Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap sejak Januari 2019 telah terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dengan luas 135.747 hektare. Kebakaran paling besar terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut data KLHK, di NTT telah terjadi 71.712 hektare kasus kebakaran hutan dan lahan. Semuanya terjadi di lahan mineral. "Itu terbakar tapi di Sabana, lahan mineral berbeda dari di Riau yang didominasi lahan gambut," ujar Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Raffles Panjaitan di Jakarta, Jumat.
Persebaran Karhutla di 28 provinsi berdasarkan citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS dan data titik panas (hotspot) MODIS sampai saat ini lebih banyak terjadi di hutan dan lahan mineral dibandingkan hutan dan lahan gambut.
"Kebakaran di lahan mineral lebih banyak karena lahan masyarakat umumnya ada di tanah mineral," ujar Raffles.
Provinsi Riau mengalami lahan gambut terbanyak dari 28 provinsi yang terdampak dengan luas gambut terbakar sebesar 27.635 hektare. Sebanyak 2.430 hektare kebakaran di daerah tersebut terjadi di daerah hutan mineral dengan total lahan terbakar sebesar 30.065 hektare.
Luas terbesar ketiga adalah Kepulauan Riau dengan karhutla terjadi di hutan mineral seluas 4.970 hektare.
Selanjutnya di Pulau Kalimantan, total luas lahan terbakar sebanyak 16.033 hektare dengan titik terbanyak berada di Kalimantan Selatan dengan 4.670 hektare. Disusul Kalimantan Timur dengan 4.430 hektare total lahan terbakar.
Kalimantan Barat merupakan provinsi di pulau Kalimantan yang paling banyak mengalami kebakaran lahan gambut. Sedangkan jika melihat data 28 provinsi, Kalimantan Barat berada di posisi kedua setelah Provinsi Riau dengan luas lahan gambut terbakar sebanyak 1.291 hektare.
Raffles mengungkapkan, data tersebut diperoleh setelah melakukan ground check ke lokasi titik panas. Ia menambahkan kebanyakan pelaku karhutla adalah masyarakat. Maka itu, KLHK bersama BNPB menerapkan program pasukan terpadu agar mengubah kebiasaan masyarakat membakar untuk membuka lahan.
"Kalau sudah terbakar, lahan gambut akan sulit padam jika tidak ada air jenuh yang memadamkannya," ujar dia.
Namun, disisi lain Direktorat Penegakan Hukum KLHK juga gencar melakukan pemanggilan terhadap direktur perusahaan tempat lokasi yang terjadi pembakaran.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani menjelaskan bahwa kementerian sudah memberikan surat peringatan kepada 110 pemimpin perusahaan yang memiliki lahan dengan titik panas indikasi kebakaran di dalamnya.
"Kami juga sudah melakukan penyegelan terhadap 19 areal konsesi yang diantaranya 18 lahan dikelola korporasi. Jumlah ini mungkin bertambah karena tim kami terus bekerja di lapangan," tambahnya.
Namun, Roy berharap tindakan pembakaran lahan bisa berhenti karena mereka terus berupaya melakukan upaya penegakan hukum di lapangan.
"Jika ada indikasi pembakaran baru akan langsung dilakukan penyegelan," ujar dia.
Menurut data KLHK, di NTT telah terjadi 71.712 hektare kasus kebakaran hutan dan lahan. Semuanya terjadi di lahan mineral. "Itu terbakar tapi di Sabana, lahan mineral berbeda dari di Riau yang didominasi lahan gambut," ujar Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Raffles Panjaitan di Jakarta, Jumat.
Persebaran Karhutla di 28 provinsi berdasarkan citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS dan data titik panas (hotspot) MODIS sampai saat ini lebih banyak terjadi di hutan dan lahan mineral dibandingkan hutan dan lahan gambut.
"Kebakaran di lahan mineral lebih banyak karena lahan masyarakat umumnya ada di tanah mineral," ujar Raffles.
Provinsi Riau mengalami lahan gambut terbanyak dari 28 provinsi yang terdampak dengan luas gambut terbakar sebesar 27.635 hektare. Sebanyak 2.430 hektare kebakaran di daerah tersebut terjadi di daerah hutan mineral dengan total lahan terbakar sebesar 30.065 hektare.
Luas terbesar ketiga adalah Kepulauan Riau dengan karhutla terjadi di hutan mineral seluas 4.970 hektare.
Selanjutnya di Pulau Kalimantan, total luas lahan terbakar sebanyak 16.033 hektare dengan titik terbanyak berada di Kalimantan Selatan dengan 4.670 hektare. Disusul Kalimantan Timur dengan 4.430 hektare total lahan terbakar.
Kalimantan Barat merupakan provinsi di pulau Kalimantan yang paling banyak mengalami kebakaran lahan gambut. Sedangkan jika melihat data 28 provinsi, Kalimantan Barat berada di posisi kedua setelah Provinsi Riau dengan luas lahan gambut terbakar sebanyak 1.291 hektare.
Raffles mengungkapkan, data tersebut diperoleh setelah melakukan ground check ke lokasi titik panas. Ia menambahkan kebanyakan pelaku karhutla adalah masyarakat. Maka itu, KLHK bersama BNPB menerapkan program pasukan terpadu agar mengubah kebiasaan masyarakat membakar untuk membuka lahan.
"Kalau sudah terbakar, lahan gambut akan sulit padam jika tidak ada air jenuh yang memadamkannya," ujar dia.
Namun, disisi lain Direktorat Penegakan Hukum KLHK juga gencar melakukan pemanggilan terhadap direktur perusahaan tempat lokasi yang terjadi pembakaran.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani menjelaskan bahwa kementerian sudah memberikan surat peringatan kepada 110 pemimpin perusahaan yang memiliki lahan dengan titik panas indikasi kebakaran di dalamnya.
"Kami juga sudah melakukan penyegelan terhadap 19 areal konsesi yang diantaranya 18 lahan dikelola korporasi. Jumlah ini mungkin bertambah karena tim kami terus bekerja di lapangan," tambahnya.
Namun, Roy berharap tindakan pembakaran lahan bisa berhenti karena mereka terus berupaya melakukan upaya penegakan hukum di lapangan.
"Jika ada indikasi pembakaran baru akan langsung dilakukan penyegelan," ujar dia.