Jakarta (ANTARA) - Hari pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta pada 10 April 2020, Jumat, lini massa media sosial dan pemberitaan media massa, khususnya daring, sempat heboh karena sedikitnya 10 masjid di Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, justru menjadi pelanggar beleid baru itu.
Masjid itu berada di Kecamatan Kemayoran, salah satunya Masjid Mifhtaahul Jannah di RW 11 Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Terdapat sekitar 150 jemaah masjid, tanpa mengalami gangguan berarti, tuntas melaksanakan salat Jumat.
Dari tampilan foto pemberitaan pada media massa, para jemaah melaksanakan ibadah itu juga tanpa menerapkan jaga jarak antarjemaah dalam shaf salatnya. Bahkan, jemaah ada yang meluber hingga di luar masjid dan berada tak jauh dari beberapa sepeda motor di pakiran.
Kontan, peristiwa ini menimbulkan aneka persepsi dan tanggapan dari masyarkat. Sebut saja, salah satu warga RW 11 Kelurahan Kebon Kosong, Dwi mengaku resah dan agak terganggu karena ada kekhawatiran mendalam, ketika lima orang saja atau lebih berkumpul dan tanpa menjaga jarak, maka potensi menularnya virus corona baru (COVID-19) sangat terbuka.
Tak hanya Dwi, siapa pun, akan merasakan hal yang sama mengingat hingga Selasa ini dan berdasarkan data dari Kemenkes RI, hingga 13 April 2020, di DKI Jakarta sebagai salah satu dari episentrum pandemi global itu, sudah terdapat 2.186 kasus positif terpapar COVID-19, 142 orang sembuh, 204 orang meninggal dunia.
Kemudian, data nasional menunjukkan, pada periode yang sama, sudah mencapai 4.557 kasus positif, 3.778 pasien dirawat, 380 orang sembuh dan 399 orang meninggal dunia. Artinya, berdasarkan data itu, DKI Jakarta berkontribusi 50 persen lebih. Sebuah angka yang signifikan dan menakutkan karena trennya sejak awal Maret, selalu naik.
Pelanggaran terbuka
Tentu, siapa pun akan sependapat bahwa, pelaksanaan salat Jumat di daerah Kebon Kosong itu tak lagi bisa berdiri sendiri karena jelas-jelas sebuah kegiatan ritual keagamaan dengan kriteria pelanggaran terbuka terhadap PSBB, khususnya Pasal 11 dan Pasal 12 pada bagian keempat tentang Pembatasan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah.
Intinya, penyelenggaraan kegiatan keagamaan selama PSBB hingga 23 April 2020, untuk sementara dilakukan penghentian sementara. Selengkapnya tiga ayat pada Pasal 11 itu berbunyi :
(1) Selama pemberlakuan PSBB, dilakukan penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/atau di tempat tertentu. (2) Selama penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/ atau di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kegiatan keagamaan dilakukan di rumah masing-masing.
Ayat (3) selama penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/atau di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kegiatan penanda waktu ibadah seperti adzan, lonceng, dan/atau penanda waktu lainnya dilaksanakan seperti biasa.
Kemudian untuk Pasal 12, berbunyi : (1) Selama pemberlakuan PSBB, penanggung jawab rumah ibadah wajib:
a. memberikan edukasi atau pengertian kepada jamaah masing-masing untuk tetap melakukan kegiatan keagamaan di rumah;
b. melakukan pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) di rumah ibadah masing-masing;
c. menjaga keamanan rumah ibadah masing-masing.
Ayat (2) upaya pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (COVID19) di rumah ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara berkala dengan cara:
a. membersihkan rumah ibadah dan lingkungan sekitarnya;
b. melakukan disinfeksi pada lantai, dinding, dan perangkat bangunan rumah ibadah;
c. menutup akses masuk bagi pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan sanksi jika ketentuan PSBB ini nyata-nyata berulang dan dilakukan pelanggaran dengan sengaja, padahal langkah persuasif dari aparat sudah dilakukan?
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada kesempatan penjelasan kepada publik, 9 April malam itu, sudah menegaskan bahwa bisa saja sanksi sesuai Pasal 27 pada Pergub 33/2020 diterapkan.
Ditekankan bahwa sanksinya terhadap penerapan status PSBB akan dikenakan sanksi pidana satu tahun penjara dan denda Rp100 juta. Tentu prosesnya bisa diawali dengan sanksi pidana ringan dan apabila berulang sanksi bisa lebih berat.
