Sumatera Selatan (ANTARA) - Mantan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Akhmad Najib mengungkapkan alasan dirinya menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPDH) untuk pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.

Hal itu disampaikannya saat menjadi saksi terhadap dua terdakwa Mukti Sulaiman (mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan) dan Ahmad Nasuhi (mantan Plt Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan) dalam sidang lanjutan dugaan tindak pidana korupsi dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis.

Menurut Najib, penandatanganan tersebut bermula saat ia menerima berkas NPHD dari terdakwa Ahmad Nasuhi sekitar September 2015.

Berkas tersebut berisikan lembar NPHD beserta nota dinas yang menerangkan bahwa berkas tersebut sudah diteliti dan dipelajari oleh terdakwa.

"Ahmad Nasuhi berikan berkas NPHD tahun 2015 ke saya beserta nota dinas yang isinya berkas itu sudah diteliti dan dipelajari," kata dia di hadapan Majelis Hakim diketuai Abdul Aziz.

Ia mengakui menandatangani berkas tersebut karena yakin kalau berkas itu sudah diteliti dan dipelajari sebelumnya oleh terdakwa.

"Saya tanda tangani berkas itu," ujarnya.

Baca juga: Alex Noerdin bantah perintahkan BPKAD anggarkan dana pembangunan masjid Sriwijaya Rp100 miliar
Baca juga: Jaksa dakwa terdakwa korupsi Masjid Sriwijaya tiga pasal berlapis

Selain itu hal yang menguatkan alasannya untuk menandatangani NPHD itu berpegang dengan peraturan daerah (Perda) Nomor 13 tahun tahun 2014 tentang Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya yang terbit pada 30 September 2014.

Lalu adanya surat keputusan (SK) Gubernur tentang penunjukan dirinya sebagai perwakilan pemerintah dan juga sudah ada nominal alokasi berikut penerima dana hibah itu. Maka atas dasar itulah tidak ada alasan baginya untuk tidak menandatangani NPHD itu.

"Dalam konteks ini, penerima sudah ada, anggaran ada, alokasi ada, SK Keputusan Gubernur menunjuk saya juga ada. Maka tidak ada alasan saya untuk tidak menandatanganinya,"ujar dia.

Diketahui dalam persidangan, penandatanganan berkas NPHD itu dilakukannya untuk mewakili pemerintah Provinsi Sumatera Selatan selaku pihak pertama pemberi dana hibah (pihak pertama) kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya (pihak kedua) selaku penerima hibah.

"Dalam hal ini ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya yang menjabat ditahun 2015 juga menandatangani NPHD tersebut," ujarnya.

Kedudukan NPHD itu penting sebab merupakan syarat administratif untuk pemberian dana hibah termin pertama senilai Rp50 miliar dari APBD tahun 2015.

Sekaligus juga, dijadikan dasar pencairan dana hibah senilai Rp80 miliar pada termin kedua dari APBD 2017 sehingga total dana hibah yang dicairkan Rp130 miliar dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.

Namun pencairan dana hibah pasca penandatanganan NPDH itu diduga terjadi pembiasan sebagaimana atas keterangan saksi Ardani (mantan Plh Biro Hukum setda Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan) dan Agustunus Toni (mantan Kabid Anggaran Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Sumatera Selatan) yang juga hadir dalam sidang tersebut.

Menurut Ardani, tidak ada pembahasan terkait dana hibah pembangunan Masjid Sriwijaya dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).

Hal tersebut diyakinkannya sebab kala itu dirinya juga sebagai anggota TAPD yang diketuai oleh terdakwa Mukti Sulaiman (mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan)

“Seingat saya anggaran dana hibah itu tidak pernah dibahas atau dirapatkan oleh TAPD tapi tetap dilakukan,” ujarnya yang senada dengan kesaksian Agustinus Toni.

Baca juga: Kejagung sebut Alex Noerdin perintah cairkan dana hibah tanpa proposal
Baca juga: Alex Noerdin kembali jadi tersangka tipikor, kali ini dana hibah Masjid Sriwijaya
Atas keterangan saksi tersebut telah menguatkan dugaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan terhadap terdakwa. Bahwa dari segenap rangkaian persidangan, terdakwa diyakini telah lalai dengan tidak melakukan verifikasi berkas-berkas terkait pemberian dana hibah.

Keduanya langsung mencairkan dana APBD senilai Rp50 miliar pada tahun 2015 dan Rp80 miliar pada tahun 2017 sebagai dana hibah dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya tanpa ada verifikasi berkas terlebih dahulu.

Atas perbuatan tersebut telah menyebabkan kerugian negara Rp116 miliar dari total Rp130 miliar dana hibah pembangunan masjid tersebut.

"Telihat jelas kalau atas perbuatan kedua terdakwa ini dianggap telah menguntungkan diri, atau orang lain atau koorporasi," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Tiara Pratidina.

Sementara itu, lanjutnya, menanggapi keterangan saksi yang telah menandatangani NPHD. Meskipun telah berdasarkan SK Gubernur keputusannya itu mengandung unsur kelalaian karena tidak memverifikasi berkas tersebut.

"Seharusnya berkasnya itu sudah benar-benar diteliti dan diverifikasi lengkap atau tidak karena itu harus dipertanggungjawabkan," ujarnya.

Atas dugaan kelalaian tersebut saksi harus ada pertanggung jawaban sebagaimana yang melekat dalam kapasitasnya dalam proses pencairan dana tersebut.

"Ada pertanggung jawaban yang melekat kepada saksi itu sendiri. Akan dilihat di fakta sidang selanjutnya nanti," tandasnya.

Baca juga: Alex Noerdin ditetapkan tersangka tipikor dana hibah Masjid Sriwijaya
Baca juga: Akhmad Najib bantah terima honor panitia bangun Masjid Sriwijaya

Pewarta : Muhammad Riezko Bima Elko
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024