Jakarta (ANTARA) - "Saat awal kita menghadapi pandemi COVID-19 ini, ada kekhawatiran dalam diri saya terhadap industri pasar modal Indonesia apakah mampu bertahan.."
Kata-kata itu meluncur dari orang nomor satu di Tanah Air. Ungkapan walang hati atas ketidakpastian akibat pagebluk atau pandemi yang berkepanjangan. Meski kemudian diiringi apresiasi karena kekhawatirannya tidak terjadi.
Tujuh bulan lebih Virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merebak di Indonesia, dampak yang muncul dari makhluk hidup tak kasat mata itu begitu nyata. Semua sektor usaha tak luput kena imbas.
Berdasarkan Survei Dampak COVID-19 terhadap Pelaku Usaha yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 10-26 Juli 2020, sebanyak 82,85 persen perusahaan pendapatannya menurun, 14,6 persen tetap, dan 2,55 persen meningkat. Artinya, secara umum 8 dari setiap 10 perusahaan cenderung mengalami penurunan pendapatan.
Ditilik dari sektor usahanya, tiga sektor usaha tertinggi terdampak COVID-19 yaitu akomodasi dan makan minum 92,47 persen, jasa lainnya 90,9 persen, serta transportasi dan pergudangan 90,34 persen. Sedangkan tiga sektor usaha terendah terdampak COVID-19 antara lain air dan pengelolaan sampah 68 persen, listrik dan gas 67,85 persen, dan real estate 59,15 persen.
Kendati demikian, hasil survei tersebut juga menunjukkan ada pelaku usaha yang memandang kondisi pandemi sebagai peluang. Sebanyak 55 dari setiap 100 pelaku usaha cenderung telah memiliki rencana walau baru 17 saja yang sudah menyiapkannya lebih baik. Sebanyak 8 dari setiap 10 perusahaan juga optimistis bahwa usaha mereka akan pulih dalam waktu maksimal enam bulan ke depan.
Di pasar modal sendiri, seperti kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), kegiatannya tetap terjaga dan bahkan pasar modal tetap dapat menorehkan kinerja yang relatif baik. Hingga saat ini, sudah ada 46 emiten baru yang melantai di bursa sepanjang 2020, tertinggi di antara bursa ASEAN. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, terdapat delapan pipeline perusahaan lagi yang berencana akan melakukan pencatatan saham di bursa pada tahun ini.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan selaku regulator, pasar modal bersama OJK pihaknya telah menginisiasi beberapa stimulus dan relaksasi untuk para pemangku kepentingan pasar modal khususnya bagi calon perusahaan tercatat dan perusahaan tercatat selama berlangsungnya wabah COVID-19.
Regulator merelaksasi batas waktu penyampaian laporan keuangan tahunan Desember 2019, kuartal I 2020, dan kuartal II 2020, atau laporan keuangan tengah tahun, serta batas waktu pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selain itu, kebijakan paparan publik dapat dilakukan secara elektronik, di mana BEI menyediakan peminjaman akun aplikasi pendukungnya. Kebijakan mengenai pembelian kembali saham (buyback) bagi perusahaan tercatat pun diterbitkan.
Otoritas juga memperpanjang jangka waktu berlakunya laporan keuangan dan laporan penilai di pasar modal, perpanjangan masa penawaran awal dan penundaan atau pembatalan penawaran umum, serta pengurangan biaya pencatatan awal saham atau Initial Listing Fee (ILF) dan saham tambahan di BEI sebesar 50 persen.
Sementara itu kebijakan terkait pajak yaitu berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan akan tetap didapatkan untuk perusahaan tercatat saham yang melakukan buyback saham. Selain itu, berdasarkan Perpu 1 Tahun 2020 (kemudian disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020) dan PP No. 30 Tahun 2020, perusahaan tercatat memperoleh insentif tarif PPh Badan sebesar 3 persen lebih rendah dari tarif yang telah diatur sebelumnya.
Melalui sejumlah stimulus dan relaksasi tersebut, regulator berharap pelaku pasar modal dapat bertahan di masa pandemi dan perlahan bangkit.
"Pandemi ini memiliki dampak terhadap dunia usaha. Tentunya BEI berharap seluruh sektor usaha dapat segera pulih dan memiliki performa yang baik," ujar Nyoman.
Investor Lokal
Pandemi memang harus diakui menjadi sentimen negatif di pasar modal, khususnya pasar saham. Pada akhir bulan lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah akibat kekhawatiran publik terhadap semakin tingginya tingkat penyebaran COVID-19 di dalam negeri, ditambah perpanjangan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta. Aksi jual asing menekan bursa saham domestik.