"Prosesnya nanti kita kerjakan bersama dengan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa seluruh ketentuan ini dilaksanakan, termasuk ketentuan di pasal 93 UU nomor 6 tahun 2018 terkait Karantina Kesehatan sebagai rujukan hukum dari Pergub ini," kata Anies.
Persuasif
Anehnya, menanggapi kegiatan pelanggaran terbuka pada hari pertama penerapan PSBB itu, di Jumat petang itu, Gubernur Anies mengevaluasi penerapan hari pertama itu dengan menyebutkan, berjalan baik.
"Alhamdulillah hari pertama PSBB sejauh ini, berjalan baik," ujar Anies.
Anies mengatakan tidak hanya jalan-jalan Ibu Kota yang tampak sepi dari kendaraan, tapi juga memastikan pembagian kebutuhan pokok sebagai kompensasi dari penerapan PSBB untuk masyarakat prasejahtera juga berjalan dengan baik.
Petugas gabungan dari unsur Satpol PP, kepolisian dan TNI patroli bersama di seluruh wilayah Jakarta pada hari pertama itu.
Kemudian, terkait dengan kejadian salat Jumat pada beberapa masjid di Jakarta Pusat, khususnya Kelurahan Kebon Kosong itu, secara tidak langsung Anies menyiratkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan PSBB akan diawali dengan langkah persuasif dulu.
Senada dengan Anies, Sang Wali Kota Jakarta Pusat pun Irwandi mengamini langkah hukum dengan pendekatan persuasif itu. Ia pun mengakui, saat hari pertama itu, dari seluruh masjid di Jakarta Pusat masih sekitar 20 persen menggelar salat Jumat.
Padahal, sejak sebulan lalu, aneka pendekatan dan sosialisasi bersama pihak terkait sudah dilakukan agar, untuk sementara meniadakan salat Jumat dan salat berjemaah lainnya dan cukup dilakukan di rumah.
Bahkan, Dewan Masjid Indonesia (DMI) DKI Jakarta Jumat terakhir pada Maret, sudah kembali menyerukan pembatasan aktivitas di masjid guna mencegah penyebaran virus corona (COVID-19) dengan meniadakan salat Jumat dan ibadah wajib lainnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Ketua Pimpinan Wilayah DMI DKI Jakarta Ma'mun Alayubi menegaskan, seruan itu diperbaharui merujuk Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), seruan Gubernur DKI Jakarta dan Maklumat Kapolri, intinya tidak hanya fokus meniadakan salat Jumat saja, tapi aktivitas lainnya yang berkumpul di tempat ibadah.
DMI memperbaharui seruan pembatasan aktivitas di tempat ibadah khususnya masjid, untuk mencegah penularan COVID-19. Seruan dikeluarkan oleh DMI Jakarta per 1 April dan berlaku dari 3 April hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Seruan ditandatangani oleh Ma'mun dan Ketua Umum DMI Jakarta KH Munahar Muchtar.
Meski aktivitas beribadah secara berjemaah di masjid dibatasi, DMI tetap mengimbau agar masjid mengumandangkan suara adzan setiap waktu salat masuk, tetapi tidak menyerukan salat di masjid.
Adzan tetap dikumandangkan, tapi tidak mengajak salat di masjid dan di akhir adzan diserukan 'al-salatu fi buyutikum' yang artinya salatlah di rumah kalian.
Tercatat ada sekitar 3.700 masjid terdapat di DKI Jakarta, 6.000 mushala dan sekitar 100-an masjid kantor di bawah pengawasan DMI Jakarta.
Masjid digembok?
Agaknya kejadian di hari pertama itu pun menimbulkan reaksi dari penegak hukum lainnya dengan tujuan agar visi dari Pergub 33/2020 ini benar-benar bisa memutus mata rantai penyebaran COVID-19 secara menyeluruh, khususnya di DKI Jakarta.
Tak tanggung-tanggung, Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat akan mengusulkan penutupan masjid-masjid di wilayah ini untuk mencegah terjadinya pelanggaran aturan PSBB karena kegiatan salat berjemaah.
"Kami akan mengusulkan penutupan masjid atau masjidnya digembok," kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto saat itu.
Tentu usulan ini, baru akan disampaikan dalam rapat khusus bersama Wali Kota Jakarta Pusat, Dandim 0501/Jakarta Pusat, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tak hanya itu, harapannya tentu pemasangan imbauan lewat spanduk di depan masjid yang menyatakan tempat ibadah selama masa PSBB tidak dibuka untuk umum terutama untuk berkumpul, akan terus dilakukan.
