Jakarta (ANTARA) - Bekas Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi disebut melakukan rotasi terhadap orang yang dinilai tidak kooperatif terhadap dirinya .

"Pada Juni 2017 ada pergantian Kepala Sub-Bagian Urusan Dalam, Angga menjadi Atun, lalu saya sampaikan ke Pak Imam karena penggantinya Bu Atun kompetisinya tidak bagus, saya langsung wa (whatsapp) ke Pak Imam tapi Pak Imam meminta agar langsung di-SK-kan," kata Sekretaris Menpora (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Gatot menjadi saksi untuk mantan Menpora Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ulum dalam dakwaan Imam disebut perantara penerima uang tersebut.

"Pak Angga sering mengeluh dia tidak bisa menyampaikan uang yang diminta Pak Ulum jadi kesimpulannya tidak kooperatif," ungkap Gatot.

Namun, Gatot mengaku tidak mendapat penjelasan mengenai uang apa yang dimaksud oleh Angga.

"Tidak dijelaskan uang apa tapi tujuannya disebut untuk pimpinan, untuk terdakwa," ucap Gatot menambahkan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK lalu membuka percakapan WA antara Gatot dan Imam Nahrawi mengenai permintaan Imam untuk membuat SK penggantian Angga.

Imam: Pak Sesmen itu Bu Atun di-SK-kan sebagai BPP rumah tangga
Gatot: Baik pak menteri

BPP adalah Bendahara Pengeluaran Pembantu.

Selain Angga yang diganti oleh Atun, Gatot juga mengaku adanya desas-desus mantan Sesmenpora Alfitra Salamm diberhentikan karena menolak memberikan uang kepada Imam Nahrawi.

"Saya tidak pernah mendengar langsung dari Pak Imam atau Pak Alfitra apakah ada permintaan uang, tapi tanggal 13 Juni 2016 sudah terbit SK pemberhentian Pak Alfitra, namun baru 20 Juni ada surat pengunduran diri Alfitra, lazimnya keputusan presiden seharusnya ada permohonan pemberhentian lebih dulu tapi saya dengar rumor di luar karena ada sesuatu, teman-teman di Kemenpora mengatakan karena uang tapi saya tidak meyakini kepastiannya," ungkap Gatot.

JPU KPK lalu membacakan BAP Gatot no. 19

"'Bila permintaan Imam Nahrawi tidai diikuti pegawai Kemenproa, baik langsung maupun tidak langsung melalui stafnya maka Imam Nahrawi memberhentikan atau memutasi, contohnya Alfitra Salamm diberhentikan sebagai Sesmenpora karena menolak memberikan Rp5 miliar ke Imam Nahrawi. Imam Nahrawi juga mengirim surat ke Presiden untuk pemberhentian Alfitra, namun sebelum ada surat dari Presiden, Alfitra sudah lebih dulu mengundurkan diri. Contoh lain adalah Angga yang diganti oleh Atun karena menolak untuk memberikan uang', apa ini benar?" tanya jaksa Ronald Worotikan.

"Katanya ada permintaan uang tapi saya tidak percaya, saya tahunya dari media," ungkap Gatot.

Dalam perkara ini mantan Menpora Imam Nahrawi bersama-sama dengan asisten pribadinya Miftahul Ulum didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proprosal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi tahun 2018.

Sedangkan dalam dakwaan kedua Imam didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016; uang Rp1 milliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Presitasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat.

Pewarta : Desca Lidya Natalia
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024