Jakarta (ANTARA) - Regulasi yang baru diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait dengan lobster adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.

Regulasi tersebut menjadi kontroversi terkait dengan diizinkan kembali ekspor benih lobster setelah dilarang pada era Menteri Susi Pudjiastuti, walaupun ekspor  baru bisa dilakukan dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan regulasi lobster yang mencakup antara lain budi daya dan ekspor benih lobster merupakan kebijakan yang terukur dan terkendali. "Hakekat peraturan ini sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat," katanya.

Menteri Edhy mengungkapkan latar belakang terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan  Nomor 12 Tahun 2020 tersebut berawal dari pengalamannya saat menjabat sebagai Ketua Komisi IV DPR.  Dia mendengar berbagai keluhan masyarakat pesisir selama kurun waktu 2014 - 2019, terutama masyarakat yang terdampak larangan benih lobster.

Atas dasar tersebut ia membentuk tim dan melakukan kajian publik, kajian akademis, serta melihat langsung ke lapangan. Bahkan, ia juga melakukan pengecekan ke Unversitas Tasmania, tempat penelitian lobster di Australia.

Hasilnya, dia menemukan adanya manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat dari komoditas lobster tanpa harus menghilangkan faktor keberlanjutannya.

Sebagai gambaran,  ia menyebutkan bahwa di Universitas Tasmania, lobster bisa menghasilkan hingga empat juta telur selama musim panas yang berlangsung selama empat bulan atau sejuta telur per bulan.

Hal itu meyakinkannya bahwa membangun industri lobster di Indonesia adalah keharusan dan suatu hal yang tepat.

Utamakan Budi Daya

Terkait peraturan ekspor ekspor benih, Menteri Edhy menegaskan pihaknya tetap mengutamakan aspek budi daya, yang terlihat dari syarat ketat seperti sebelum mengekspor benih lobster, di mana siapapun harus melakukan budidaya terlebih dahulu.

Sementara untuk pembudidaya, Menteri Edhy mewajibkan mereka untuk melakukan restocking ke alam sebesar dua persen dari hasil panennya. Aturan tersebut juga memiliki pemantauan dan evaluasi secara berkala.

Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja juga menemukan adanya potensi benih bening lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) sebesar 278.950.000 ekor di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Selain itu, ujar dia, penangkapan benih lobster dapat dilakukan di lokasi-lokasi yang memiliki karakteristik bertipologi perairan dangkal, sepanjang pantai dan pulau pulau kecil, relatif terlindung (dalam teluk) dan dasar perairan pasir berlumpur serta terdapat asosiasi terumbu karang-lamun-alga.

Dalam paparan berjudul "Tata Kelola Pengelolaan Perikanan Lobster", Sjarief mengungkapkan perlunya pencatatan hasil penangkapan benih bening di setiap lokasi dan penelaahan berkala terhadap kondisi stok benih bening lobster di alam. Hal itu untuk mendukung peninjauan ketersediaan stok benih bening lobster dan pengelolaan secara bertanggungjawab serta keberlanjutan.

Dikatakannya, regulasi tata kelola sumberdaya perikanan lobster diperlukan untuk memperkuat tata kelola benih lobster melalui beberapa cara, yaitu; pendataan stok benih lobster dan produksi lobster, peluang menata kelembagaan benih lobster yang optimal, memperkuat pengembangan budi daya lobster, dan memperkuat upaya restocking lobster di sentra benih lobster.

Perekonomian baru

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mendorong peningkatan budi daya lobster di daerah karena akan menimbulkan berbagai kelompok aktivitas perekonomian baru, seperti kelompok komoditas kerang. Kerang hijau sendiri dikenal sebagai pakan yang baik bagi budi daya lobster.

Menurut Slamet Soebjakto, membudidayakan lobster merupakan aktivitas yang lebih baik dibandingkan sekadar mengekspor benih karena memberikan banyak manfaat, terutama dalam menciptakan lapangan kerja.

KKP juga, lanjutnya, telah menargetkan produksi lobster dari senilai Rp330 miliar pada 2020 menjadi sebesar Rp1,73 triliun ada 2024. Volume produksi lobster dari 1.377 ton pada 2020 menjadi 7.220 ton pada 2024.

Dalam hal ekspor, KKP pun terus melakukan monitoring dan evaluasi kepada perusahaan eksportir yang telah mendapatkan izin ekspor. Eksportir juga harus memenuhi kuota yang diperbolehkan untuk ekspor, yang tidak boleh melebihi jumlah yang dibudidayakan.

Slamet Soebjakto juga mengungkap pedoman minimal persyaratan budi daya lobster yang sedang disusun bertujuan mendorong tumbuhnya budi daya lobster di Indonesia.

