Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2018 Sofyan Basir disebut mengetahui bahwa anggota Komisi VII dari Partai Golkar DPR Eni Maulani Saragih dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham akan mendapat "fee" dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Mulut Tambang RIAU-1.
"Terdakwa mengetahui Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau 'fee' sebagai imbalan dari Johannes Budisutrisno Kotjo sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan Idrus Marham menerima hadiah berupa uang secara bertahap seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR, Ltd)," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Budhi Sarumpaet saat membacakan surat dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini JPU KPK mendakwa Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan antara Eni Maulani Saragih, Idrus Marham dan pemegang saham BNR Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Proyek itu dikerjakan oleh anak perusahaan PT PLN PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BNR Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC,LTd) yang dibawa oleh Johannes Budisutrisno Kotjo.
Johannes Kotjo pada 2015 membuat kesepakatan dengan CHEC Ltd sebagai agen proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 akan mendapat jatah "fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek 900 juta dolar AS atau sejumlah 25 juta dolar AS yang akan dibagi-bagikan untuk dirinya sendiri serta sejumlah pihak lain.
Direktur PT Samantaka Batubara (anak perusahaan BNR) Rudy Herlambang pada 1 Oktober 2016 mengajukan permohonan proyek PLTU MT RIAU-1 agar PT PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN, namun karena tidak ada tanggapan dari PLN, Johannes Kotjo pun meminta bantuan ke Setya Novanto untuk dipertemukan dengan pihak PT PLN.
Setya Novanto lalu memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR. Pada kesempatan itu Setnov menyampaikan kepada Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU itu dan akan memberikan "fee" dari bagian yang akan diperoleh Kotjo dari CHEC, yang kemudian disanggupi oleh Eni Saragih.
"Menindaklanjuti permintaan Johannes Kotjo, pada saat rapat kerja Komisi VII DPR dengan PT PLN, Eni Maulani Saragih menyampaikan kepada terdakwa bahwa ia ditugaskan oleh Setya Novanto untuk mengawal perusahaan Johanes Budisutrisno Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di PLN guna kepentingan mencari dana untuk Partai Golkar dan pemilu legislatif Partai Golkar, untuk itu Eni Maulani meminta terdakwa melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di rumah Setya Novantao yang disanggupi terdakwa," tambah jaksa.
Selanjutnya Sofyan melakukan beberapa kali pertemuan bersama dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso dan Eni Maulani Saragih dan Johannes Kotjo.
Pertemuan tersebut antara lain pada 2017 di hotel Fairmont Jakarta. Sofyan mengajak Iwan Santoso dan Nicke Widyawati bertemu Eni dan Johannes. Eni dan Johannes dalam pertemuan itu meminta kepada Sofyan agar proyek PLTU MT RIAU-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
"Kemudian terdakwa meminta Nicke Widyawati untuk menindaklanjuti permintaan tersebut," ujar jaksa.
Sehingga pada 29 Maret 2017, IPP PLTU MT Riau pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres no 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan 9 proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.
Sofyan kembali bertemu dengan Supangkat Iwan bersama dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo di ruang kerja Sofyan di PT PLN. Atas arahan Sofyan, Supangkat menjelaskan mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres No 4 tahun 2016. Supangkat juga menyampaikan agar mitra akan bekerja sama dengan menyediakan modal untuk anak perusahaan PT PLN dan selanjutnya CHEC akan menjadi penyedia modal.
Pertemuan lanjutkan dilakukan Sofyan dengan Eni dan Johannes Kotjo di BRI Lounge.
"Terdakwa menyampaikan bahwa Johanes Budisutrisno Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan skema penunjukkan langsung dimana anak perusahaan PLN yaitu PT PJB akan memiliki saham perusahaan konsorsium minimal sebesar 51 persen sesuai perpres no. 4 tahun 2016," jelas jaksa.
Pada September 2017 di restoran Arkadia Plaza Senayan, Sofyan dan Supangkat Iwan kembali bertemu Eni dan Johannes Kotjo dan pada pertemuan itu, Sofyan memerintahkan Supangkat Iwan untuk mengawasi proses PLTU MT RIAU-1 Dan Eni juga meminta Sofyan dan Supangkat Iwan agar Johannes Kotjo bisa segera mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 tersebut.
