Magelang (ANTARA) - Monolog berjudul "Gabut" alias gaji buta karya Tri Setyo "Gepeng" Nugroho yang digarap secara lucu. bercerita tentang susahnya pengelola padepokan kesenian harus tinggal di rumah karena pandemi virus corona jenis baru (COVID-19).
Penyimak tentu bebas mengunduh pesan atas alur cerita pendek disajikan seniman teater yang mengelola Sanggar Gubug Kebon Dusun Dawung, Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.
Mau mengunduh pesan tentang dukungan terhadap kebijakan pemerintah untuk memutus rantai penularan virus melalui protokol kesehatan, yang antara lain tinggal di rumah dan menghindari orang banyak berkumpul, atau hendak menyirami imajinasi atas dialog empat adegan yang dihadirkan secara lucu agar bisa tertawa ngakak atau mengakak, silakan saja!
Efek suara dari mesin digital menambah kelucuan karya monolog dengan lokasi di pendopo sanggar kesenian, yang kemudian oleh penciptanya diunggah ke kanal Youtube berdurasi 2,55 menit itu.
Karya monolog "Gabut" menghadirkan tiga tokoh, yakni "Mas Nugroho" (pemilik padepokan), pembantu, dan "Mas Gepeng" (anggota padepokan). Sebagai karya monolog, seniman teater yang juga penyair Gepeng Nugroho sendiri pemainnya.
Istrinya, Bunga Rimawati, mendukung pembuatan karya itu sebagai juru kamera dan pengolahan secara digital. Seluruh proses berkarya berlangsung sehari, Rabu (6/5).
"Gabut" karya monolog pendek kedua Gepeng Nugroho selama pandemi, setelah sebelumnya, pada JUmat (1/5), menghadirkan di jagat virtual karya berjudul "Wabah" dengan pesan yang hampir sama, yakni tentang tinggal di rumah untuk melawan COVID-19.
Sebanyak dua karya visual digital lainnya berupa lagu "Sinau Kahanan" dan refleksi "Sinau Kahanan" juga tidak lepas dari tema terkait dengan pandemi virus.
"Spontan mas, prosesnya (monolog 'Gabut', red.) sehari sama istri, tinimbang 'gabut'," kata Gepeng sambil maksudnya melucu dalam kontak dengan penulis.
"Gabut" akronim dari "gaji buta" yang disebut Gepeng Nugroho istilah keluaran kalangan milenial untuk kemudian bermutasi makna sebagai bosan.
Sebutan "gabut" semacam beroleh tempat yang pas untuk penjelajahan kreatif dan eksploratif atas kampanye "Di rumah saja" oleh berbagai kalangan di Indonesia, guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19, sehingga diambilnya menjadi judul monolog itu.
Sejumlah pegiat Sanggar Gubug Kebon Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berlatih menari. (ANTARA/HO-Sanggar Gubug Kebon Kabupaten Magelang)
Dikisahkan, tokoh Mas Nugroho gelisah semua agenda pementasan kesenian dibatalkan karena terganjal protokol kesehatan COVID-19 untuk tinggal di rumah. Padepokannya sepi, tak ada aktivias berkesenian. Pembantunya mengusung berbagai perangkat gamelan dari pendopo padepokan ke ruang dalam.
Mas Gepeng datang ke padepokan menemui Mas Nugroho, nampaknya untuk mencari utangan. Sebelum masuk pendopo, adegan lucu ditampilkan karena ia kaget lalu berjingkat melewati belakang singa (gambar virtual) yang sedang rebahan di depan padepokan sambil menjaga keamanan tempat itu.
"'Lha kowe mrene wae wis salah kok, kuwi ranggo masker' (Kamu ke sini saja sudah salah, tidak memakai masker)," begitu jawaban Mas Nugroho dengan suara terkesan galak, menyalahkan ucapan Mas Gepeng sebelumnya dalam dialog berbahasa Jawa itu, "'Aku kon menehi pitakon sing kepiye. Wong lagi susah rasah menehi pitakon sing susah. Salah maneh!' (Aku disuruh bertanya bagaimana, orang sedang susah tidak usah bertanya yang susah!)".
Dialog saling berbantah dengan gestur masing-masing yang kocak itu pun, sebelumnya karena Mas Nugroho naik pitam terhadap pertanyaan Mas Gepeng yang dianggap tak mutu.
"Kahanan koyo ngene mbok rasah takon pertanyaan sing raperlu dijawab. Pertanyaan kok ecek-ecek. (Keadaan seperti ini tidak perlu bertanya hal yang tidak perlu dijawab. Pertanyaan kok remeh!)," begitu Mas Nugroho mengomentari pertanyaan Mas Gepeng tentang menganggurnya sang pemilik padepokan, tidak sebagaimana hari-hari biasa melakukan latihan teater atau menabuh gamelan.
