Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat seperti yang dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.
Hakim bahkan menjatuhkan pidana nihil kepada Heru Hidayat karena Heru sudah dijatuhi vonis seumur hidup dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum tentang penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa," kata hakim anggota Ali Muhtarom di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa malam.
Alasan pertama, menurut hakim, adalah JPU telah melanggar azas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan.
"Kedua, penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi," ungkap hakim Ali Muhtarom.
Alasan ketiga, berdasarkan fakta, Heru Hidayat dinilai melakukan tindak pidana korupsi saat situasi negara aman.
"Keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan. Oleh karena itu beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya," kata hakim Ali.
Apalagi tuntutan mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut hakim, Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor menjelaskan keadaan tertentu, saat pidana mati dapat dijatuhkan adalah sebagai pemberatan bagi tindak pidana korupsi ketika negara dalam keadaan bahaya sebagaimana undang-undang yang berlaku, yaitu pada waktu bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, waktu negara dalam krisis ekonomi, dan moneter.
"Tuntutan hukuman mati sifatnya fakultatif, artinya pilihan tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati," tambah hakim Ali.
Heru Hidayat sendiri telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara senilai Rp16,807 triliun berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Oktober 2020 dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Terdakwa telah menjalani sebagian atau baru dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Tindak pidana korupsi PT Jiwasraya berbarengan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT Asabri Persero sehingga lebih tepat dikategorikan 'concursus realis' atau 'meerdaadse samenloop', bukan sebagai pengulangan tindak pidana," ungkap hakim.
Namun majelis hakim sepakat dengan JPU bahwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer, yaitu Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Dengan demikian terdakwa hanya dapat dipidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," tambah hakim Ali.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman nihil ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp12,643 triliun dikurangi dengan aset-aset yang sudah disita dan bila tidak dibayar maka harta benda Heru akan disita untuk membayar uang pengganti tersebut.
Terhadap perkara tersebut, JPU dan Heru Hidayat menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.
Hakim bahkan menjatuhkan pidana nihil kepada Heru Hidayat karena Heru sudah dijatuhi vonis seumur hidup dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum tentang penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa," kata hakim anggota Ali Muhtarom di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa malam.
Alasan pertama, menurut hakim, adalah JPU telah melanggar azas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan.
"Kedua, penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi," ungkap hakim Ali Muhtarom.
Alasan ketiga, berdasarkan fakta, Heru Hidayat dinilai melakukan tindak pidana korupsi saat situasi negara aman.
"Keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan. Oleh karena itu beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya," kata hakim Ali.
Apalagi tuntutan mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut hakim, Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor menjelaskan keadaan tertentu, saat pidana mati dapat dijatuhkan adalah sebagai pemberatan bagi tindak pidana korupsi ketika negara dalam keadaan bahaya sebagaimana undang-undang yang berlaku, yaitu pada waktu bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, waktu negara dalam krisis ekonomi, dan moneter.
"Tuntutan hukuman mati sifatnya fakultatif, artinya pilihan tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati," tambah hakim Ali.
Heru Hidayat sendiri telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara senilai Rp16,807 triliun berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Oktober 2020 dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Terdakwa telah menjalani sebagian atau baru dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Tindak pidana korupsi PT Jiwasraya berbarengan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT Asabri Persero sehingga lebih tepat dikategorikan 'concursus realis' atau 'meerdaadse samenloop', bukan sebagai pengulangan tindak pidana," ungkap hakim.
Namun majelis hakim sepakat dengan JPU bahwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer, yaitu Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Dengan demikian terdakwa hanya dapat dipidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," tambah hakim Ali.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman nihil ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp12,643 triliun dikurangi dengan aset-aset yang sudah disita dan bila tidak dibayar maka harta benda Heru akan disita untuk membayar uang pengganti tersebut.
Terhadap perkara tersebut, JPU dan Heru Hidayat menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.