Palembang (ANTARA) - Sesudah dua minggu lebih pemerintah memberlakukan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, kita kini bisa sama-sama melihat kebijakan tersebut memang tak berangkat dari kajian matang.
Selain gagal mencapai tujuannya, yaitu menurunkan harga minyak goreng eceran di dalam negeri, kebijakan tersebut kini terbukti malah mendatangkan lebih banyak lagi kerugian, baik terhadap neraca perdagangan, maupun terhadap petani sawit dan produsen CPO kita.
Sejak bulan lalu HKTI telah menyampaikan kepada pemerintah bahwa larangan ekspor bukanlah solusi, karena penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bukanlah jumlah stok, melainkan soal penegakan hukum terkait kewajiban DMO (Domestic Market Obligations). Itu sebabnya, HKTI sejak awal mendesak pemerintah untuk segera merevisi kebijakan larangan ekspor tersebut.
Ada beberapa alasan kenapa kebijakan tersebut tidak tepat sehingga perlu segera dicabut dan disusun kembali sebuah kebijakan persawitan yang lebih baik.
Pertama, kebijakan larangan ekspor CPO berangkat dari diagnosa persoalan yang tak akurat. Sebagai gambaran, produksi CPO kita pada tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton, sementara konsumsi dalam negeri kita hanya 18,42 juta ton (39,29 persen). Di sisi lain, produksi minyak goreng sawit (MGS) pada tahun 2021 sebesar 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri kita hanya 5,07 juta ton (25,07 persen). Jadi, kelebihan pasokan minyak sawit yang ada selama ini memang diserap oleh pasar ekspor, tidak mungkin diserap semua pasar domestik.
Kalau pemerintah melarang ekspor CPO dan minyak goreng, lalu sisa produksinya mau dikemanakan?
Kedua, kebijakan tersebut telah merugikan tiga juta petani sawit kita. Sejak kebijakan itu dirilis pada 28 April 2022 lalu, harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit terus merosot harganya. Penurunan harga TBS kelapa sawit ini, menurut catatan HKTI, terjadi di hampir seluruh wilayah. Di Sumatera Selatan, misalnya, harga TBS petani turun sekitar Rp500 per kilogram. Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp1.000 per kilogram. Secara umum, penurunan harga TBS ini terjadi bervariasi antara Rp500 hingga Rp1.500 per kilogram.
Selain harganya terus turun, para petani sawit juga kini terancam tak bisa menjual hasil panennya, karena sejumlah pabrik kelapa sawit mulai menolak membeli TBS dari petani dan lebih menggunakan hasil kebun sendiri. Pabrikan memang mau tak mau harus mengurangi kapasitas produksi akibat larangan ekspor ini.
Kalau produknya tak bisa diserap pasar, bagaimana nasib jutaan petani sawit ini?
Ketiga, kebijakan larangan ekspor ini juga bisa merugikan kinerja perdagangan kita. Larangan tersebut jelas akan menurunkan penerimaan devisa ekspor. Pada tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai US$35 miliar, atau lebih dari Rp500 triliun. Selain devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan kepada kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.
Hilangnya potensi devisa yang cukup besar itu tentu bisa menekan nilai tukar rupiah. Secara makro, dampak kebijakan ini sudah bisa dilihat pada akhir bulan nanti.
Keempat, kebijakan larangan ekspor ini telah melemahkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Pasca-pemberlakuan larangan ekspor CPO Indonesia, Malaysia kini menjadi penguasa 84 persen ekspor CPO. Padahal, Malaysia sebelumnya hanya memiliki porsi sekitar 27 persen saja dari total produksi CPO dunia. Absennya Indonesia dari pasar CPO dunia jelas sebuah kerugian. Kita gagal memanfaatkan kenaikan harga komoditas CPO bagi kepentingan ekonomi nasional.
Dan kelima, kebijakan larangan ekspor itu terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng rata-rata pada minggu kedua Mei ini masih berada di angka Rp24.500 per liter. Angka ini masih jauh lebih mahal dari tetapan harga eceran tertinggi yang dibuat pemerintah.
Kegagalan ini hanya menguatkan kesimpulan di awal bahwa kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri selama ini memang bukan karena persoalan stok, melainkan karena lemahnya penegakkan hukum. Ini sudah dibuktikan oleh Kejaksaan Agung yang telah menetapkan tersangka mafia minyak goreng.
Jadi, sebelum kebijakan larangan ekspor CPO ini memberi kerugian yang lebih besar, HKTI mendesak kepada pemerintah untuk segera mencabut larangan tersebut. Sesudah itu, pemerintah harus merumuskan kebijakan persawitan yang lebih baik dan lebih akurat.