Dalam penceritaan selanjutnya, Mas Gepeng secara lucu berkilah, mengungkapkan keengganan bersama si pembantu padepokan mengangkat gamelan ke ruangan dalam. Alasannya, badan loyo karena berpuasa dan ronda, menjaga keamanan lingkungan dari tindak kejahatan sebagai salah satu dampak pandemi.
Pisuhan Mas Nugroho pun keluar, "Wow, cen wedhus (memang kambing)!". Si pembantu dengan cepat menyahut, "Gembel". Sambil jongkok dan bersandar di pilar pendopo, Mas Gepeng merespons umpatan itu dengan menirukan suara kambing mengembik, "Embek".
Pesan yang hendak disampaikan melalui monolog "Gabut" boleh dikatakan padat-berisi terkait dengan pandemi, baik dampak maupun protokol yang mesti dilakukan publik secara bersama-sama agar tidak tertular.
Garapan karya itu secara lucu membuat penonton menyimak dengan bahagia, geli, atau bahkan tertawa "ngakak".
Dalam situasi susah akibat pandemi COVID-19, memang tidak mudah menemukan bahagia. Hal sedemikian itu, setidaknya kalau orang tidak menyadari memiliki daya kreatif untuk membangun kelucuan hingga "ngakak" (mengakak), sebagai bagian wujud suasana bahagia.
Konon, suasana bahagia salah satu produsen imun tubuh, untuk menangkal penularan virus corona.
Dalam khotbah Misa Malam Paskah 2020 secara daring dari Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Katedral Semarang, beberapa waktu lalu, Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko berpesan kepada umat untuk tidak lupa bahagia dalam berbagai situasi kehidupan.
"Saya hanya ingin berpesan, jangan lupa bahagia dan jangan takut menghadapi segala macam peristiwa kehidupan ini. Tuhan selalu menyertai kita sampai kapan pun," ucapnya.
Bahagia, termasuk turunannya berupa lucu dan "ngakak", selain banyak dihadirkan pihak dengan berbagai media, juga bisa diproduksi mandiri untuk diri sendiri.
Ia berada tak jauh dari diri setiap orang atau bahkan mungkin melekat menjadi salah satu talenta manusia dengan berbagai skala masing-masing.
Dalam berbagai keadaan, bahagia selalu ada berhimpitan dengan duka. Termasuk dalam ruang sedih karena pandemi COVID-19, bahagia sesungguhnya ikut serta di ruangan itu.
Bagaikan sakelar atau pengontrol jarak jauh, tinggal mengalihkan saja. Mana yang hendak diikuti alur maunya. Mau menemukan bahagia atau terbenam dalam sedih pandemi.
Monolog "Gabut" sesungguhnya bercerita secara padat tentang suasana duka dampak pandemi, tetapi alur bahagia dijumput dengan kuat, supaya "ngakak" hadir.
Penyimak tentu bebas mengunduh pesan atas alur cerita pendek disajikan seniman teater yang mengelola Sanggar Gubug Kebon Dusun Dawung, Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.
Mau mengunduh pesan tentang dukungan terhadap kebijakan pemerintah untuk memutus rantai penularan virus melalui protokol kesehatan, yang antara lain tinggal di rumah dan menghindari orang banyak berkumpul, atau hendak menyirami imajinasi atas dialog empat adegan yang dihadirkan secara lucu agar bisa tertawa ngakak atau mengakak, silakan saja!
Efek suara dari mesin digital menambah kelucuan karya monolog dengan lokasi di pendopo sanggar kesenian, yang kemudian oleh penciptanya diunggah ke kanal Youtube berdurasi 2,55 menit itu.
Karya monolog "Gabut" menghadirkan tiga tokoh, yakni "Mas Nugroho" (pemilik padepokan), pembantu, dan "Mas Gepeng" (anggota padepokan). Sebagai karya monolog, seniman teater yang juga penyair Gepeng Nugroho sendiri pemainnya.
Istrinya, Bunga Rimawati, mendukung pembuatan karya itu sebagai juru kamera dan pengolahan secara digital. Seluruh proses berkarya berlangsung sehari, Rabu (6/5).
"Gabut" karya monolog pendek kedua Gepeng Nugroho selama pandemi, setelah sebelumnya, pada JUmat (1/5), menghadirkan di jagat virtual karya berjudul "Wabah" dengan pesan yang hampir sama, yakni tentang tinggal di rumah untuk melawan COVID-19.
Sebanyak dua karya visual digital lainnya berupa lagu "Sinau Kahanan" dan refleksi "Sinau Kahanan" juga tidak lepas dari tema terkait dengan pandemi virus.
"Spontan mas, prosesnya (monolog 'Gabut', red.) sehari sama istri, tinimbang 'gabut'," kata Gepeng sambil maksudnya melucu dalam kontak dengan penulis.
"Gabut" akronim dari "gaji buta" yang disebut Gepeng Nugroho istilah keluaran kalangan milenial untuk kemudian bermutasi makna sebagai bosan.
