Jakarta (ANTARA) - Peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer telah menyebabkan pemanasan global, yang selanjutnya memicu terjadinya perubahan iklim di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, pemanasan global telah menyebabkan musim kemarau semakin panjang dan semakin kering, sehingga menyebabkan kekeringan di beberapa daerah, sedangkan musim hujan makin pendek tetapi dengan intensitas hujan yang sangat tinggi, yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor.

Pemanasan global juga telah menyebabkan terjadinya angin kencang, badai, dan gelombang tinggi di pantai-pantai di Indonesia.

Secara global, perubahan iklim menyebabkan mencairnya es di kutub, sehingga permukaan air laut meningkat, dan selanjutnya dapat menenggelamkan area pantai dan pulau-pulau kecil.

Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, perlu mitigasi dengan menggunakan berbagai teknologi di semua sektor. Oleh karenanya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan berbagai teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan mitigasi perubahan iklim, di antaranya teknologi recovery dan pemanfaatan gas metan TPA, teknologi fotobioreaktor mikroalga untuk menangkap karbon dan teknologi modifikasi cuaca.

Direktur Pusat Teknologi Reduksi dan Resiko Bencana (PTRRB) BPPT M. Ilyas mengatakan melalui proses alamiah pada kandungan organik yang ada di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA), yaitu proses biodegradasi anaerobik, TPA berpotensi menghasilkan gas metana (CH4) ke lingkungan.

Salah satu upaya mencegah emisi gas metana yang memiliki dampak gas rumah kaca 21 kali dari karbon dioksida (CO2) ke lingkungan dengan menangkap dan memanfaatkan gas metana tersebut menjadi sumber energi.

Pemanfaatan gas metana TPA menjadi sumber energi juga dapat mengurangi kebutuhan bahan bakar fosil sehingga berpotensi mengurangi potensi emisi karbon dari pemakaian bahan bakar fosil.

Keunggulan produk teknologi tecovery dan pemanfaatan gas metan TPA yang dikembangkan BPPT adalah produk teknologi tepat guna yang bisa diterapkan dengan biaya yang rendah dan mudah dioperasikan.

Tahapan pengembangan teknologi pemanenan atau recovery dan pemanfaatan gas metan TPA yakni studi potensi produksi gas metan di TPA, instalasi sumur gas metan, proses ekstraksi dan purifikasi gas metan, dan pemanfaatan produksi gas metan untuk pengganti elpiji atau energi listrik.

Teknologi recovery dan pemanfaatan gas metan TPA sudah diaplikasikan antara lain di TPA Cipayung di Kota Depok, TPA Baja di Kota Tebing Tinggi, dan TPA Bayu Angga di Kota Probolinggo.

Selain teknologi itu, ada juga teknologi penangkapan karbon (carbon capture technology) menggunakan fotobioreaktor mikroalga dalam rangka mitigasi perubahan iklim.

Peningkatan emisi gas rumah kaca khususnya karbon dioksida (CO2) menimbulkan dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

Sebagai alternatif dari fotobioreaktor adalah teknologi open pond dengan kolam terbuka untuk pembiakan mikroalga.

Tenaga ahli BPPT Andi Eka Sakya mengatakan fotobioreaktor adalah reaktor tembus pandang terbuat dari gelas, akrilik, PVC, atau plastik untuk kultivasi mikroalga. Unit fotobioreaktor dilengkapi dengan unit pemasok nutrien dan CO2 dari cerobong industri.

Mikroalga yang dikenal sebagai fitoplankton, adalah organisme mikroskopis perairan yang menyerap CO2 dari udara dan mengubahnya menjadi senyawa organik melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya Matahari. Jenis mikroalga yang banyak digunakan adalah Chlorella sp. dan Navicula sp.

Pusat Teknologi Lingkungan BPPT bekerja sama dengan PT Indolakto mengembangkan fotobioreaktor mikroalga Chlorella sp. dengan kapasitas serapan CO2 mencapai 2 g/L/hari, dengan jumlah biomassa 0,38 g/L/hari.

Biomassa mikroalga yang dihasilkan dari proses penyerapan karbon tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan baku biofuel.

Pusat Teknologi Lingkungan BPPT juga bekerja sama dengan PT Pertamina telah mengembangkan teknologi fotobioreaktor mikroalga skala 5.000 L untuk produksi bahan baku biofuel, yang dilengkapi dengan unit pemanenan dan ekstraksi minyak mikroalga. Produksi biomassa yang dihasilkan mencapai 0,6 g/L dengan kadar minyak 33 persen.

Teknologi Modifikasi Cuaca

Kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca atau melakukan perubahan terhadap cuaca adalah bagian dari geo engineering. Geo engineering dilakukan untuk mengurangi dampak pemanasan global dengan melakukan perubahan di atmosfer.

Modifikasi cuaca atau hujan buatan dapat menjadi bagian dari geo engineering karena mengurangi emisi kebakaran hutan dengan menjatuhkan debu partikulat kebakaran hutan ke permukaan darat.

Debu partikulat kebakaran hutan adalah dari gas emisi akibat kebakaran hutan dan kemudian dijatuhkan langsung ke darat sebelum mereka berfungsi sebagai gas rumah kaca.

Selain itu, partikulat tersebut berfungsi sebagai "short life climate forcer" yang merupakan versi jangka pendek dari gas rumah kaca yang dapat hidup di atmosfer dalam waktu lama hingga di atas satu abad.

Dalam jangka pendek, akibat penerapan modifikasi cuaca adalah berkurangnya emisi karbon di atmosfer karena program pengurangan asap kebakaran hutan. Pembakaran hutan sendiri murni proses emisi karbon.

Proses modifikasi cuaca dengan menurunkan air hujan di daerah target di manapun diharapkan dapat membawa turun serta karbon yang sedang melayang di atmosfer.

Jadi, pada dasarnya dapat mengurangi emisi karbon secara langsung tetapi sulit untuk dihitung.

Proses hujan juga dapat menurunkan suhu atmosfer Bumi. Oleh karena itulah, salah satu peran hujan di atmosfer, karena hujan terjadi dari penguapan, sedangkan penguapan terjadi karena ada energi yang diserap dari sekitar lokasi penguapan.

Proses terjadinya hujan itu sendiri pada dasarnya dapat merupakan proses pendinginan atmosfer secara langsung.

Adanya beberapa teknologi tersebut, dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat memicu pemanasan global sekaligus sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim.

Diharapkan, ke depan akan ada berbagai teknologi terbaru yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, menangani pemanasan global, dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Pewarta : Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024