Jakarta (ANTARA) -
Kasus penyakit mulut dan kuku atau PMK pertama di Indonesia dilaporkan tahun 1887. Penyakit akut akibat infeksi virus yang semula menjangkiti sapi perah di daerah Malang, Jawa Timur, itu kemudian menyebar ke mana-mana sehingga pemerintah melakukan berbagai upaya pemberantasan.

Dalam kurun tahun 1974 sampai 1986, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memberantas dan mengeliminasi penyakit sangat menular yang menjangkiti hewan berkuku genap itu.

Setelah berbagai upaya pemberantasan dilakukan, Alhamdulillah, Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) pada tahun 1990 menyatakan bahwa wilayah Indonesia sudah bebas dari PMK. 

Namun, penyakit hewan yang bisa menyebar dengan cepat itu kembali muncul di wilayah Indonesia. Penyebabnya belum diketahui secara jelas, tetapi ada dugaan pembukaan keran ekspor daging kerbau dari India yang belum bebas dari PMK merupakan salah satu faktor yang meningkatkan risiko persebaran penyakit tersebut.

Kebijakan membuka keran impor daging kerbau dari India yang mulai diterapkan tahun 2016 sebenarnya mendapat tentangan dari ahli peternakan karena dinilai bisa menjadi pemicu wabah PMK, tetapi kebijakan itu tetap diterapkan untuk menyediakan protein hewani yang murah.

Selain itu, ada yang menduga masuknya daging selundupan dari India yang harganya separuh dari harga daging di Indonesia sebagai penyebab masuknya PMK ke wilayah Indonesia.

Penyakit yang disebabkan virus tipe A dari keluarga Picornaviridae tersebut dilaporkan muncul kembali di Gresik, Jawa Timur, pada 28 April 2022 dan kemudian menyebar ke wilayah lain, termasuk Sidoarjo yang berada 40 kilometer di sebelah selatannya.

Pada 1 Mei 2022, PMK dilaporkan menjangkiti 595 sapi potong serta sapi perah dan kerbau di 11 kecamatan di wilayah Sidoarjo.

Penularan PMK juga terjadi di wilayah Provinsi Aceh. Menurut data Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, sampai Kamis (9/6) sebanyak 19.830 sapi dan kerbau di Aceh terserang PMK.

Dari 19.830 ternak yang terserang PMK di Aceh, ada 108 yang mati, 20 yang terpaksa harus dipotong, dan 7.675 yang sembuh.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah persebaran penyakit itu antara lain karantina. Karantina dinilai efektif mengendalikan persebaran penyakit. 

Selain itu, pemerintah melakukan pengobatan pada ternak yang sakit, memvaksinasi ternak yang masih sehat, serta melakukan disinfeksi kandang.

Pengendalian penularan PMK juga dilakukan dengan meningkatkan pengawasan distribusi ternak antar daerah dan mencegah ternak yang sakit dikirim ke daerah yang lain.

Namun demikian, masih banyak peternak yang kurang memahami bahaya wabah PMK sehingga tidak mengandangkan ternak yang sakit dan berusaha mencari celah untuk menjual ternak ke daerah lain pada masa wabah.
  Seorang dokter hewan menyuntikkan vitamin saat memeriksa sapi terduga terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK) di Cisurupan, Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/6/2022). (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa).
Status KLB

Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) meminta pemerintah segera menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) karena menilai persebaran penyakit mulut dan kuku sudah masif di wilayah Jawa maupun luar Jawa.

Data Kementerian Pertanian per 22 Mei 2022 menunjukkan PMK telah menyebar di 16 provinsi dan 82 kabupaten/kota, berdampak pada total 5.454.454 ternak dan menyebabkan 20.723 sapi sakit.

Ketua Umum DPP PPSKI Nanang Purus Subendro mengemukakan bahwa wabah PMK "situasinya sudah darurat, luar biasa" dan bisa menimbulkan kerugian yang luar biasa besar tanpa upaya segera untuk mengatasinya.

Dia menyayangkan pemerintah masih sangat prosedural dalam menangani wabah penyakit ternak tersebut.

Meski bisa disembuhkan dan tingkat mortalitasnya tidak tinggi, ia mengatakan, jika penularan PMK semakin meluas maka anggaran pemerintah dan peternak bisa terkuras untuk mengatasi penyakit itu.

Selain itu, PMK mengancam produktivitas ternak. Serangan PMK akan membuat ternak kehilangan nafsu makan sehingga pertumbuhannya terganggu, bobot badannya turun, produksi susunya berkurang. Kondisi yang demikian bisa merugikan peternak.