IHSG saat itu ditutup di bawah level psikologis 5.000 tepatnya di posisi 4.870,04 atau melemah 22,69 persen sejak awal tahun (year to date/ytd). Pada 10 September, otoritas bahkan sempat melakukan pembekuan perdagangan sementara atau trading halt untuk mencegah penurunan indeks yang lebih dalam.
Sebenarnya pada Juli dan Agustus IHSG relatif sudah lebih stabil dibandingkan bulan-bulan sebelumnya dan selalu berada di atas 5.000. Pada penutupan perdagangan saham Jumat (9/10) kemarin, IHSG juga sudah kembali di atas level psikologis di posisi 5.053,66 dan secara year to date membaik yaitu minus 19,78 persen.
Dampak pagebluk juga menyebabkan kinerja korporasi emiten di kuartal II 2020 yang menurun hingga 39,2 persen secara tahunan (year on year/yoy) untuk total profit. Penurunan profit terbesar terjadi pada emiten sektor konstruksi dan perdagangan masing-masing 106,12 persen dan 79,37 persen (yoy).
Di tengah volatilitas IHSG dan penurunan kinerja emiten tadi, jumlah investor di pasar modal tetap tumbuh secara signifikan sebesar 23,5 persen (ytd) saat pandemi yang mencapai 3,14 juta investor dibandingkan 2,48 juta investor pada akhir 2019 lalu.
PT Kustodian Sentral Efek Indonesia atau KSEI mencatat, sepanjang Januari hingga Agustus 2020 terdapat penambahan 682.935 Single Investor Identification (SID) dimana sebesar 65,8 persen atau 449.371 SID adalah investor berusia di bawah 30 tahun atau bisa disebut investor milenial.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Octavianus Budiyanto menilai pada masa pandemi terjadi fenomena menarik di pasar modal Indonesia yakni dominasi investor lokal dalam transaksi harian di BEI. Investor ritel di kalangan anak muda menurutnya telah bertumbuh dengan signifikan.
"Dengan semakin banyaknya pole kerja lewat Work From Home atau WFH, ini juga berpengaruh terhadap transaksi di BEI. Didukung oleh transaksi online dengan frekuensi tinggi, ini yang menjadi pendukung IHSG tidak jatuh terlalu dalam. Bayangkan, untuk top frekuensi dari broker online, bisa mencapai 300 ribuan frekuensi. Ini hal yang baru terjadi dan hal ini harus diantisipasi oleh broker karena behaviour dari investor sudah berubah," ujar Ocky, panggilan akrabnya.
Salah satu pialang atau broker PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia meyakini nilai transaksi saham di bursa akan semakin meningkat seiring melonjaknya jumlah investor ritel domestik. Presdir Mirae Asset Sekuritas Indonesia Tae Yong Shim mengatakan investor ritel di Indonesia kini semakin dewasa dalam berinvestasi di pasar modal. Edukasi secara terus-menerus yang dilakukan oleh perusahaan kepada para investor sejak bertahun-tahun yang lalu, menjadi kunci perseroan meningkatkan nilai transaksi saham.
Frekuensi transaksi dan volume Mirae Asset Sekuritas tercatat sudah 4,07 miliar lot saham yang ditransaksikan melalui 33,55 juta transaksi, sehingga transaksi saham di perusahaan sekuritas itu berada di urutan pertama baik dari sisi nilai transaksi, volume, dan frekuensi dari total 105 sekuritas anggota bursa (AB).
Data yang sama juga menunjukkan Mirae Asset Sekuritas sudah melampaui nilai transaksi sepanjang 2019 yaitu Rp207,7 triliun pada 10 September lalu. Per 25 September pangsa pasar nilai transaksinya sudah mencapai 7,98 persen, hampir dua kali lipat dari pangsa pasarnya tahun lalu 4,64 persen.
"Pandemi COVID-19 tidak menghalangi kami untuk terus melakukan edukasi, bahkan justru saat ini kami dapat mengedukasi masyarakat lebih banyak secara online, termasuk menggunakan media sosial yang kami miliki," ujar Tae Yong Shim.
Pendekatan kepada investor kini memang lebih diarahkan kepada dukungan teknologi daring dan dari sisi pemasaran produk investasi pun mau tidak mau harus disesuaikan dengan tren investor muda. OJK dan KSEI juga sudah membantu dengan adanya simplifikasi pembukaan rekening efek sehingga memudahkan para investor untuk masuk ke pasar modal.
Selain itu dari sisi edukasi, seyogyanya perlu terus digenjot untuk mengubah pola pikir masyarakat dari menabung menjadi berinvestasi, serta menekankan bahwa berinvestasi itu juga memiliki risiko dan sebaiknya berdurasi menengah panjang. Hal-hal tersebut diharapkan dapat menjadikan pasar modal tetap kuat, transparan, dan efisien.
