Palembang (ANTARA) - Sejarawan dari pusat sejarah TNI, Dr Kusuma Espe mengajak bincang-bincang secara virtual mengenai ideologi negara Pancasila di bulan peringatan Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indoensia pada Agustus tahun 2020 ini.
Melalui mimbar virtual dari Jakarta yang mengangkat tema "Bincang Pancasila di Bulan Merdeka" yang diikuti ratusan peserta dari berbagai daerah di Tanah Air, termasuk dari Kota Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (11/8), sejarawan Dr Kusuma bersama akademisi Utrecht University Dr Andi Yanuardi membahas mengenai sejarah lahirnya Pancasila dimulai dari pertanyaan apa yang dimaksud ideologi, apa itu Pancasila, dan mengapa negara memerlukan ideologi.
Selain itu juga dibahas mengenai Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang hingga Rancangan Undang-Undang Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (RUU BPIP).
Menurut Dr Kusuma, ideologi adalah doktrin atau kumpulan pemikiran yang memberikan pedoman kepada gerakan sosial, lembaga, atau kelompok, bersangkutan dengan satu program politik atau program sosial.
Secara sosiologis, ideologi pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia dalam merancang masa depan sebagai respon terhadap suatu kondisi masyarakat.
Jika ideologi diartikan seperti itu maka Pancasila dapat disebut sebagai ideologi karena merupakan pandangan hidup (weltanschaung), satu dasar falsafah, alat pemersatu (ligature), dan bintang penuntun (leistar).
Dengan demikian pada sidang BPUPK pada 1945 faktor ideologi mendapat perhatian yang seksama dari para pendiri negara.
Penjajahan akan melahirkan nasionalisme, kepincangan sosial-ekonomi, dan eksploitasi terhadap manusia akan menimbulkan sosialisme, kediktatoran akan menimbulkan demokrasi.
Pancasila ideologi inklusif
sejarawan Dr Kusuma bersama akademisi Utrecht University Dr Andi lebih lanjut menjelaskan Pancasila sebagai ideologi inklusif kemajemukan Indonesia, tidak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara atau seremonial, tetapi perlu proses pengakaran.
Proses pengakaran ini melibatkan tiga dimensi ideologis yakni keyakinan atau mitos, penalaran atau logos, dan kejuangan atau etos.
Pada dimensi etos, misalnya, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayan diri dan daya juang agar Dasar Negara Indonesia ini memiliki konsistensi dengan produk perundang-undangan lain, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial.
Membumikan Pancasila melalui imajinasi dan metodologi 'state building' dan 'nation building' berjalan bersama bangsa berkarakter
memerlukan upaya komprehensif, holistik, dan integratif.
Perlu adanya "strategi kebudayaan" tidak hanya untuk merespons berbagai perkembangan dan dinamika Indonesia hari ini, tetapi menjangkau ke depan Indonesia yang terbayangkan (imagined Indonesia), misalnya 2045 ketika Indonesia mencapai kemerdekaan 100 tahun.
Strategi kebudayaan Indonesia menuju 2045 berorientasi untuk memperkuat Indonesia bersatu, demokratis, maju, berjati diri, dan mandiri.
Sebagai salah satu negara besar di dunia, strategi kebudayaan itu sekaligus mengorientasikan Indonesia untuk memainkan peran lebih
besar di tingkat internasional.
Melalui bincang virtual Pancasila pada peringatan hari kemerdekaan ke-75 tahun Republik Indonesia, lima butir sila yang menjadi asas atau dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara bisa diterapkan secara utuh, karena satu sama lain terkait mewujudkan tujuan bernegara.
Dengan penerapan secara utuh butir-butir Pancasila, sejarawan pusjarah TNI itu mengatakan masyarakat dapat berkontribusi lebih signifikan untuk penciptaan peradaban lebih, maju, aman, dan berkeadilan.