PMK juga membuat pengeluaran peternak bertambah karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos pengobatan. Penularan penyakit itu juga menyebabkan harga jual ternak turun hingga separuh dari harga normal. Perputaran modal peternak bisa terganggu karenanya.

Oleh karena itu, PPSKI mendorong pembentukan satuan tugas (satgas) penanganan PMK untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi PMK pada ternak yang masih sehat.

Menurut PPSKI, pemerintah juga perlu membuat terobosan kebijakan untuk mengefektifkan upaya penanganan wabah PMK, termasuk kebijakan dalam penganggaran penanganan kondisi darurat, pengawasan lalu lintas ternak, penanganan ternak sakit, penyediaan bantuan bagi peternak yang terdampak PMK, penyiapan ganti rugi jika harus dilakukan pemusnahan ternak, hingga penanganan kredit peternak yang ternaknya terdampak PMK.

PPSKI juga mendorong pemotongan bersyarat ternak yang terserang PMI dengan melibatkan Bulog untuk menampung daging sapi dari sapi terdampak PMK.

Selain itu, PPSKI meminta pemerintah menghentikan impor daging kerbau dari India yang diduga menjadi penyebab penularan PMK.

Menurut Organisasi Kesehatan Hewan, ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi wabah PMK, yang pertama stamping out, pemusnahan massal ternak dalam satu kandang jika ada ternak yang sakit di kandang tersebut.

Upaya yang kedua, pencegahan penyebaran virus dengan vaksinasi, pengawasan lalu lintas pengiriman ternak, isolasi, serta desinfeksi ternak dan kandangnya.

Mantan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Sofyan Sudardjat mengatakan, dalam keadaan darurat vaksinasi bisa efektif jika virus yang menular homolog atau serotipenya hampir sama atau vaksinnya dibuat dari virus yang diambil dari sapi yang tertular.

Namun, untuk membuat vaksin yang demikian paling tidak dibutuhkan waktu satu bulan, yang kemudian diuji dalam waktu dua sampai tiga bulan.
 
Cara yang ketiga, yaitu depopulasi atau pemusnahan massal ternak sebagaimana yang dilakukan pada masa penularan flu burung di Indonesia.

Dalam kondisi keterbatasan sumber daya, cara yang lebih bijak diterapkan adalah segera menghentikan untuk sementara mobilisasi ternak dari daerah penularan penyakit dan menjaga dengan ketat daerah yang masih bebas dari penularan penyakit.

Larangan pengiriman ternak antarpulau bisa diterapkan untuk melindungi daerah yang masih aman.

Selain itu, peternak harus menerapkan karantina pada ternak yang sakit dan disiplin melakukan disinfeksi untuk mencegah penularan virus penyebab PMK.

Pelaksanaan vaksinasi secara massal pada semua ternak berkuku genap juga sangat penting dalam upaya pengendalian penularan PMK.
 


Masukan DPR
 
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menyarankan pemerintah memusnahkan hewan yang terkena PMK agar tidak menular ke ternak yang lain serta memberikan ganti rugi pada peternak yang ternaknya dimusnahkan.

Dedi menekankan pentingnya penanganan segera wabah penyakit ternak tersebut karena meski tidak menular pada manusia PMK bisa menimbulkan kerugian besar pada petani dan peternak serta mengancam ketahanan pangan.
 
Selain itu, menurut dia, pemerintah bisa mengimpor vaksin dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan vaksin PMK di dalam negeri.

Pemerintah mengimpor vaksin PMK sebanyak tiga juta dosis, yang dijadwalkan tiba pada minggu kedua Juni 2022, untuk memvaksinasi ternak.

Selain itu, pada 12 Juni 2022 pemerintah akan menerima pasokan vaksin PMK dari Badan Pangan Dunia dan pada 1 Juli 2022 vaksin dari Australia sebanyak 500 ribu hingga satu juta dosis dijadwalkan tiba.

Pemerintah juga berencana mengimpor vaksin dari Brasil sebanyak 100 ribu dosis dan dari Selandia Baru sebanyak 100 ribu dosis.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasrullah mengatakan bahwa vaksin produksi Pusat Veteriner Farma Kementerian Pertanian diperkirakan siap digunakan pada Agustus atau September 2022.

Kementerian Pertanian berencana memvaksinasi 17 juta hewan ternak atau sekitar 80 persen dari populasi ternak yang terdampak PMK. Vaksinasi akan dilakukan tiga kali, dua kali pada 2022 dan satu kali pada 2023.

Langkah cepat dan tepat diperlukan untuk mencegah penularan PMK meluas hingga melintasi batas wilayah, menimbulkan kerugian besar pada peternak, dan mengancam ketahanan pangan.

Pewarta : Budhi Santoso
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024