juga memiliki keinginan untuk membuktikan kemampuan kepada banyak orang, dan tentu saja, dirinya sendiri.

Rheza, yang masih berusia 22 tahun, tumbuh di lingkungan yang cukup religius. Ia mengenyam pendidikan dari SMP hingga SMA di sebuah pesantren. Enam tahun berada di balik bangku sekolah Islam, ia diharapkan orang tua untuk menjadi seorang ustaz.

Namun, kecintaannya akan seni bela diri tetap menjadi modal besarnya untuk menggapai cita-cita sebagai seorang petarung profesional.

"Pilihan itu (menjadi seorang petarung) ditentang banget sama orang tua, tapi aku beri pembuktian," kata Rheza.

Bagi Rheza dan Frans, berbagai kekalahan hingga tantangan yang terjadi di kehidupan mereka menjadi kekuatan dan keyakinan untuk berlaga di hadapan jutaan mata. Langkah-langkah kecil dan keputusan untuk tidak menyerah, adalah amunisi mereka untuk menghadapi dunia.


Sisi humanis bela diri

Seni bela diri kerap dilihat sebagai olahraga ekstrem karena erat dengan kontak fisik yang kuat dan bertubi-tubi. Acara MMA pun ditayangkan di televisi di atas pukul 10 malam, dengan harapan menjauhkan penonton, utamanya anak-anak, dari adegan kekerasan.

Cukup menarik, karena seperti cabang-cabang olahraga lainnya, minat muncul sejak dari kecil. Bagi Yoga Prabowo, seorang guru SD asal Boyolali yang juga seorang petarung MMA, mengatakan dirinya terbuka jika murid-muridnya menanyakan soal hal tersebut.

Saat ditanya apa yang akan ia lakukan sebagai seorang guru jika melihat siswanya bertengkar, sambil tertawa kecil, Yoga mengatakan dirinya "akan menyiapkan ring dan menjadi wasitnya".

"Saya bilang untuk terusin saja berantemnya, saya wasitin. Akan tetapi, ya tentu saja, mereka harus diarahkan, diberikan waktu untuk mereka berbaikan lagi," ujar Yoga.

Petarung profesional berusia 25 tahun itu mengatakan, di sekolah, ia memiliki tugas untuk menjadi sosok teman bagi para muridnya. Baginya, seorang guru adalah seorang teman bercerita sekaligus kompas bagi siswa-siswinya di ruang akademis.

Menjadi seorang guru dan petarung pun membuka hati Yoga lebih luas lagi. Kedua profesi tersebut mengajarkan dia untuk tak lupa menjadi manusia -- bahwa setiap individu perlu memiliki empati, kasih sayang, dan bisa mengarahkan satu sama lain menuju kebaikan -- sekaligus mampu kuat: berdiri untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Bicara soal berdiri untuk orang banyak, bukan hal yang asing bagi Rendi Anjar Kusuma, petarung yang merupakan anggota aktif Pasukan Khusus Angkatan Laut TNI.

Rendi mengaku tertarik pada olahraga MMA sejak lama, namun keterbatasan ekonomi menghalanginya. Ia kemudian berkenalan lagi dengan bela diri setelah masuk TNI.

"Saya pantang menyerah. Saya berasal dari latar belakang orang yang tidak punya. Makanya, kalau saya menyerah, saya tidak akan sampai ke tujuan saya," kata pria asal Bengkulu itu.

"Namun, bagaimanapun, saya adalah (anggota) TNI. Apa pun yang saya lakukan (seperti karier MMA profesional), tugas (TNI) adalah yang nomor satu. Kalau saya dipanggil, tentu saya dahulukan," imbuhnya.


Asa untuk bangsa

Perjalanan panjang dan berbatu yang dilalui oleh petarung-petarung MMA seperti Frans, Rheza, Yoga, dan Rendi bermuara pada asa yang sama, yaitu perhatian dan dukungan dari pemerintah hingga masyarakat Indonesia.

Keempatnya sepakat bahwa pembinaan yang tepat pada usia muda adalah kunci utama. Latihan keras yang dibarengi dengan daya juang, konsistensi, serta dukungan dari berbagai pihak merupakan formula sempurna bagi atlet cabang olahraga apa pun, tak terkecuali MMA, agar dapat berkembang lebih jauh di kancah internasional.

"Kenapa tidak diberi perhatian lebih? Daripada melihat siswa-siswa tawuran, mending diberi wadah, diarahkan lebih baik dengan teknik, safety, dan aturan yang jelas," kata Yoga.

Adapun dunia MMA Indonesia baru-baru ini diharumkan oleh Jeka Saragih yang resmi terpilih menjadi petarung Indonesia pertama yang dikontrak oleh Ultimate Fighting Championship (UFC).

Selain itu, sebanyak 12 petarung Indonesia telah bertolak ke Amerika Serikat untuk menjalani latihan yang lebih intensif lagi agar bisa bersaing di kancah dunia.

"Harapannya, jangan sampai diberi perhatian setelah sudah up. Semua atlet sudah memberikan yang terbaik, berlatih keras setiap hari. Perhatian perlu diberi sejak dari bawah," kata Randi.

Karena, pada akhirnya, semua atlet dari semua cabang olahraga memiliki harapan yang sama, yaitu membawa Indonesia ke panggung tertinggi dunia.

Dan, seperti layaknya kisah-kisah heroik di dalam film laga, akan lebih indah jika asa itu tetap hidup dengan cinta yang terbalas: dari kita, dari negara.






 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Memaknai esensi kehidupan dari laga di atas ring

Pewarta : Arnidhya Nur Zhafira
Editor : Syarif Abdullah
Copyright © ANTARA 2024