Slamet memaparkan pedoman itu pertama adalah lokasi harus memenuhi Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan terdaftar, kedua terkait layout budi daya harus memiliki sirkulasi arus dan oksigen yang cukup, bersih dan sesuai kapasitas keramba, serta ketiga adalah proses produksi mulai dari pakan harus segar dan berkualitas baik guna menghindari penyakit.

"Kemudian keempat aspek sosial ekonomi harus memberdayakan masyarakat sekitar, ada transfer teknologi dan kestabilan harga," ucapnya. Ia menambahkan pedoman kelima ialah lingkungan yang mensyaratkan restocking atau pelepasliaran minimal dua persen dari hasil budi daya serta pengendalian pencemaran.

Keenam, daya saing dengan mendahulukan produk Indonesia serta terakhir atau ketujuh adalah terkait dengan kuota, yakni mengutamakan benih untuk budi daya ketimbang ekspor serta Keramba Jaring Apung (KJA) diatur sesuai kapasitas.

Slamet juga menuturkan petunjuk teknis untuk hal itu sudah ada dan akan segera dikirimkan ke dinas-dinas kelautan dan perikanan di berbagai daerah.

Benih terbanyak

Ketua Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy Wong mengingatkan bahwa Indonesia dengan iklim yang bagus serta lokasi yang strategis di antara dua samudera sebenarnya merupakan negara dengan sumber benih lobster terbanyak di dunia.

Namun Effendy menyayangkan bahwa di Indonesia masih ada sejumlah persoalan seperti mental budi daya lobster belum berkembang baik karena lebih memilih tangkapan, kondisi SDM, serta belum ada dukungan pemerintah dan biaya logistik tinggi.

Pengamat kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan bahwa kebijakan terkait komoditas lobster jangan dibuat hanya sekadar untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan.

"Ketidakpastian yang sangat tinggi di dalam pengelolaan sumber daya perikanan dikalahkan oleh pertimbangan jangka pendek semata-mata mengejar PNBP," kata Abdul Halim.

Menurut dia, kekayaan sumber daya laut Nusantara seperti lobster dapat menjadi kutukan bagi masyarakat sekitar bila pengelolaannya mengabaikan sikap kehati-hatian dan penerapan prinsip berkelanjutan.

Ia menyoroti kebijakan yang saat ini membolehkan kembali ekspor benih lobster dengan persyaratan ketat, yang dinilai sebenarnya regulasi itu masih memerlukan kajian ilmiah lebih lanjut.

Abdul Halim juga menekankan pentingnya manajemen yang mumpuni, tidak permisif, serta menegakkan hukum dengan adil.

Tekan ilegal

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan meminta KKP untuk menjamin dan memastikan bahwa ketentuan regulasi baru tersebut akan dapat menekan ekspor benih lobster yang dilakukan secara ilegal.

Berdasarkan pemantauan DFW Indonesia dalam kurun waktu Februari-Mei 2020 telah terjadi 6 kali upaya penyelundupan benih lobster secara ilegal yang berhasil digagalkan oleh berbagai otoritas pengawasan di Indonesia.

Masih menurut data DFW, total jumlah benih lobster yang digagalkan tersebut sekitar 137 ribu benih dengan nilai Rp17,5 miliar. Lokasi penangkapan masih di lokasi sentra dan jalur tradisional penyelundupan benih lobster yaitu di Lombok, Surabaya, Semarang, Jambi dan Riau.

Ia berpendapat bahwa penyelundupan benih lobster masih marak terjadi di masa pandemi karena longgarnya pengawasan aparat terhadap lalu lintas barang sehingga KKP dan aparat terkait diminta tetap meningkatkan pengawasan terhadap praktik penyelundupan benih lobster ke luar negeri.

Pihaknya berharap akan ada korelasi antara meningkatnya kegiatan budi daya lobster dalam negeri dengan menurunnya ekspor benih lobster secara ilegal.

Hal itu, ujar dia, sekaligus untuk membuktikan dan membantah tudingan bahwa regulasi tersebut merupakan cara pemerintah untuk melegalisasi kegiatan ilegal.

Seperti diketahui, penerbitan Permen 12/2020 bertujuan untuk mengatur pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan, agar bisa mendatangkan devisa bagi negara dan sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya lobster Indonesia.

Peneliti DFW Indonesia Muhammad Arifudin menyatakan setelah KKP memperbolehkan kembali ekspor benih lobster, maka penetapan badan usaha yang diperbolehkan melakukan ekspor benih lobster harus benar-benar selektif.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memastikan pihaknya akan mengawasi implementasi regulasi soal lobster. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin mengatakan pengeluaran benih lobster dari Indonesia selain hanya boleh dilakukan oleh ekportir yang telah melakukan budi daya, juga ada kuota dan alokasi penangkapan benih lobster.

"Jadi kalau melakukan budi daya, paling tidak sudah jaga keseimbangan. Teorinya begitu, tapi nanti kita lihat kenyataan di lapangan," katanya.
 

Pewarta : M Razi Rahman
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024