Kata-kata itu meluncur dari orang nomor satu di Tanah Air. Ungkapan walang hati atas ketidakpastian akibat pagebluk atau pandemi yang berkepanjangan. Meski kemudian diiringi apresiasi karena kekhawatirannya tidak terjadi.
Tujuh bulan lebih Virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merebak di Indonesia, dampak yang muncul dari makhluk hidup tak kasat mata itu begitu nyata. Semua sektor usaha tak luput kena imbas.
Berdasarkan Survei Dampak COVID-19 terhadap Pelaku Usaha yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 10-26 Juli 2020, sebanyak 82,85 persen perusahaan pendapatannya menurun, 14,6 persen tetap, dan 2,55 persen meningkat. Artinya, secara umum 8 dari setiap 10 perusahaan cenderung mengalami penurunan pendapatan.
Ditilik dari sektor usahanya, tiga sektor usaha tertinggi terdampak COVID-19 yaitu akomodasi dan makan minum 92,47 persen, jasa lainnya 90,9 persen, serta transportasi dan pergudangan 90,34 persen. Sedangkan tiga sektor usaha terendah terdampak COVID-19 antara lain air dan pengelolaan sampah 68 persen, listrik dan gas 67,85 persen, dan real estate 59,15 persen.
Kendati demikian, hasil survei tersebut juga menunjukkan ada pelaku usaha yang memandang kondisi pandemi sebagai peluang. Sebanyak 55 dari setiap 100 pelaku usaha cenderung telah memiliki rencana walau baru 17 saja yang sudah menyiapkannya lebih baik. Sebanyak 8 dari setiap 10 perusahaan juga optimistis bahwa usaha mereka akan pulih dalam waktu maksimal enam bulan ke depan.
Di pasar modal sendiri, seperti kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), kegiatannya tetap terjaga dan bahkan pasar modal tetap dapat menorehkan kinerja yang relatif baik. Hingga saat ini, sudah ada 46 emiten baru yang melantai di bursa sepanjang 2020, tertinggi di antara bursa ASEAN. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, terdapat delapan pipeline perusahaan lagi yang berencana akan melakukan pencatatan saham di bursa pada tahun ini.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan selaku regulator, pasar modal bersama OJK pihaknya telah menginisiasi beberapa stimulus dan relaksasi untuk para pemangku kepentingan pasar modal khususnya bagi calon perusahaan tercatat dan perusahaan tercatat selama berlangsungnya wabah COVID-19.
Regulator merelaksasi batas waktu penyampaian laporan keuangan tahunan Desember 2019, kuartal I 2020, dan kuartal II 2020, atau laporan keuangan tengah tahun, serta batas waktu pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selain itu, kebijakan paparan publik dapat dilakukan secara elektronik, di mana BEI menyediakan peminjaman akun aplikasi pendukungnya. Kebijakan mengenai pembelian kembali saham (buyback) bagi perusahaan tercatat pun diterbitkan.
Otoritas juga memperpanjang jangka waktu berlakunya laporan keuangan dan laporan penilai di pasar modal, perpanjangan masa penawaran awal dan penundaan atau pembatalan penawaran umum, serta pengurangan biaya pencatatan awal saham atau Initial Listing Fee (ILF) dan saham tambahan di BEI sebesar 50 persen.
Sementara itu kebijakan terkait pajak yaitu berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan akan tetap didapatkan untuk perusahaan tercatat saham yang melakukan buyback saham. Selain itu, berdasarkan Perpu 1 Tahun 2020 (kemudian disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020) dan PP No. 30 Tahun 2020, perusahaan tercatat memperoleh insentif tarif PPh Badan sebesar 3 persen lebih rendah dari tarif yang telah diatur sebelumnya.
Melalui sejumlah stimulus dan relaksasi tersebut, regulator berharap pelaku pasar modal dapat bertahan di masa pandemi dan perlahan bangkit.
"Pandemi ini memiliki dampak terhadap dunia usaha. Tentunya BEI berharap seluruh sektor usaha dapat segera pulih dan memiliki performa yang baik," ujar Nyoman.
Investor Lokal
Pandemi memang harus diakui menjadi sentimen negatif di pasar modal, khususnya pasar saham. Pada akhir bulan lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah akibat kekhawatiran publik terhadap semakin tingginya tingkat penyebaran COVID-19 di dalam negeri, ditambah perpanjangan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta. Aksi jual asing menekan bursa saham domestik.