Imbauan untuk kesekian kalinya tersebut akan fokus pada sekitar 8-9 titik di Kemayoran karena di masjid-masjid itulah pelanggaran PSBB hari pertama itu terjadi, termasuk Masjid Al Amir yang ada di Asrama Polisi Kemayoran.
Jika merujuk pada Pasal 12 Pergub 33/2020, maka hal itu sangat dimungkinkan. Pertanyaan berikutnya, benarkah, hal semacam itu pantas dilakukan. Ini akan menimbulkan pro dan kontra. Namun, demi tujuan besar bersama, agaknya bisa dipertimbangkan.
Terlebih, jika kita tengok fakta di masyarakat terkait dengan PSBB ini, ternyata hingga hari keempat, penilaian dari Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal TNI Eko Margiyono bahwa hampir tidak ada perubahan perilaku masyarakat.
"Ini sudah hari keempat, di Kalideres, Cileduk, dan Kalimalang, kita lihat hampir tidak ada perubahan," katanya saat meninjau poin cek PSBB di Jalan Inspeksi Saluran Kalimalang, Duren Sawit, Jakarta Timur, Senin siang (13/4).
Oleh karena itu, situasi itu akan menjadi bahan evaluasi bagi seluruh gugus tugas di daerah terkait penerapan PSBB dalam rangka pencegahan COVID-19.
Melihat fakta ini, kita pun berharap agar muslim Indonesia, khususnya DKI Jakarta dan sebentar lagi seluruh daerah penyangga Ibu Kota seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang, benar-benar memahami PSBB dengan segala konsekuensi dan tujuan besarnya.
Bukankah sudah ada Fatwa MUI terkait kondisi ini bahwa jika daerah sudah ditetapkan zona merah dengan tingkat ancaman tinggi penyebaran COVID-19 dan sudah ditetapkan oleh pihak berwenang, maka boleh tidak salat Jumat dan diganti dengan salat Dhuhur di rumah?
Akhirnya, kita berharap dan berdoa agar pelaksanaan salat Jumat pada sejumlah masjid di Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat itu tak menular di masjid lainnya di Jabodetabek, khususnya ketika PSBB sudah ditetapkan.
Sederhananya, dalam situasi pandemi COVID-19 ini, masjid dan tempat-tempat ibadah keagamaan lainnya, layak dikosongkan!
Masjid itu berada di Kecamatan Kemayoran, salah satunya Masjid Mifhtaahul Jannah di RW 11 Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Terdapat sekitar 150 jemaah masjid, tanpa mengalami gangguan berarti, tuntas melaksanakan salat Jumat.
Dari tampilan foto pemberitaan pada media massa, para jemaah melaksanakan ibadah itu juga tanpa menerapkan jaga jarak antarjemaah dalam shaf salatnya. Bahkan, jemaah ada yang meluber hingga di luar masjid dan berada tak jauh dari beberapa sepeda motor di pakiran.
Kontan, peristiwa ini menimbulkan aneka persepsi dan tanggapan dari masyarkat. Sebut saja, salah satu warga RW 11 Kelurahan Kebon Kosong, Dwi mengaku resah dan agak terganggu karena ada kekhawatiran mendalam, ketika lima orang saja atau lebih berkumpul dan tanpa menjaga jarak, maka potensi menularnya virus corona baru (COVID-19) sangat terbuka.
Tak hanya Dwi, siapa pun, akan merasakan hal yang sama mengingat hingga Selasa ini dan berdasarkan data dari Kemenkes RI, hingga 13 April 2020, di DKI Jakarta sebagai salah satu dari episentrum pandemi global itu, sudah terdapat 2.186 kasus positif terpapar COVID-19, 142 orang sembuh, 204 orang meninggal dunia.
Kemudian, data nasional menunjukkan, pada periode yang sama, sudah mencapai 4.557 kasus positif, 3.778 pasien dirawat, 380 orang sembuh dan 399 orang meninggal dunia. Artinya, berdasarkan data itu, DKI Jakarta berkontribusi 50 persen lebih. Sebuah angka yang signifikan dan menakutkan karena trennya sejak awal Maret, selalu naik.
Pelanggaran terbuka
Tentu, siapa pun akan sependapat bahwa, pelaksanaan salat Jumat di daerah Kebon Kosong itu tak lagi bisa berdiri sendiri karena jelas-jelas sebuah kegiatan ritual keagamaan dengan kriteria pelanggaran terbuka terhadap PSBB, khususnya Pasal 11 dan Pasal 12 pada bagian keempat tentang Pembatasan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah.
