Jakarta (ANTARA) - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Prof. Said Karim menyampaikan pembunuhan berencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, mensyaratkan adanya rentang waktu untuk perencanaan pembunuhan dan ketenangan dari pelaku.
“Pembunuhan berencana mensyaratkan harus ada waktu dan di mana pelakunya dapat berpikir dengan tenang, memikirkan bagaimana cara perbuatan itu dilakukan dan di mana itu dilakukan,” ujar Said saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa.
Berdasarkan dua syarat tersebut, menurut Said, ketenangan dari terdakwa Ferdy Sambo (FS) untuk merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Hutabarat (Brigadir J) patut dipertanyakan karena sebelum itu ia menerima pemberitahuan dari Putri Candrawathi (PC) bahwa istrinya itu mengalami tindakan pemerkosaan.
“Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin saudara terdakwa FS ini bisa berada dalam keadaan tenang di saat dia mendapatkan pemberitahuan dari istrinya bahwa istrinya baru saja mengalami tindakan pemerkosaan. Semua laki-laki normal di dunia ini (jika tahu) bahwa istrinya diperkosa, saya yakin dan percaya dia pasti marah, kecuali kalau dia tidak normal. Kalau dia normal, pasti mendidih darahnya itu,” jelas dia.
Dengan demikian, menurut Said, terdakwa Ferdy Sambo tidak berada dalam keadaan tenang untuk merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J.
“Menurut pendapat saya sebagai ahli, dia sudah tidak dalam keadaan tenang. Tetapi menyangkut secara spesifik, soal tenang atau tidak tenang adalah aspek kejiwaan maka itu adalah dijelaskan oleh ahli psikologi forensik,” ujar dia.
Hal tersebut disampaikan oleh Said usai penasihat hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi memintanya untuk menjelaskan mengenai unsur perbuatan pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.
Dalam kesempatan itu, jaksa penuntut umum (JPU) lalu menyampaikan keberatan atas keterangan Said. Menurut JPU, sebagai saksi ahli yang sifatnya tidak langsung, keterangan dari Said seharusnya hanya terbatas pada penjelasan berupa ilustrasi, bukan dari fakta yang ada dalam kasus tersebut.
Menanggapi keberatan itu, majelis hakim PN Jaksel tetap mempersilakan Said untuk melanjutkan keterangannya.
“Silakan dilanjutkan karena tadi pernyataannya menyangkut seputar dakwaan. Saudara jaksa penuntut umum, ahli ini tidak dihadirkan oleh terdakwa dalam kaitannya adalah untuk mendengarkan. Biarkan nanti kita tanggapi dalam tuntutan saja, ya,” ujar Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santosa.
“Pembunuhan berencana mensyaratkan harus ada waktu dan di mana pelakunya dapat berpikir dengan tenang, memikirkan bagaimana cara perbuatan itu dilakukan dan di mana itu dilakukan,” ujar Said saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa.
Berdasarkan dua syarat tersebut, menurut Said, ketenangan dari terdakwa Ferdy Sambo (FS) untuk merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Hutabarat (Brigadir J) patut dipertanyakan karena sebelum itu ia menerima pemberitahuan dari Putri Candrawathi (PC) bahwa istrinya itu mengalami tindakan pemerkosaan.
“Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin saudara terdakwa FS ini bisa berada dalam keadaan tenang di saat dia mendapatkan pemberitahuan dari istrinya bahwa istrinya baru saja mengalami tindakan pemerkosaan. Semua laki-laki normal di dunia ini (jika tahu) bahwa istrinya diperkosa, saya yakin dan percaya dia pasti marah, kecuali kalau dia tidak normal. Kalau dia normal, pasti mendidih darahnya itu,” jelas dia.
Dengan demikian, menurut Said, terdakwa Ferdy Sambo tidak berada dalam keadaan tenang untuk merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J.
“Menurut pendapat saya sebagai ahli, dia sudah tidak dalam keadaan tenang. Tetapi menyangkut secara spesifik, soal tenang atau tidak tenang adalah aspek kejiwaan maka itu adalah dijelaskan oleh ahli psikologi forensik,” ujar dia.
Hal tersebut disampaikan oleh Said usai penasihat hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi memintanya untuk menjelaskan mengenai unsur perbuatan pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.
Dalam kesempatan itu, jaksa penuntut umum (JPU) lalu menyampaikan keberatan atas keterangan Said. Menurut JPU, sebagai saksi ahli yang sifatnya tidak langsung, keterangan dari Said seharusnya hanya terbatas pada penjelasan berupa ilustrasi, bukan dari fakta yang ada dalam kasus tersebut.
Menanggapi keberatan itu, majelis hakim PN Jaksel tetap mempersilakan Said untuk melanjutkan keterangannya.
“Silakan dilanjutkan karena tadi pernyataannya menyangkut seputar dakwaan. Saudara jaksa penuntut umum, ahli ini tidak dihadirkan oleh terdakwa dalam kaitannya adalah untuk mendengarkan. Biarkan nanti kita tanggapi dalam tuntutan saja, ya,” ujar Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santosa.