IHSG saat itu ditutup di bawah level psikologis 5.000 tepatnya di posisi 4.870,04 atau melemah 22,69 persen sejak awal tahun (year to date/ytd). Pada 10 September, otoritas bahkan sempat melakukan pembekuan perdagangan sementara atau trading halt untuk mencegah penurunan indeks yang lebih dalam.
Sebenarnya pada Juli dan Agustus IHSG relatif sudah lebih stabil dibandingkan bulan-bulan sebelumnya dan selalu berada di atas 5.000. Pada penutupan perdagangan saham Jumat (9/10) kemarin, IHSG juga sudah kembali di atas level psikologis di posisi 5.053,66 dan secara year to date membaik yaitu minus 19,78 persen.
Dampak pagebluk juga menyebabkan kinerja korporasi emiten di kuartal II 2020 yang menurun hingga 39,2 persen secara tahunan (year on year/yoy) untuk total profit. Penurunan profit terbesar terjadi pada emiten sektor konstruksi dan perdagangan masing-masing 106,12 persen dan 79,37 persen (yoy).
Di tengah volatilitas IHSG dan penurunan kinerja emiten tadi, jumlah investor di pasar modal tetap tumbuh secara signifikan sebesar 23,5 persen (ytd) saat pandemi yang mencapai 3,14 juta investor dibandingkan 2,48 juta investor pada akhir 2019 lalu.
PT Kustodian Sentral Efek Indonesia atau KSEI mencatat, sepanjang Januari hingga Agustus 2020 terdapat penambahan 682.935 Single Investor Identification (SID) dimana sebesar 65,8 persen atau 449.371 SID adalah investor berusia di bawah 30 tahun atau bisa disebut investor milenial.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Octavianus Budiyanto menilai pada masa pandemi terjadi fenomena menarik di pasar modal Indonesia yakni dominasi investor lokal dalam transaksi harian di BEI. Investor ritel di kalangan anak muda menurutnya telah bertumbuh dengan signifikan.
"Dengan semakin banyaknya pole kerja lewat Work From Home atau WFH, ini juga berpengaruh terhadap transaksi di BEI. Didukung oleh transaksi online dengan frekuensi tinggi, ini yang menjadi pendukung IHSG tidak jatuh terlalu dalam. Bayangkan, untuk top frekuensi dari broker online, bisa mencapai 300 ribuan frekuensi. Ini hal yang baru terjadi dan hal ini harus diantisipasi oleh broker karena behaviour dari investor sudah berubah," ujar Ocky, panggilan akrabnya.
Salah satu pialang atau broker PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia meyakini nilai transaksi saham di bursa akan semakin meningkat seiring melonjaknya jumlah investor ritel domestik. Presdir Mirae Asset Sekuritas Indonesia Tae Yong Shim mengatakan investor ritel di Indonesia kini semakin dewasa dalam berinvestasi di pasar modal. Edukasi secara terus-menerus yang dilakukan oleh perusahaan kepada para investor sejak bertahun-tahun yang lalu, menjadi kunci perseroan meningkatkan nilai transaksi saham.
Frekuensi transaksi dan volume Mirae Asset Sekuritas tercatat sudah 4,07 miliar lot saham yang ditransaksikan melalui 33,55 juta transaksi, sehingga transaksi saham di perusahaan sekuritas itu berada di urutan pertama baik dari sisi nilai transaksi, volume, dan frekuensi dari total 105 sekuritas anggota bursa (AB).
Data yang sama juga menunjukkan Mirae Asset Sekuritas sudah melampaui nilai transaksi sepanjang 2019 yaitu Rp207,7 triliun pada 10 September lalu. Per 25 September pangsa pasar nilai transaksinya sudah mencapai 7,98 persen, hampir dua kali lipat dari pangsa pasarnya tahun lalu 4,64 persen.
"Pandemi COVID-19 tidak menghalangi kami untuk terus melakukan edukasi, bahkan justru saat ini kami dapat mengedukasi masyarakat lebih banyak secara online, termasuk menggunakan media sosial yang kami miliki," ujar Tae Yong Shim.
Pendekatan kepada investor kini memang lebih diarahkan kepada dukungan teknologi daring dan dari sisi pemasaran produk investasi pun mau tidak mau harus disesuaikan dengan tren investor muda. OJK dan KSEI juga sudah membantu dengan adanya simplifikasi pembukaan rekening efek sehingga memudahkan para investor untuk masuk ke pasar modal.
Selain itu dari sisi edukasi, seyogyanya perlu terus digenjot untuk mengubah pola pikir masyarakat dari menabung menjadi berinvestasi, serta menekankan bahwa berinvestasi itu juga memiliki risiko dan sebaiknya berdurasi menengah panjang. Hal-hal tersebut diharapkan dapat menjadikan pasar modal tetap kuat, transparan, dan efisien.