Intinya, penyelenggaraan kegiatan keagamaan selama PSBB hingga 23 April 2020, untuk sementara dilakukan penghentian sementara. Selengkapnya tiga ayat pada Pasal 11 itu berbunyi :
(1) Selama pemberlakuan PSBB, dilakukan penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/atau di tempat tertentu. (2) Selama penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/ atau di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kegiatan keagamaan dilakukan di rumah masing-masing.
Ayat (3) selama penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/atau di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kegiatan penanda waktu ibadah seperti adzan, lonceng, dan/atau penanda waktu lainnya dilaksanakan seperti biasa.
Kemudian untuk Pasal 12, berbunyi : (1) Selama pemberlakuan PSBB, penanggung jawab rumah ibadah wajib:
a. memberikan edukasi atau pengertian kepada jamaah masing-masing untuk tetap melakukan kegiatan keagamaan di rumah;
b. melakukan pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) di rumah ibadah masing-masing;
c. menjaga keamanan rumah ibadah masing-masing.
Ayat (2) upaya pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (COVID19) di rumah ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara berkala dengan cara:
a. membersihkan rumah ibadah dan lingkungan sekitarnya;
b. melakukan disinfeksi pada lantai, dinding, dan perangkat bangunan rumah ibadah;
c. menutup akses masuk bagi pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan sanksi jika ketentuan PSBB ini nyata-nyata berulang dan dilakukan pelanggaran dengan sengaja, padahal langkah persuasif dari aparat sudah dilakukan?
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada kesempatan penjelasan kepada publik, 9 April malam itu, sudah menegaskan bahwa bisa saja sanksi sesuai Pasal 27 pada Pergub 33/2020 diterapkan.
Ditekankan bahwa sanksinya terhadap penerapan status PSBB akan dikenakan sanksi pidana satu tahun penjara dan denda Rp100 juta. Tentu prosesnya bisa diawali dengan sanksi pidana ringan dan apabila berulang sanksi bisa lebih berat.
"Prosesnya nanti kita kerjakan bersama dengan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa seluruh ketentuan ini dilaksanakan, termasuk ketentuan di pasal 93 UU nomor 6 tahun 2018 terkait Karantina Kesehatan sebagai rujukan hukum dari Pergub ini," kata Anies.
Persuasif
Anehnya, menanggapi kegiatan pelanggaran terbuka pada hari pertama penerapan PSBB itu, di Jumat petang itu, Gubernur Anies mengevaluasi penerapan hari pertama itu dengan menyebutkan, berjalan baik.
"Alhamdulillah hari pertama PSBB sejauh ini, berjalan baik," ujar Anies.
Anies mengatakan tidak hanya jalan-jalan Ibu Kota yang tampak sepi dari kendaraan, tapi juga memastikan pembagian kebutuhan pokok sebagai kompensasi dari penerapan PSBB untuk masyarakat prasejahtera juga berjalan dengan baik.
Petugas gabungan dari unsur Satpol PP, kepolisian dan TNI patroli bersama di seluruh wilayah Jakarta pada hari pertama itu.
Kemudian, terkait dengan kejadian salat Jumat pada beberapa masjid di Jakarta Pusat, khususnya Kelurahan Kebon Kosong itu, secara tidak langsung Anies menyiratkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan PSBB akan diawali dengan langkah persuasif dulu.
Senada dengan Anies, Sang Wali Kota Jakarta Pusat pun Irwandi mengamini langkah hukum dengan pendekatan persuasif itu. Ia pun mengakui, saat hari pertama itu, dari seluruh masjid di Jakarta Pusat masih sekitar 20 persen menggelar salat Jumat.
Padahal, sejak sebulan lalu, aneka pendekatan dan sosialisasi bersama pihak terkait sudah dilakukan agar, untuk sementara meniadakan salat Jumat dan salat berjemaah lainnya dan cukup dilakukan di rumah.
Bahkan, Dewan Masjid Indonesia (DMI) DKI Jakarta Jumat terakhir pada Maret, sudah kembali menyerukan pembatasan aktivitas di masjid guna mencegah penyebaran virus corona (COVID-19) dengan meniadakan salat Jumat dan ibadah wajib lainnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Ketua Pimpinan Wilayah DMI DKI Jakarta Ma'mun Alayubi menegaskan, seruan itu diperbaharui merujuk Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), seruan Gubernur DKI Jakarta dan Maklumat Kapolri, intinya tidak hanya fokus meniadakan salat Jumat saja, tapi aktivitas lainnya yang berkumpul di tempat ibadah.