***Penulis Ketua Umum DPN HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), Ketua Badan Kerja sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI
Selain gagal mencapai tujuannya, yaitu menurunkan harga minyak goreng eceran di dalam negeri, kebijakan tersebut kini terbukti malah mendatangkan lebih banyak lagi kerugian, baik terhadap neraca perdagangan, maupun terhadap petani sawit dan produsen CPO kita.
Sejak bulan lalu HKTI telah menyampaikan kepada pemerintah bahwa larangan ekspor bukanlah solusi, karena penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bukanlah jumlah stok, melainkan soal penegakan hukum terkait kewajiban DMO (Domestic Market Obligations). Itu sebabnya, HKTI sejak awal mendesak pemerintah untuk segera merevisi kebijakan larangan ekspor tersebut.
Ada beberapa alasan kenapa kebijakan tersebut tidak tepat sehingga perlu segera dicabut dan disusun kembali sebuah kebijakan persawitan yang lebih baik.
Pertama, kebijakan larangan ekspor CPO berangkat dari diagnosa persoalan yang tak akurat. Sebagai gambaran, produksi CPO kita pada tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton, sementara konsumsi dalam negeri kita hanya 18,42 juta ton (39,29 persen). Di sisi lain, produksi minyak goreng sawit (MGS) pada tahun 2021 sebesar 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri kita hanya 5,07 juta ton (25,07 persen). Jadi, kelebihan pasokan minyak sawit yang ada selama ini memang diserap oleh pasar ekspor, tidak mungkin diserap semua pasar domestik.
Kalau pemerintah melarang ekspor CPO dan minyak goreng, lalu sisa produksinya mau dikemanakan?
Kedua, kebijakan tersebut telah merugikan tiga juta petani sawit kita. Sejak kebijakan itu dirilis pada 28 April 2022 lalu, harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit terus merosot harganya. Penurunan harga TBS kelapa sawit ini, menurut catatan HKTI, terjadi di hampir seluruh wilayah. Di Sumatera Selatan, misalnya, harga TBS petani turun sekitar Rp500 per kilogram. Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp1.000 per kilogram. Secara umum, penurunan harga TBS ini terjadi bervariasi antara Rp500 hingga Rp1.500 per kilogram.
Selain harganya terus turun, para petani sawit juga kini terancam tak bisa menjual hasil panennya, karena sejumlah pabrik kelapa sawit mulai menolak membeli TBS dari petani dan lebih menggunakan hasil kebun sendiri. Pabrikan memang mau tak mau harus mengurangi kapasitas produksi akibat larangan ekspor ini.
Kalau produknya tak bisa diserap pasar, bagaimana nasib jutaan petani sawit ini?
Ketiga, kebijakan larangan ekspor ini juga bisa merugikan kinerja perdagangan kita. Larangan tersebut jelas akan menurunkan penerimaan devisa ekspor. Pada tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai US$35 miliar, atau lebih dari Rp500 triliun. Selain devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan kepada kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.
Hilangnya potensi devisa yang cukup besar itu tentu bisa menekan nilai tukar rupiah. Secara makro, dampak kebijakan ini sudah bisa dilihat pada akhir bulan nanti.
Keempat, kebijakan larangan ekspor ini telah melemahkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Pasca-pemberlakuan larangan ekspor CPO Indonesia, Malaysia kini menjadi penguasa 84 persen ekspor CPO. Padahal, Malaysia sebelumnya hanya memiliki porsi sekitar 27 persen saja dari total produksi CPO dunia. Absennya Indonesia dari pasar CPO dunia jelas sebuah kerugian. Kita gagal memanfaatkan kenaikan harga komoditas CPO bagi kepentingan ekonomi nasional.
Dan kelima, kebijakan larangan ekspor itu terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng rata-rata pada minggu kedua Mei ini masih berada di angka Rp24.500 per liter. Angka ini masih jauh lebih mahal dari tetapan harga eceran tertinggi yang dibuat pemerintah.
Kegagalan ini hanya menguatkan kesimpulan di awal bahwa kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri selama ini memang bukan karena persoalan stok, melainkan karena lemahnya penegakkan hukum. Ini sudah dibuktikan oleh Kejaksaan Agung yang telah menetapkan tersangka mafia minyak goreng.
Jadi, sebelum kebijakan larangan ekspor CPO ini memberi kerugian yang lebih besar, HKTI mendesak kepada pemerintah untuk segera mencabut larangan tersebut. Sesudah itu, pemerintah harus merumuskan kebijakan persawitan yang lebih baik dan lebih akurat.
***Penulis Ketua Umum DPN HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), Ketua Badan Kerja sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI