Jakarta (ANTARA) - Penggunaan produk tembakau alternatif, salah satunya rokok elektrik atau vape, ternyata tidak menyebabkan gangguan pertahanan gusi.
Berdasarkan hasil kajian klinis "Respon Gusi Pada Pengguna Vape Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Experimental)" yang dilakukan akademisi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung, yakni Amaliya, Agus Susanto, dan Jimmy Gunawan disebutkan bahwa pengguna vape memperlihatkan fungsi pertahanan gusi yang normal terhadap bakteri plak gigi dibandingkan pada perokok yang tidak beralih.
Amaliya, anggota tim peneliti pada Rabu menjelaskan bahwa penelitian itu melibatkan 15 responden berusia 18-55 tahun yang dibagi ke dalam tiga kelompok dengan distribusi gender tidak merata.
Kelompok pertama adalah perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun. Kelompok kedua adalah pengguna vape yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan vape minimal satu tahun. Adapun kelompok terakhir adalah non-perokok atau bukan pengguna produk tembakau yang dijadikan sebagai acuan hasil penelitian.
"Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna vape yang telah beralih dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang dibuktikan dengan fungsi pertahanan gusi yang sama seperti yang dialami non-perokok. Artinya, (setelah beralih) kondisi pertahanan gusinya kembali normal,” kata Amaliya.
Amaliya melanjutkan peradangan gusi merupakan mekanisme pertahanan dalam merespon plak bakteri yang menempel di permukaan gigi.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (preliminary study) tersebut menunjukkan bahwa pertahanan gusi pengguna vape hampir menyerupai kondisi gusi pada bukan perokok dan nikotin juga tidak terbukti sebagai penyebab utama penyempitan pembuluh darah pada gusi.
Nikotin, kata Amaliya, selama ini dianggap sebagai penyebab gangguan pertahanan gusi yang ditandai dengan penyempitan pembuluh darah.
Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa pengguna vape dengan cairan e-liquid yang mengandung nikotin tidak memperlihatkan gangguan pertahanan gusi.
“Berarti, ada kandungan lain dari rokok, selain nikotin, yang menyebabkan peradangan itu tidak terlihat. Jadi perlu ada penelitian lebih lanjut,” tegas Amaliya.
Dengan temuan ini, Amaliya berharap semakin banyak riset ilmiah dari dalam negeri yang meneliti profil risiko dari vape dan produk tembakau alternatif lainnya secara komprehensif.
“Memang masih sangat terbatas, penelitian produk tembakau alternatif di Indonesia. Saya berharap pemerintah atau institusi yang berwenang mendukung penelitian dan kajian lebih lanjut dari produk alternatif tembakau ini agar menjadi jelas bagaimana profil risiko dan dampak penggunaannya,” ujarnya.
Hasil dari kajian tersebut nantinya pun dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang akurat, mengingat masih opini dan informasi keliru terhadap produk tembakau alternatif masih berkembang di publik.
Menurut Amaliya, akademisi dan peneliti memiliki peranan penting untuk menyebarkan informasi yang berlandaskan hasil riset kepada masyarakat luas. “Diseminasi dan sosialisasi hasil kajian dapat dilakukan secara masif melalui jurnal terakreditasi, media sosial, dan artikel opini,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil kajian klinis "Respon Gusi Pada Pengguna Vape Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Experimental)" yang dilakukan akademisi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung, yakni Amaliya, Agus Susanto, dan Jimmy Gunawan disebutkan bahwa pengguna vape memperlihatkan fungsi pertahanan gusi yang normal terhadap bakteri plak gigi dibandingkan pada perokok yang tidak beralih.
Amaliya, anggota tim peneliti pada Rabu menjelaskan bahwa penelitian itu melibatkan 15 responden berusia 18-55 tahun yang dibagi ke dalam tiga kelompok dengan distribusi gender tidak merata.
Kelompok pertama adalah perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun. Kelompok kedua adalah pengguna vape yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan vape minimal satu tahun. Adapun kelompok terakhir adalah non-perokok atau bukan pengguna produk tembakau yang dijadikan sebagai acuan hasil penelitian.
"Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna vape yang telah beralih dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang dibuktikan dengan fungsi pertahanan gusi yang sama seperti yang dialami non-perokok. Artinya, (setelah beralih) kondisi pertahanan gusinya kembali normal,” kata Amaliya.
Amaliya melanjutkan peradangan gusi merupakan mekanisme pertahanan dalam merespon plak bakteri yang menempel di permukaan gigi.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (preliminary study) tersebut menunjukkan bahwa pertahanan gusi pengguna vape hampir menyerupai kondisi gusi pada bukan perokok dan nikotin juga tidak terbukti sebagai penyebab utama penyempitan pembuluh darah pada gusi.
Nikotin, kata Amaliya, selama ini dianggap sebagai penyebab gangguan pertahanan gusi yang ditandai dengan penyempitan pembuluh darah.
Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa pengguna vape dengan cairan e-liquid yang mengandung nikotin tidak memperlihatkan gangguan pertahanan gusi.
“Berarti, ada kandungan lain dari rokok, selain nikotin, yang menyebabkan peradangan itu tidak terlihat. Jadi perlu ada penelitian lebih lanjut,” tegas Amaliya.
Dengan temuan ini, Amaliya berharap semakin banyak riset ilmiah dari dalam negeri yang meneliti profil risiko dari vape dan produk tembakau alternatif lainnya secara komprehensif.
“Memang masih sangat terbatas, penelitian produk tembakau alternatif di Indonesia. Saya berharap pemerintah atau institusi yang berwenang mendukung penelitian dan kajian lebih lanjut dari produk alternatif tembakau ini agar menjadi jelas bagaimana profil risiko dan dampak penggunaannya,” ujarnya.
Hasil dari kajian tersebut nantinya pun dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang akurat, mengingat masih opini dan informasi keliru terhadap produk tembakau alternatif masih berkembang di publik.
Menurut Amaliya, akademisi dan peneliti memiliki peranan penting untuk menyebarkan informasi yang berlandaskan hasil riset kepada masyarakat luas. “Diseminasi dan sosialisasi hasil kajian dapat dilakukan secara masif melalui jurnal terakreditasi, media sosial, dan artikel opini,” ungkapnya.