Purwokerto (ANTARA) - Kondisi iklim dan cuaca pada umumnya akan memberikan dampak terhadap perubahan intensitas air di permukaan bumi.
Misalkan pada musim penghujan, intensitas air berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan air dan juga distribusi cadangan air.
Kendati demikian, intensitas air yang cukup tinggi pada musim penghujan juga dapat berpengaruh terhadap meningkatnya potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.
Koordinator Bidang Geologi Pusat Mitigasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Indra Permanajati mengatakan pemahaman mengenai siklus alam sangat penting untuk mempersiapkan kondisi fluktuatif iklim dan cuaca serta melakukan upaya mitigasi yang tepat, salah satunya mitigasi tanah longsor.
Pasalnya, pada musim penghujan, potensi pergerakan tanah di wilayah rawan longsor mengalami peningkatan, khususnya pada pemukiman yang berlokasi di lereng atau tebing-tebing bukit dan juga di dekat sungai.
Kendati demikian, solusi sederhana dapat segera dilakukan masyarakat sebagai salah satu upaya mitigasi di wilayah-wilayah yang rentan terjadi longsoran.
"Rumah-rumah yang berlokasi di wilayah rawan ini sangat berpotensi longsor jika bangunan dibiarkan saja tanpa pengamanan. Namun langkah-langkah teknik rekayasa sederhana dapat digunakan untuk meminimalisir longsoran yang bisa mengenai pemukiman," katanya.
Bahan-bahan yang digunakan, kata dia, bisa dengan bahan yang sederhana, seperti pohon bambu atau kayu-kayu keras.
Kendati demikian, langkah pertama yang perlu dipersiapkan adalah dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi zona rawan pada area tebing dengan mengukur ketinggian tebing.
"Jika misalkan ketinggian tebing adalah 50 meter maka radius daerah rawan longsor adalah 50 meter dari tebing lereng, sehingga warga yang berlokasi di radius 50 meter tersebut yang paling perlu melakukan perkuatan lereng," katanya.
Perkuatan lereng itu pun sangat tergantung dari kondisi sudut lereng. Jika sudut lerengnya sangat terjal maka semakin sulit untuk diatasi.
Namun menurut anggota Masyarakat Geologi Teknik Indonesia itu, jika ingin menerapkan konsep kestabilan tanah, maka lokasi dengan radius sepanjang tinggi tebing yang diukur secara horizontal dari ujung tebing lereng ke daratan harus steril dari pemukiman.
Namun, jika terdapat pemukiman di area tersebut, maka disarankan menggunakan bahan bangunan dari material yang ringan seperti kayu.
"Atau jika ingin diperkuat secara permanen maka perlu dibuat tiang panjang di beberapa titik pada pondasi rumah. Akan tetapi jika rumah sudah terlanjur dibangun tanpa pengamanan maka harus segera dilakukan perkuatan-perkuatan lereng, bisa dengan bahan yang sederhana seperti bambu dan kayu," katanya.
Tancap bambu
Anggota Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia itu juga menjelaskan bahwa perkuatan lereng bisa dilakukan dengan menancapkan bambu secara horizontal di sepanjang bukit untuk menahan tekanan tanah dari atas. Jika ingin lebih kuat penancapan bambu bisa dibuat sebanyak dua atau tiga tingkat sesuai kondisi lereng.
Menurut dia makin banyak bambu yang digunakan maka akan makin aman untuk menahan tekanan tanah asalkan disusun secara tepat dan rapat searah dengan panjang lereng
Setelah bambu tertancap maka bisa dibuatkan juga saluran-saluran air yang teratur untuk mengurangi air masuk ke dalam tanah secara berlebihan.
"Karena jika air yang masuk ke dalam tanah terlalu banyak maka tekanan air bisa mengubah tanah menjadi plastis dan tanah kehilangan kekuatannya untuk bertahan di lereng sehingga berpotensi menyebabkan longsor. Untuk itu perlu saluran air yang dibuat secara teratur dan diarahkan ke sungai," katanya.
Selain itu perlu juga membuat saluran horizontal dengan memasukkan batang bambu ke dalam lereng agar dapat mengalirkan air tanah keluar dari lereng.
Namun, yang juga tidak kalah penting yang juga harus dilakukan masyarakat adalah mengecek sumbatan-sumbatan material di sungai misalkan sumbatan karena kayu atau longsor tebing sungai yang bisa menyebabkan bendungan-bendungan alami di sungai.
Bendungan-bendungan ini yang menurutnya dikhawatirkan berpotensi menyebabkan terjadinya banjir bandang.