Pada 14 September 2017 di kantor PLN ditandatangani kontrak induk (heads of agreeement) oleh Dirut PT PJB Iwan Agung Firstantara, Plt Dirut PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC Ltd Wang Kun, CEO BNR Richard Philip Cecile dan Dirut PT Samantaka Rudy Herlambang untuk membentuk konsorsium mengembangkan proyek PLTU MT RIAU-1.
Atas arahan Sofyan juga agar Power Purchased Agreement (PPA) proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani maka Supangkat Iwan pada 22-23 September 2017 di Surabaya melakukan rapat konsinyerin dengan beberapa anak perusahaan PT PLN dengan kesepakatan bahwa PPA akan dilakukan terhadap PT PJB dan PLN Batubara yang tujuannya untuk menaikkan posisi tawar anak perusahaan dalam mencari rekanan.
"Hasil rapat konsinyering tersebut oleh Supangkat Iwan kemudian dilaporkan kepada terdakwa dan atas laporan itu, terdakwa meminta agar PPA proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani," tutur jaksa.
Baca juga: Mantan dirut PLN didakwa fasilitasi pertemuan Eni-Idrus
Sofyan pun menandatangani PPA proyek PLTU MT RIAU-1 dengan mencantumkan tanggal maju yaitu 6 Oktober 20117 padahal "letter of intent" IPP PLTU MT RIAU-1 baru ditandatangani Supangkat Iwan dan perwakilan perusahaan konsorsium pada 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur yaitu tertanggal 6 Oktober 2017 berisi masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar 5,4916 dolar AS per kWh dan segera membentuk perusahan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus saat itu merupakan Sekretaris Jendral Golkar saat itu. Eni juga menyampaikan bahwa akan mendapat "fee" dari Kotjo untuk mengawal proyek tersebut.
Pada 25 September 2017, Eni Maulani melalui telepon berkomunikasi dengan Idrus Marham dan Idrus mengarahkan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dolar AS kepada Johannes Kotjo untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang disanggupi Eni.
"Pada 2 Juli 2018 sekitar pukul 11.37 WIB, Eni menelepon terdakwa untuk membuat janji pertemuan dengan terdakwa kemudian Eni menyampaikan 'Terkait yang kemarin, Huadian sudah selesai dan penting juga itu buat Bang Idrus kita. Jadi saya penting ngomong. Karena yang bisa inikan ke Pak Kotjo itu Pak Sofyan, jadi saya perlu untuk bertemu dengan Pak Sofyan sendiri, baru setelah itu saya ajak Pak Kotjo, gitu Pak', yang selanjutnya disanggupi terdakwa," papar jaksa.
Pertemuan selanjutnya pada 3 Juli 2018 di house of Yuen Dining and Restaurant Fairmont Hotel antara Sofyan dan Eni, Eni menjelaskan bahwa kesepakatan PPA PLTU MT RIAU harus jelas sehingga perlu ada finalisasi kesepakatan kembali dengan Johannes Kotjo. Eni lalu melaporkan pertemuan itu kepada Idrus dan menyampaikan ada pembagian "fee" kepada Sofyan, Eni dan Idrus setelah proses kesepakatan proyek.
Atas bantuan Sofyan telah memfasilitasi Eni untuk mempercepat proses kesepaktan IPP PLTU MT RIAU maka untuk kepentingan munaslub partai Golkar dan biaya kampanye pilkada suami Eni Maulani Saragih sebagai calon Bupati Temanggung yang diusung partai Golkar, Eni bersama Idrus menerima imbalan berupa uang seluruhnya Rp4,75 miliar yang diterima secara bertahap melalui tenaga ahli Eni Maulani Tahta Maharaya di kantor Johannes Kotjo, Graha BIP Jakarta.
Pemberian uang itu yaitu pada 18 Desember 2018 senilai Rp2 miliar, 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, 8 Juni 2018 sejumlah Rp250 juta dan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta.