DMI memperbaharui seruan pembatasan aktivitas di tempat ibadah khususnya masjid, untuk mencegah penularan COVID-19. Seruan dikeluarkan oleh DMI Jakarta per 1 April dan berlaku dari 3 April hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Seruan ditandatangani oleh Ma'mun dan Ketua Umum DMI Jakarta KH Munahar Muchtar.
Meski aktivitas beribadah secara berjemaah di masjid dibatasi, DMI tetap mengimbau agar masjid mengumandangkan suara adzan setiap waktu salat masuk, tetapi tidak menyerukan salat di masjid.
Adzan tetap dikumandangkan, tapi tidak mengajak salat di masjid dan di akhir adzan diserukan 'al-salatu fi buyutikum' yang artinya salatlah di rumah kalian.
Tercatat ada sekitar 3.700 masjid terdapat di DKI Jakarta, 6.000 mushala dan sekitar 100-an masjid kantor di bawah pengawasan DMI Jakarta.
Masjid digembok?
Agaknya kejadian di hari pertama itu pun menimbulkan reaksi dari penegak hukum lainnya dengan tujuan agar visi dari Pergub 33/2020 ini benar-benar bisa memutus mata rantai penyebaran COVID-19 secara menyeluruh, khususnya di DKI Jakarta.
Tak tanggung-tanggung, Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat akan mengusulkan penutupan masjid-masjid di wilayah ini untuk mencegah terjadinya pelanggaran aturan PSBB karena kegiatan salat berjemaah.
"Kami akan mengusulkan penutupan masjid atau masjidnya digembok," kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto saat itu.
Tentu usulan ini, baru akan disampaikan dalam rapat khusus bersama Wali Kota Jakarta Pusat, Dandim 0501/Jakarta Pusat, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tak hanya itu, harapannya tentu pemasangan imbauan lewat spanduk di depan masjid yang menyatakan tempat ibadah selama masa PSBB tidak dibuka untuk umum terutama untuk berkumpul, akan terus dilakukan.
Imbauan untuk kesekian kalinya tersebut akan fokus pada sekitar 8-9 titik di Kemayoran karena di masjid-masjid itulah pelanggaran PSBB hari pertama itu terjadi, termasuk Masjid Al Amir yang ada di Asrama Polisi Kemayoran.
Jika merujuk pada Pasal 12 Pergub 33/2020, maka hal itu sangat dimungkinkan. Pertanyaan berikutnya, benarkah, hal semacam itu pantas dilakukan. Ini akan menimbulkan pro dan kontra. Namun, demi tujuan besar bersama, agaknya bisa dipertimbangkan.
Terlebih, jika kita tengok fakta di masyarakat terkait dengan PSBB ini, ternyata hingga hari keempat, penilaian dari Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal TNI Eko Margiyono bahwa hampir tidak ada perubahan perilaku masyarakat.
"Ini sudah hari keempat, di Kalideres, Cileduk, dan Kalimalang, kita lihat hampir tidak ada perubahan," katanya saat meninjau poin cek PSBB di Jalan Inspeksi Saluran Kalimalang, Duren Sawit, Jakarta Timur, Senin siang (13/4).
Oleh karena itu, situasi itu akan menjadi bahan evaluasi bagi seluruh gugus tugas di daerah terkait penerapan PSBB dalam rangka pencegahan COVID-19.
Melihat fakta ini, kita pun berharap agar muslim Indonesia, khususnya DKI Jakarta dan sebentar lagi seluruh daerah penyangga Ibu Kota seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang, benar-benar memahami PSBB dengan segala konsekuensi dan tujuan besarnya.
Bukankah sudah ada Fatwa MUI terkait kondisi ini bahwa jika daerah sudah ditetapkan zona merah dengan tingkat ancaman tinggi penyebaran COVID-19 dan sudah ditetapkan oleh pihak berwenang, maka boleh tidak salat Jumat dan diganti dengan salat Dhuhur di rumah?
Akhirnya, kita berharap dan berdoa agar pelaksanaan salat Jumat pada sejumlah masjid di Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat itu tak menular di masjid lainnya di Jabodetabek, khususnya ketika PSBB sudah ditetapkan.
Sederhananya, dalam situasi pandemi COVID-19 ini, masjid dan tempat-tempat ibadah keagamaan lainnya, layak dikosongkan!