"Selain mengecek sumbatan masyarakat juga diharapkan dapat membersihkan saluran-saluran air dari sampah atau kotoran lainnya agar air bisa mengalir dengan baik melewati saluran dan menuju ke sungai," katanya.
Hal tersebut kata dia, bisa menjadi upaya sederhana untuk mengurasi risiko bencana tanah longsor, selain juga melakukan upaya lainnya seperti sumur resapan di saluran sungai atau tempat-tempat sekitar rumah.
"Sumur resapan tidak harus dengan diameter besar tetapi dengan diameter kecil juga bisa dibuat dan diberi saringan di bagian atas supaya tidak membahayakan," katanya.
Kelebihan air
Sementara itu pakar air tanah dari Universitas Jenderal Soedirman Adi Candra, MT mengatakan mitigasi bencana perlu juga dilakukan dengan perencanaan matang agar berjalan efektif dan berkelanjutan.
"Untuk mengurangi risiko bencana perlu juga dilakukan perencanaan matang dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Misalkan dengan memanfaatkan kelebihan air saat musim hujan, ditampung agar nantinya bisa bermanfaat saat musim kemarau," katanya.
Dia menjelaskan bahwa kelebihan air yang tidak tertampung ke dalam sungai harus dialirkan ke tempat lain atau ditampung dengan berbagai cara, misalnya dengan sumur-sumur resapan atau embung-embung kecil jika topografi lingkungannya memungkinkan.
Bahkan menurut dia, bekas-bekas sumur, baik sumur gali maupun sumur bor yang sudah tidak digunakan juga dapat dimanfaatkan untuk penampungan air.
"Atau bisa juga dengan menggunakan sistem panen air hujan (rain harvesting) atau berbagai upaya lainnya. Intinya pemilihan metode mitigasi air bersih ini dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah masing-masing dengan mempertimbangkan kompleksitas di lapangan dan melakukan simplifikasi yang bisa diterapkan dengan baik," katanya.
Dengan berbagai upaya tersebut maka diharapkan kelebihan air pada musim penghujan dapat dimanfaatkan untuk membantu menyiapkan cadangan air yang nantinya dapat dipergunakan pada musim kemarau.
Karena pada dasarnya, siklus musim akan bersifat menerus dan tak putus, tinggal bagaimana menyikapinya untuk kebaikan bersama, dengan kunci sederhana menjaga keseimbangan alam.
Dengan demikian, maka akan sesuai dengan jargon utama, yaitu kita jaga alam, alam jaga kita.*
Misalkan pada musim penghujan, intensitas air berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan air dan juga distribusi cadangan air.
Kendati demikian, intensitas air yang cukup tinggi pada musim penghujan juga dapat berpengaruh terhadap meningkatnya potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.
Koordinator Bidang Geologi Pusat Mitigasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Indra Permanajati mengatakan pemahaman mengenai siklus alam sangat penting untuk mempersiapkan kondisi fluktuatif iklim dan cuaca serta melakukan upaya mitigasi yang tepat, salah satunya mitigasi tanah longsor.
Pasalnya, pada musim penghujan, potensi pergerakan tanah di wilayah rawan longsor mengalami peningkatan, khususnya pada pemukiman yang berlokasi di lereng atau tebing-tebing bukit dan juga di dekat sungai.
Kendati demikian, solusi sederhana dapat segera dilakukan masyarakat sebagai salah satu upaya mitigasi di wilayah-wilayah yang rentan terjadi longsoran.
"Rumah-rumah yang berlokasi di wilayah rawan ini sangat berpotensi longsor jika bangunan dibiarkan saja tanpa pengamanan. Namun langkah-langkah teknik rekayasa sederhana dapat digunakan untuk meminimalisir longsoran yang bisa mengenai pemukiman," katanya.
Bahan-bahan yang digunakan, kata dia, bisa dengan bahan yang sederhana, seperti pohon bambu atau kayu-kayu keras.
Kendati demikian, langkah pertama yang perlu dipersiapkan adalah dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi zona rawan pada area tebing dengan mengukur ketinggian tebing.
"Jika misalkan ketinggian tebing adalah 50 meter maka radius daerah rawan longsor adalah 50 meter dari tebing lereng, sehingga warga yang berlokasi di radius 50 meter tersebut yang paling perlu melakukan perkuatan lereng," katanya.
Perkuatan lereng itu pun sangat tergantung dari kondisi sudut lereng. Jika sudut lerengnya sangat terjal maka semakin sulit untuk diatasi.
Namun menurut anggota Masyarakat Geologi Teknik Indonesia itu, jika ingin menerapkan konsep kestabilan tanah, maka lokasi dengan radius sepanjang tinggi tebing yang diukur secara horizontal dari ujung tebing lereng ke daratan harus steril dari pemukiman.
