Jakarta (ANTARA) - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Pusat Zaitun Rasmin.mengatakan Dewan Masjid Indonesia akan mengikuti fatwa MUI soal hukum sah tidaknya shalat Jumat dua gelombang.
"Wakil Ketua DMI sudah menyatakan soal praktik Jumatan menyerahkan kepada MUI, sementara DMI mengurus teknis di lapangannya. DMI tetap mengacu fatwa MUI," kata Zaitun dalam koferensi pers bersama Ketua MUI DKI Jakarta di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Kamis.
Sebelumnya terjadi polemik perbedaan fatwa MUI Pusat dan MUI DKI Jakarta soal hukum menyelenggarakan Jumatan dua gelombang. MUI Pusat berketetapan shalat Jumat dua shift tidak sah secara syariah. Sementara MUI DKI Jakarta memiliki pandangan yang berbeda.
Atas perbedaan pandangan itu, publik menjadi bingung atas fatwa dari masing-masing unsur MUI di pusat dan daerah. Kendati demikian, Ketua MUI DKI Jakarta KH Munahar Muhtar menjelaskan pihaknya memiliki pandangan yang sama soal tidak sahnya Shalat Jumat dua gelombang di Indonesia.
Munahar mengatakan tidak ada revisi atas fatwa MUI DKI yang membolehkan Shalat Jumat bergelombang. Hanya saja memang fatwa tersebut dapat berlaku dalam kondisi dan waktu tertentu, tetapi bukan pada konteks lokasi di Indonesia dan di era pandemi COVID-19.
"Tidak direvisi. Ini kan ketentuannya kemungkinan, di satu tempat, di suatu saat itu terjadi, bisa saja ini jadi pegangan," katanya sambil mencontohkan shalat Jumat bergelombang dapat dilakukan di negara minoritas Muslim.
Di tempat yang sama, Ketua MUI Pusat KH Yusnar Yusuf mengatakan hukum Shalat Jumat dua gelombang tidak sah dilakukan di Indonesia karena tidak ada dalil kuat dan keadaan masih memungkinkan melaksanakan Jumatan dalam satu shift saja.
Selain itu, kata dia, Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim sehingga perluasan lokasi Jumatan tidak akan terkendala seperti di negara minoritas Islam yang kesulitan mencari tempat dan izin Shalat Jumat.
Dengan begitu, beberapa ulama membolehkan di negara minoritas Islam untuk menyelenggarakan ibadah mingguan itu secara bergelombang. "Kalaupun kebolehan tersebut terjadi di negara Eropa, Amerika maupun Australia, tidak lantas bisa dijadikan dalil untuk juga diterapkan di Indonesia karena situasi dan kondisinya berbeda," kata Yusnar.
"Wakil Ketua DMI sudah menyatakan soal praktik Jumatan menyerahkan kepada MUI, sementara DMI mengurus teknis di lapangannya. DMI tetap mengacu fatwa MUI," kata Zaitun dalam koferensi pers bersama Ketua MUI DKI Jakarta di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Kamis.
Sebelumnya terjadi polemik perbedaan fatwa MUI Pusat dan MUI DKI Jakarta soal hukum menyelenggarakan Jumatan dua gelombang. MUI Pusat berketetapan shalat Jumat dua shift tidak sah secara syariah. Sementara MUI DKI Jakarta memiliki pandangan yang berbeda.
Atas perbedaan pandangan itu, publik menjadi bingung atas fatwa dari masing-masing unsur MUI di pusat dan daerah. Kendati demikian, Ketua MUI DKI Jakarta KH Munahar Muhtar menjelaskan pihaknya memiliki pandangan yang sama soal tidak sahnya Shalat Jumat dua gelombang di Indonesia.
Munahar mengatakan tidak ada revisi atas fatwa MUI DKI yang membolehkan Shalat Jumat bergelombang. Hanya saja memang fatwa tersebut dapat berlaku dalam kondisi dan waktu tertentu, tetapi bukan pada konteks lokasi di Indonesia dan di era pandemi COVID-19.
"Tidak direvisi. Ini kan ketentuannya kemungkinan, di satu tempat, di suatu saat itu terjadi, bisa saja ini jadi pegangan," katanya sambil mencontohkan shalat Jumat bergelombang dapat dilakukan di negara minoritas Muslim.
Di tempat yang sama, Ketua MUI Pusat KH Yusnar Yusuf mengatakan hukum Shalat Jumat dua gelombang tidak sah dilakukan di Indonesia karena tidak ada dalil kuat dan keadaan masih memungkinkan melaksanakan Jumatan dalam satu shift saja.
Selain itu, kata dia, Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim sehingga perluasan lokasi Jumatan tidak akan terkendala seperti di negara minoritas Islam yang kesulitan mencari tempat dan izin Shalat Jumat.
Dengan begitu, beberapa ulama membolehkan di negara minoritas Islam untuk menyelenggarakan ibadah mingguan itu secara bergelombang. "Kalaupun kebolehan tersebut terjadi di negara Eropa, Amerika maupun Australia, tidak lantas bisa dijadikan dalil untuk juga diterapkan di Indonesia karena situasi dan kondisinya berbeda," kata Yusnar.