Sebutan "gabut" semacam beroleh tempat yang pas untuk penjelajahan kreatif dan eksploratif atas kampanye "Di rumah saja" oleh berbagai kalangan di Indonesia, guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19, sehingga diambilnya menjadi judul monolog itu.
Dikisahkan, tokoh Mas Nugroho gelisah semua agenda pementasan kesenian dibatalkan karena terganjal protokol kesehatan COVID-19 untuk tinggal di rumah. Padepokannya sepi, tak ada aktivias berkesenian. Pembantunya mengusung berbagai perangkat gamelan dari pendopo padepokan ke ruang dalam.
Mas Gepeng datang ke padepokan menemui Mas Nugroho, nampaknya untuk mencari utangan. Sebelum masuk pendopo, adegan lucu ditampilkan karena ia kaget lalu berjingkat melewati belakang singa (gambar virtual) yang sedang rebahan di depan padepokan sambil menjaga keamanan tempat itu.
"'Lha kowe mrene wae wis salah kok, kuwi ranggo masker' (Kamu ke sini saja sudah salah, tidak memakai masker)," begitu jawaban Mas Nugroho dengan suara terkesan galak, menyalahkan ucapan Mas Gepeng sebelumnya dalam dialog berbahasa Jawa itu, "'Aku kon menehi pitakon sing kepiye. Wong lagi susah rasah menehi pitakon sing susah. Salah maneh!' (Aku disuruh bertanya bagaimana, orang sedang susah tidak usah bertanya yang susah!)".
Dialog saling berbantah dengan gestur masing-masing yang kocak itu pun, sebelumnya karena Mas Nugroho naik pitam terhadap pertanyaan Mas Gepeng yang dianggap tak mutu.
"Kahanan koyo ngene mbok rasah takon pertanyaan sing raperlu dijawab. Pertanyaan kok ecek-ecek. (Keadaan seperti ini tidak perlu bertanya hal yang tidak perlu dijawab. Pertanyaan kok remeh!)," begitu Mas Nugroho mengomentari pertanyaan Mas Gepeng tentang menganggurnya sang pemilik padepokan, tidak sebagaimana hari-hari biasa melakukan latihan teater atau menabuh gamelan.
Dalam penceritaan selanjutnya, Mas Gepeng secara lucu berkilah, mengungkapkan keengganan bersama si pembantu padepokan mengangkat gamelan ke ruangan dalam. Alasannya, badan loyo karena berpuasa dan ronda, menjaga keamanan lingkungan dari tindak kejahatan sebagai salah satu dampak pandemi.
Pisuhan Mas Nugroho pun keluar, "Wow, cen wedhus (memang kambing)!". Si pembantu dengan cepat menyahut, "Gembel". Sambil jongkok dan bersandar di pilar pendopo, Mas Gepeng merespons umpatan itu dengan menirukan suara kambing mengembik, "Embek".
Pesan yang hendak disampaikan melalui monolog "Gabut" boleh dikatakan padat-berisi terkait dengan pandemi, baik dampak maupun protokol yang mesti dilakukan publik secara bersama-sama agar tidak tertular.
Garapan karya itu secara lucu membuat penonton menyimak dengan bahagia, geli, atau bahkan tertawa "ngakak".
Dalam situasi susah akibat pandemi COVID-19, memang tidak mudah menemukan bahagia. Hal sedemikian itu, setidaknya kalau orang tidak menyadari memiliki daya kreatif untuk membangun kelucuan hingga "ngakak" (mengakak), sebagai bagian wujud suasana bahagia.
Konon, suasana bahagia salah satu produsen imun tubuh, untuk menangkal penularan virus corona.
Dalam khotbah Misa Malam Paskah 2020 secara daring dari Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Katedral Semarang, beberapa waktu lalu, Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko berpesan kepada umat untuk tidak lupa bahagia dalam berbagai situasi kehidupan.
"Saya hanya ingin berpesan, jangan lupa bahagia dan jangan takut menghadapi segala macam peristiwa kehidupan ini. Tuhan selalu menyertai kita sampai kapan pun," ucapnya.
Bahagia, termasuk turunannya berupa lucu dan "ngakak", selain banyak dihadirkan pihak dengan berbagai media, juga bisa diproduksi mandiri untuk diri sendiri.
Ia berada tak jauh dari diri setiap orang atau bahkan mungkin melekat menjadi salah satu talenta manusia dengan berbagai skala masing-masing.
Dalam berbagai keadaan, bahagia selalu ada berhimpitan dengan duka. Termasuk dalam ruang sedih karena pandemi COVID-19, bahagia sesungguhnya ikut serta di ruangan itu.
Bagaikan sakelar atau pengontrol jarak jauh, tinggal mengalihkan saja. Mana yang hendak diikuti alur maunya. Mau menemukan bahagia atau terbenam dalam sedih pandemi.
Monolog "Gabut" sesungguhnya bercerita secara padat tentang suasana duka dampak pandemi, tetapi alur bahagia dijumput dengan kuat, supaya "ngakak" hadir.