Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) periode 2016-2017 Taufik Hidayat mengakui menjadi kurir penerima uang untuk mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi.

"Saya hanya diminta tolong seperti itu di telepon, dan ya saya sebagai kerabat di situ ya saya membantu, tapi saya tidak konfirmasi ke Pak Imam kalau uang sudah dititipkan ke Ulum," kata Taufik di Jakarta, Rabu.

Taufik menjadi saksi untuk terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Sidang dilakukan melalui sarana "video conference", Taufik Hidayat berada di kediamannya sedangkan Imam Nahrawi berada di rumah tahanan (rutan) KPK, jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum berada di pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam dakwaan disebutkan pada Januari 2018, Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Tommy Suhartanto menyampaikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima 2016-2017 Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok bahwa ada permintaan uang dari Imam kepada Tommy. Tommy lalu meminta Ucok menyiapkan Rp1 miliar untuk diserahkan ke Imam melalui staf khusus Imam Nahrawi yaitu Miftahul Ulum.

Ucok lalu mengambil uang Rp1 miliar yang berasal dari anggaran program Satlak Prima. Asisten Direktur Keuangan Satlak Prima Reiki Mamesah lalu mengambil uang itu lalu menyerahkan uang tersebut kepada Taufik Hidayat di rumah Taufik di Jalan Wijaya Kebayoran baru.

Kemudian uang Rp1 miliar tersebut diberikan Taufik kepada Imam melalui Miftahul Ulum di rumah Taufik.

Selain Taufik, JPU KPK juga menghadirkan Direktur Perencanaan dan anggaran Satlak Prima Tommy Suhartanto sebagai saksi.

Tommy mengatakan ia juga menyerahkan uang Rp800 juta kepada Taufik Hidayat, namun Taufik membantahnya.

"Beliau (Tommy) ada di situ beliau meminta saya untuk tanda tangan dan saya tidak tanda tangan karena itu bukan ranah saya dan bukan hak saya juga dan itu saya keberatan saya hanya dikasikan uang itu dan Pak Tommy sendiri yang membawa uang itu bukan saya," ungkap peraih medali emas Olimpiade cabang badminton tersebut.

Uang Rp800 juta itu sebelumnya disebut untuk penanganan perkara pidana yang sedang dihadapi oleh adik Imam Nahrawi, Syamsul Arifin.

Untuk diketahui, Polda Metro Jaya pernah mengusut kasus dugaan korupsi dana sosialisasi Asian Games 2018. Kasus itu menyeret Ikhwan Agus Salim dari PT Hias Prima Gitalis Indonesia (HPGI) sebagai tersangka. Syamsul Arifin, adik Imam Nahrawi ikut diperiksa.

Syamsul diketahui menjadi pelaksana lapangan kegiatan sosialisasi Asian Games 2018 di Surabaya. Sosialisasi ini seharusnya dilaksanakan PT HPGI tapi dialihkan kepada Syamsul yang mengerjakan menggunakan bendera CV Cita Entertainment (CE).

"Saya tidak tahu uang Rp800 juta itu dari mana, beliaulah (Tommy) yang tahu masalah keuangan itu," tambah Taufik.

"Tadi Pak Tommy mengatakan bahwa Bu Susi Susanti menagih uang itu kembali kepada saksi melalui Pak Ahmad Sucipto dan Pak Tommy, kemudian saksi katakan 'uang itu tidak saya makan tapi saya serahkan untuk keperluan adik Pak Imam Nahrawi'?" tanya Jaksa KPK Budhi Sarumpaet.

"Saya tidak ada itu, meskipun lagi itu bukan hak saya. Saya di Satlak Prima sebagai pembikin di program, masalah keuangan saya tidak paham," bantah Taufik.

"Inikan janggal ya, uang dibawa Rp800 juta di FX Senayan kemudian dibuat tanda terima terima akhirnya saksi tidak mau tanda tangan dan kemudian ditandatangani oleh Tommy, nah uang ini ke mana setelah dibuat tanda terima?" tanya jaksa Budhi.

"Itu Pak Tommy yang bawa," jawab Taufik.

"Pak Tommy, uang itu diserahkan ke siapa?" tanya jaksa Budhi ke Tommy.

"Dibawa oleh sama Pak Taufik, banyak juga yang melihat," jawab Tommy.

"Bagaimana Pak Taufik bisa dijelaskan?" tanya jaksa Budhi.

"Oh tidak tidak ada itu," jawab Taufik.

"Baik saya tidak memaksa itu nanti dianalisa surat tuntutan kami," kata jaksa Budhi.
 

Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024