Sumatera Selatan (ANTARA) - Saksi mengungkapkan selain Bupati dan Wakil Bupati Muara Enim (nonaktif), Sumatera Selatan, juga ada anggota DPRD yang menerima bagian uang dari 16 paket proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) daerah ini.

Saksi Elfin Muchtar (mantan Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Pejabat Pembuat Komitmen PUPR Kabupaten Muara Enim) dan Robi Okta Fahlefi (kontraktor pemegang tender proyek) dalam sidang lanjutan pembuktian perkara kasus tindak pidana korupsi (tipikor) Juarsah, di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis, mengungkap penerimaan uang proyek itu.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Sahlan Effendi tersebut, saksi Elfin Muchtar mengakui bahwa berdasarkan arahan mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani, ia harus menyiapkan 15 persen dari dana senilai Rp113 miliar untuk menyelesaikan 16 paket proyek PUPR.

Adapun pembagiannya, 10 persen untuk Ahmad Yani, Wakil Bupati Juarsah, 25 orang anggota DPRD Muara Enim, lalu lima persen lainnya dibagikan sebesar tiga persen untuk Ketua DPRD Aries HB, satu persen untuk Kepala Dinas PUPR, dan satu persen untuk dirinya.

“Benar yang mulia (menerima), sekitar Rp4 miliar untuk Juarsah, lalu Rp200 juta untuk masing-masing 25 anggota DPRD,” kata dia.

Ketua majelis hakim Sahlan Effendi meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rikhi B Magnaz untuk menindaklanjuti pemeriksaan terhadap anggota DPRD sesuai dengan keterangan disampaikan saksi itu.

“Selesaikan perkara ini sampai ke akar-akarnya,” ujar hakim.

Permintaan hakim tersebut akan ditindaklanjuti JPU dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan pimpinan mereka.

“Meskipun bukan wewenang kami, tapi kami akan berkoordinasi dengan pimpinan lebih dahulu,” kata JPU.

Pada sidang Kamis (19/8) pekan lalu, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan menghadirkan empat orang saksi, yaitu Bupati Kabupaten Muara Enim periode 2018- 2019 Ahmad Yani, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muara Enim Ramlan Suryadi, Ketua Badan Pendapatan Daerah Rinaldo, dan Ketua Proyek Ilham Sudiono, termasuk terdakwa Bupati Kabupaten Muara Enim (nonaktif) Juarsah dalam sidang secara langsung yang dipimpin ketua majelis hakim Sahlan Effendi.

Sahlan Effendi melayangkan beberapa pertanyaan kepada saksi untuk membuktikan keterlibatan terdakwa Juarsah dalam kasus tersebut yang diduga menerima uang senilai Rp4 miliar.

Pertanyaan hakim tertuju kepada terpidana Ahmad Yani yang saat itu merupakan Bupati Muara Enim, sedangkan Juarsah masih menjadi Wakil Bupati Muara Enim.

“Saudara terpidana apakah tahu ada laporan dari Saudara Elfin Muchtar (terpidana KPK, Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Pejabat Pembuat Komitmen PU PR Muara Enim) yang melaporkan terdakwa Juarsah dapat jatah Rp4 miliar, apakah saudara tahu siapa penerima dana itu selain Juarsah,” tanya hakim.

Adapun dana senilai Rp4 miliar itu, diberikan Elfin Muchtar diduga sebagai permintaan dari terdakwa Juarsah yang membutuhkan dana untuk pencalonan istrinya Nurhilyah maju dalam pemilihan anggota legislatif Pemilu 2019 di Sumatera Selatan.

“Saya tidak tahu dia dapat uang dari mana,” jawab terpidana Ahmad Yani.

Setelah dicecar pertanyaan, lantas pertanyaan tersebut dibenarkan terpidana Ahmad Yani, namun uang yang diterima terdakwa Juarsa senilai Rp1 miliar dari terpidana Elfin Muchtar.

“Juarsah menerima dari Elfin Rp1 miliar lebih, itu langsung Elfin yang menyerahkan, dari saya untuk Juarsah ada tiket pesawat,” ujarnya.

Pertanyaan hakim pun berlanjut menyasar kepada terpidana Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muara Enim Ramlan Suryadi.

“Elfin melapor bahwa terdakwa Juarsah membutuhkan uang terus kamu jawab apa? Tidak ada, terus Elfin dapat uang dari mana, masak dia bawahan berani melangkahi kamu untuk ambil fee proyek dari Robi Okta Fahlefi (pihak swasta pemegang tender proyek) lebih baik Anda jujur,” ujar hakim lagi.

Terpidana Ramlan Suryadi menjawab secara terang-terangan pertanyaan majelis hakim tersebut, Ia membenarkan terdakwa Juarsa pernah mengatakan uang untuk pencalonan istrinya tersebut, lalu memerintahkan Elfin Muchtar untuk mengatur pemberian dana itu.

“Pernah yang mulia dia bilang butuh uang untuk anak dan istri maju caleg, tapi tidak disebutkan berapa, pada saat itu saya bilang sama Elfin bantulah terdakwa Juarsah. Menurut Pak Elfin terdakwa sudah menerima Rp4 miliar,” ujarnya dalam persidangan.

Dalam kasus tersebut terpidana Robi Okta Fahlefi memberikan 35 ribu dolar AS kepada Elfin. Lalu untuk terdakwa Juarsah selaku Wakil Bupati Muara Enim Rp4 miliar, ada tambahan Rp6 miliar jadi total Rp10 miliar.

“Pak Elfin bilang ke saya digenapkan Rp10 miliar itu permintaan Juarsah, saya sampaikan ke Elfin atur saja, sedangkan yang tersisa dari dana realisasi itu baru Rp4 miliar kata Elfin, Rp10 miliar itu jatah untuk setahun, tapi belum genap Rp10 miliar ada operasi tangkap tangan (OTT) KPK 2018 lalu,” ujarnya.

Termasuk juga ada permintaan dari DPRD Muara Enim untuk melakukan percepatan tanda tangan pencairan dana aspirasi.

“Legislatif DPRD Muara Enim tidak ada yang langsung melalui saya, saya sampaikan ke Pak Elfin bantulah DPRD, jatah 20 persen kalau dari sidang ada 25 anggota DPRD menerima fee. Lantas 16 paket proyek dimenangkan Robi Okta Fahlefi,” ungkapnya lagi.

Dari pengakuan saksi-saksi tersebut satu sama lain saling berkaitan dan memberatkan terdakwa Juarsah, Majelis hakim menutup jalannya sidang dan menerima semua kesaksian tersebut, dan sidang akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda mendengarkan saksi dan ahli.

Adapun kasus terungkap saat KPK melakukan operasi tangkap tanggan (OTT) terhadap Ahmad Yani, Bupati Kabupaten Muara Enim 2018-2019, dan diiringi oleh enam orang terpidana lainnya, yaitu Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muara Enim Ramlan Suryadi, Ketua Badan Pendapatan Daerah Rinaldo, dan Ketua Proyek Ilham Sudiono, Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Pejabat Pembuat Komitmen PU PR Muara Enim Elfin Muchtar, dan Robi Okta Fahlefi pemenang tender 16 proyek dan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB.

Mereka dinyatakan bersalah dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan Pasal 12 B UU Tipikor juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.


Pewarta : Muhammad Riezko Bima Elko
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024