Palembang (ANTARA) - Produksi pabrik-pabrik karet di Sumatera Selatan berkurang signifikan hingga 35 persen karena merespons melemahnya permintaan ekspor dan berkurangnya suplai dari petani.
Berdasarkan catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan diketahui produksi karet pada Januari 2020 mencapai 78.136 ton, namun pada Februari 2020 hanya 50.591 ton.
Ketua Gapkindo Sumsel Alex K Eddy di Palembang, Senin, mengatakan produksi karet tersebut mayoritas ditujukan untuk pasar ekspor dalam bentuk SIR 20 (Standard Indonesian Rubber).
“Bulan lalu ekspor karet hanya 48.770 ton. Jumlah itu turun hampir separuh dari rata-rata ekspor karet pada kondisi normal,” kata dia.
Alex menjelaskan permintaan karet di pasar global makin melemah setelah Eropa dan Amerika Serikat (AS) situasi darurat terkait penyebaran Corona Virus Diasease (COVID-19). Bahkan beberapa kota besar di negara itu memutuskan untuk mengkarantina penduduknya.
“Keputusan itu memukul kegiatan ekonomi negara tujuan yang juga akan berdampak pada industri ban mereka. Bulan-bulan ke depan akan sangat sulit. AS, negara-negara di Eropa dan Korea Selatan menutup diri dengan melakukan lockdown (karantina wilayah),” ujar dia.
Berdasarkan data BPS Sumsel periode Januari 2020, karet masih berada di posisi pertama untuk komoditas ekspor nonmigas.
Nilai ekspor karet mencapai 118,44 juta dolar AS dan berperan sebesar 43,10 persen terhadap total ekspor nonmigas pada Februari 2020.
Alex mengatakan AS merupakan salah satu pemakai karet alam terbesar di dunia setelah China.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, mengatakan hampir semua pabrik karet di Sumsel telah mengurangi produksi.
“Kami belum mendengar ada pabrik yang menutup atau setop produksi tetapi sudah banyak yang mengurangi produksi,” ujar dia.
Menurutnya, kondisi pabrik di Sumsel tidak berbeda jauh dengan daerah penghasil karet lainnya, seperti Sumatra Barat. Suplai dari petani telah berkurang yang turut menyebabkan penurunan produksi.
“Kondisi ini berakibat meningkatnya ongkos produksi. Apalagi pembeli (pabrik ban di luar negeri) tidak bisa produksi karena negaranya di-lock down,” kata Rudi.
Ia melanjutkan banyak pembeli yang menunda pengapalan komoditas itu sehingga pabrik di Sumsel tidak bisa mendapatkan uang pembayaran.
Berdasarkan catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan diketahui produksi karet pada Januari 2020 mencapai 78.136 ton, namun pada Februari 2020 hanya 50.591 ton.
Ketua Gapkindo Sumsel Alex K Eddy di Palembang, Senin, mengatakan produksi karet tersebut mayoritas ditujukan untuk pasar ekspor dalam bentuk SIR 20 (Standard Indonesian Rubber).
“Bulan lalu ekspor karet hanya 48.770 ton. Jumlah itu turun hampir separuh dari rata-rata ekspor karet pada kondisi normal,” kata dia.
Alex menjelaskan permintaan karet di pasar global makin melemah setelah Eropa dan Amerika Serikat (AS) situasi darurat terkait penyebaran Corona Virus Diasease (COVID-19). Bahkan beberapa kota besar di negara itu memutuskan untuk mengkarantina penduduknya.
“Keputusan itu memukul kegiatan ekonomi negara tujuan yang juga akan berdampak pada industri ban mereka. Bulan-bulan ke depan akan sangat sulit. AS, negara-negara di Eropa dan Korea Selatan menutup diri dengan melakukan lockdown (karantina wilayah),” ujar dia.
Berdasarkan data BPS Sumsel periode Januari 2020, karet masih berada di posisi pertama untuk komoditas ekspor nonmigas.
Nilai ekspor karet mencapai 118,44 juta dolar AS dan berperan sebesar 43,10 persen terhadap total ekspor nonmigas pada Februari 2020.
Alex mengatakan AS merupakan salah satu pemakai karet alam terbesar di dunia setelah China.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, mengatakan hampir semua pabrik karet di Sumsel telah mengurangi produksi.
“Kami belum mendengar ada pabrik yang menutup atau setop produksi tetapi sudah banyak yang mengurangi produksi,” ujar dia.
Menurutnya, kondisi pabrik di Sumsel tidak berbeda jauh dengan daerah penghasil karet lainnya, seperti Sumatra Barat. Suplai dari petani telah berkurang yang turut menyebabkan penurunan produksi.
“Kondisi ini berakibat meningkatnya ongkos produksi. Apalagi pembeli (pabrik ban di luar negeri) tidak bisa produksi karena negaranya di-lock down,” kata Rudi.
Ia melanjutkan banyak pembeli yang menunda pengapalan komoditas itu sehingga pabrik di Sumsel tidak bisa mendapatkan uang pembayaran.