Namun, jika terdapat pemukiman di area tersebut, maka disarankan menggunakan bahan bangunan dari material yang ringan seperti kayu.
"Atau jika ingin diperkuat secara permanen maka perlu dibuat tiang panjang di beberapa titik pada pondasi rumah. Akan tetapi jika rumah sudah terlanjur dibangun tanpa pengamanan maka harus segera dilakukan perkuatan-perkuatan lereng, bisa dengan bahan yang sederhana seperti bambu dan kayu," katanya.
Tancap bambu
Anggota Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia itu juga menjelaskan bahwa perkuatan lereng bisa dilakukan dengan menancapkan bambu secara horizontal di sepanjang bukit untuk menahan tekanan tanah dari atas. Jika ingin lebih kuat penancapan bambu bisa dibuat sebanyak dua atau tiga tingkat sesuai kondisi lereng.
Menurut dia makin banyak bambu yang digunakan maka akan makin aman untuk menahan tekanan tanah asalkan disusun secara tepat dan rapat searah dengan panjang lereng
Setelah bambu tertancap maka bisa dibuatkan juga saluran-saluran air yang teratur untuk mengurangi air masuk ke dalam tanah secara berlebihan.
"Karena jika air yang masuk ke dalam tanah terlalu banyak maka tekanan air bisa mengubah tanah menjadi plastis dan tanah kehilangan kekuatannya untuk bertahan di lereng sehingga berpotensi menyebabkan longsor. Untuk itu perlu saluran air yang dibuat secara teratur dan diarahkan ke sungai," katanya.
Selain itu perlu juga membuat saluran horizontal dengan memasukkan batang bambu ke dalam lereng agar dapat mengalirkan air tanah keluar dari lereng.
Namun, yang juga tidak kalah penting yang juga harus dilakukan masyarakat adalah mengecek sumbatan-sumbatan material di sungai misalkan sumbatan karena kayu atau longsor tebing sungai yang bisa menyebabkan bendungan-bendungan alami di sungai.
Bendungan-bendungan ini yang menurutnya dikhawatirkan berpotensi menyebabkan terjadinya banjir bandang.
"Selain mengecek sumbatan masyarakat juga diharapkan dapat membersihkan saluran-saluran air dari sampah atau kotoran lainnya agar air bisa mengalir dengan baik melewati saluran dan menuju ke sungai," katanya.
Hal tersebut kata dia, bisa menjadi upaya sederhana untuk mengurasi risiko bencana tanah longsor, selain juga melakukan upaya lainnya seperti sumur resapan di saluran sungai atau tempat-tempat sekitar rumah.
"Sumur resapan tidak harus dengan diameter besar tetapi dengan diameter kecil juga bisa dibuat dan diberi saringan di bagian atas supaya tidak membahayakan," katanya.
Kelebihan air
Sementara itu pakar air tanah dari Universitas Jenderal Soedirman Adi Candra, MT mengatakan mitigasi bencana perlu juga dilakukan dengan perencanaan matang agar berjalan efektif dan berkelanjutan.
"Untuk mengurangi risiko bencana perlu juga dilakukan perencanaan matang dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Misalkan dengan memanfaatkan kelebihan air saat musim hujan, ditampung agar nantinya bisa bermanfaat saat musim kemarau," katanya.
Dia menjelaskan bahwa kelebihan air yang tidak tertampung ke dalam sungai harus dialirkan ke tempat lain atau ditampung dengan berbagai cara, misalnya dengan sumur-sumur resapan atau embung-embung kecil jika topografi lingkungannya memungkinkan.
Bahkan menurut dia, bekas-bekas sumur, baik sumur gali maupun sumur bor yang sudah tidak digunakan juga dapat dimanfaatkan untuk penampungan air.
"Atau bisa juga dengan menggunakan sistem panen air hujan (rain harvesting) atau berbagai upaya lainnya. Intinya pemilihan metode mitigasi air bersih ini dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah masing-masing dengan mempertimbangkan kompleksitas di lapangan dan melakukan simplifikasi yang bisa diterapkan dengan baik," katanya.
Dengan berbagai upaya tersebut maka diharapkan kelebihan air pada musim penghujan dapat dimanfaatkan untuk membantu menyiapkan cadangan air yang nantinya dapat dipergunakan pada musim kemarau.
Karena pada dasarnya, siklus musim akan bersifat menerus dan tak putus, tinggal bagaimana menyikapinya untuk kebaikan bersama, dengan kunci sederhana menjaga keseimbangan alam.
Dengan demikian, maka akan sesuai dengan jargon utama, yaitu kita jaga alam, alam jaga kita.*