Penerapan dalam kehidupan
Sementara mantan anggota DPRD Palembang Priyanti Gani dalam kesempatan terpisah memimpikan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila diterapkan secara utuh oleh semua lapisan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Anak Pahlawan Nasional Mayjen TNI (Purn) dr A.K Gani ini berharap melalui momentum peringatan 75 tahun HUT RI pada 17 Agustus 2020 ini semua asas Pancasila bisa dipraktikan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lima butir sila yang menjadi asas atau dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara harus diterapkan secara utuh, tidak boleh hanya satu atau dua sila saja, karena satu sama lain terkait mewujudkan tujuan bernegara.
Sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, jika masyarakat berketuhanan secara utuh pastilah manusianya dapat berlaku adil dan memiliki adab, yang diwujudkan dalam sila kedua.
Sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, jika masyarakatnya mampu berperilaku adil dan memiliki adab yang baik, maka rakyat akan bersatu padu dan negara menjadi kuat, sebagaimana sila ketiga.
Sila ketiga Persatuan Indonesia, jika masyarakat sudah memiliki rasa persatuan, maka demokrasi Pancasila akan jalan secara utuh sebagaimana sila keempat.
Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan, jika rakyat dipimpin secara hikmat dan diwakili oleh orang yang bijaksana dalam melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, maka antara yang memberi kepercayaan dan yang mendapatkan kepercayaan atau mandat tidak akan merasa saling curiga, saling menipu sehingga sila ke lima yang menjadi tujuan akhir berbangsa dan bernegara akan terwujud.
Sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan tujuan akhir berbangsa dan bernegara, menurut anak pahlawan nasional pejuang Sumsel itu dirasakan belum menyentuh semua lapisan masyarakat yang menjadi perhatian dan upaya bersama untuk mewujudkannya.
Khusus dalam kondisi negara menghadapi pandemi COVID-19, masyarakat diharapkan dapat mengamalkan Pancasila dalam tindakan melalui gotong royong mengoptimalkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
Protokol kesehatan perlu diterapkan secara bersama-sama dengan kedisiplinan yang tinggi sehingga penyebaran wabah virus Corona jenis baru itu bisa segera diputus dan masyarakat dapat melaksanakan berbagai aktivitas secara normal serta melangkah menuju Indonesia maju.
Melalui mimbar virtual dari Jakarta yang mengangkat tema "Bincang Pancasila di Bulan Merdeka" yang diikuti ratusan peserta dari berbagai daerah di Tanah Air, termasuk dari Kota Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (11/8), sejarawan Dr Kusuma bersama akademisi Utrecht University Dr Andi Yanuardi membahas mengenai sejarah lahirnya Pancasila dimulai dari pertanyaan apa yang dimaksud ideologi, apa itu Pancasila, dan mengapa negara memerlukan ideologi.
Selain itu juga dibahas mengenai Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang hingga Rancangan Undang-Undang Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (RUU BPIP).
Menurut Dr Kusuma, ideologi adalah doktrin atau kumpulan pemikiran yang memberikan pedoman kepada gerakan sosial, lembaga, atau kelompok, bersangkutan dengan satu program politik atau program sosial.
Secara sosiologis, ideologi pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia dalam merancang masa depan sebagai respon terhadap suatu kondisi masyarakat.
Jika ideologi diartikan seperti itu maka Pancasila dapat disebut sebagai ideologi karena merupakan pandangan hidup (weltanschaung), satu dasar falsafah, alat pemersatu (ligature), dan bintang penuntun (leistar).
Dengan demikian pada sidang BPUPK pada 1945 faktor ideologi mendapat perhatian yang seksama dari para pendiri negara.
Penjajahan akan melahirkan nasionalisme, kepincangan sosial-ekonomi, dan eksploitasi terhadap manusia akan menimbulkan sosialisme, kediktatoran akan menimbulkan demokrasi.
Pancasila ideologi inklusif
sejarawan Dr Kusuma bersama akademisi Utrecht University Dr Andi lebih lanjut menjelaskan Pancasila sebagai ideologi inklusif kemajemukan Indonesia, tidak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara atau seremonial, tetapi perlu proses pengakaran.
Proses pengakaran ini melibatkan tiga dimensi ideologis yakni keyakinan atau mitos, penalaran atau logos, dan kejuangan atau etos.
Pada dimensi etos, misalnya, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayan diri dan daya juang agar Dasar Negara Indonesia ini memiliki konsistensi dengan produk perundang-undangan lain, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial.
Membumikan Pancasila melalui imajinasi dan metodologi 'state building' dan 'nation building' berjalan bersama bangsa berkarakter
memerlukan upaya komprehensif, holistik, dan integratif.
Perlu adanya "strategi kebudayaan" tidak hanya untuk merespons berbagai perkembangan dan dinamika Indonesia hari ini, tetapi menjangkau ke depan Indonesia yang terbayangkan (imagined Indonesia), misalnya 2045 ketika Indonesia mencapai kemerdekaan 100 tahun.
Strategi kebudayaan Indonesia menuju 2045 berorientasi untuk memperkuat Indonesia bersatu, demokratis, maju, berjati diri, dan mandiri.
Sebagai salah satu negara besar di dunia, strategi kebudayaan itu sekaligus mengorientasikan Indonesia untuk memainkan peran lebih
besar di tingkat internasional.
Melalui bincang virtual Pancasila pada peringatan hari kemerdekaan ke-75 tahun Republik Indonesia, lima butir sila yang menjadi asas atau dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara bisa diterapkan secara utuh, karena satu sama lain terkait mewujudkan tujuan bernegara.
Dengan penerapan secara utuh butir-butir Pancasila, sejarawan pusjarah TNI itu mengatakan masyarakat dapat berkontribusi lebih signifikan untuk penciptaan peradaban lebih, maju, aman, dan berkeadilan.
Penerapan dalam kehidupan
Sementara mantan anggota DPRD Palembang Priyanti Gani dalam kesempatan terpisah memimpikan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila diterapkan secara utuh oleh semua lapisan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Anak Pahlawan Nasional Mayjen TNI (Purn) dr A.K Gani ini berharap melalui momentum peringatan 75 tahun HUT RI pada 17 Agustus 2020 ini semua asas Pancasila bisa dipraktikan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lima butir sila yang menjadi asas atau dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara harus diterapkan secara utuh, tidak boleh hanya satu atau dua sila saja, karena satu sama lain terkait mewujudkan tujuan bernegara.
Sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, jika masyarakat berketuhanan secara utuh pastilah manusianya dapat berlaku adil dan memiliki adab, yang diwujudkan dalam sila kedua.
Sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, jika masyarakatnya mampu berperilaku adil dan memiliki adab yang baik, maka rakyat akan bersatu padu dan negara menjadi kuat, sebagaimana sila ketiga.
Sila ketiga Persatuan Indonesia, jika masyarakat sudah memiliki rasa persatuan, maka demokrasi Pancasila akan jalan secara utuh sebagaimana sila keempat.
Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan, jika rakyat dipimpin secara hikmat dan diwakili oleh orang yang bijaksana dalam melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, maka antara yang memberi kepercayaan dan yang mendapatkan kepercayaan atau mandat tidak akan merasa saling curiga, saling menipu sehingga sila ke lima yang menjadi tujuan akhir berbangsa dan bernegara akan terwujud.
Sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan tujuan akhir berbangsa dan bernegara, menurut anak pahlawan nasional pejuang Sumsel itu dirasakan belum menyentuh semua lapisan masyarakat yang menjadi perhatian dan upaya bersama untuk mewujudkannya.
Khusus dalam kondisi negara menghadapi pandemi COVID-19, masyarakat diharapkan dapat mengamalkan Pancasila dalam tindakan melalui gotong royong mengoptimalkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
Protokol kesehatan perlu diterapkan secara bersama-sama dengan kedisiplinan yang tinggi sehingga penyebaran wabah virus Corona jenis baru itu bisa segera diputus dan masyarakat dapat melaksanakan berbagai aktivitas secara normal serta melangkah menuju Indonesia maju.