Atas perbuatannya, Sofyan Basir diancam pidana dalam pasal 12 huruf a jo pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Terhadap dakwaan itu, Sofyan Basir langsung mengajukan keberatan (eksepsi) yang sudah dibacakan dalam sidang. Sidang dilanjutkan pada 1 Juli 2019.
Baca juga: KPK dalami saksi Nicke Widyawati proses kontrak PLTU Riau
"Terdakwa mengetahui Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau 'fee' sebagai imbalan dari Johannes Budisutrisno Kotjo sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan Idrus Marham menerima hadiah berupa uang secara bertahap seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR, Ltd)," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Budhi Sarumpaet saat membacakan surat dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini JPU KPK mendakwa Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan antara Eni Maulani Saragih, Idrus Marham dan pemegang saham BNR Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Proyek itu dikerjakan oleh anak perusahaan PT PLN PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BNR Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC,LTd) yang dibawa oleh Johannes Budisutrisno Kotjo.
Johannes Kotjo pada 2015 membuat kesepakatan dengan CHEC Ltd sebagai agen proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 akan mendapat jatah "fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek 900 juta dolar AS atau sejumlah 25 juta dolar AS yang akan dibagi-bagikan untuk dirinya sendiri serta sejumlah pihak lain.
Direktur PT Samantaka Batubara (anak perusahaan BNR) Rudy Herlambang pada 1 Oktober 2016 mengajukan permohonan proyek PLTU MT RIAU-1 agar PT PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN, namun karena tidak ada tanggapan dari PLN, Johannes Kotjo pun meminta bantuan ke Setya Novanto untuk dipertemukan dengan pihak PT PLN.
Setya Novanto lalu memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR. Pada kesempatan itu Setnov menyampaikan kepada Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU itu dan akan memberikan "fee" dari bagian yang akan diperoleh Kotjo dari CHEC, yang kemudian disanggupi oleh Eni Saragih.
"Menindaklanjuti permintaan Johannes Kotjo, pada saat rapat kerja Komisi VII DPR dengan PT PLN, Eni Maulani Saragih menyampaikan kepada terdakwa bahwa ia ditugaskan oleh Setya Novanto untuk mengawal perusahaan Johanes Budisutrisno Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di PLN guna kepentingan mencari dana untuk Partai Golkar dan pemilu legislatif Partai Golkar, untuk itu Eni Maulani meminta terdakwa melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di rumah Setya Novantao yang disanggupi terdakwa," tambah jaksa.
Selanjutnya Sofyan melakukan beberapa kali pertemuan bersama dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso dan Eni Maulani Saragih dan Johannes Kotjo.
Pertemuan tersebut antara lain pada 2017 di hotel Fairmont Jakarta. Sofyan mengajak Iwan Santoso dan Nicke Widyawati bertemu Eni dan Johannes. Eni dan Johannes dalam pertemuan itu meminta kepada Sofyan agar proyek PLTU MT RIAU-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
"Kemudian terdakwa meminta Nicke Widyawati untuk menindaklanjuti permintaan tersebut," ujar jaksa.
Sehingga pada 29 Maret 2017, IPP PLTU MT Riau pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres no 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan 9 proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.
Sofyan kembali bertemu dengan Supangkat Iwan bersama dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo di ruang kerja Sofyan di PT PLN. Atas arahan Sofyan, Supangkat menjelaskan mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres No 4 tahun 2016. Supangkat juga menyampaikan agar mitra akan bekerja sama dengan menyediakan modal untuk anak perusahaan PT PLN dan selanjutnya CHEC akan menjadi penyedia modal.
Pertemuan lanjutkan dilakukan Sofyan dengan Eni dan Johannes Kotjo di BRI Lounge.
"Terdakwa menyampaikan bahwa Johanes Budisutrisno Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan skema penunjukkan langsung dimana anak perusahaan PLN yaitu PT PJB akan memiliki saham perusahaan konsorsium minimal sebesar 51 persen sesuai perpres no. 4 tahun 2016," jelas jaksa.
Pada September 2017 di restoran Arkadia Plaza Senayan, Sofyan dan Supangkat Iwan kembali bertemu Eni dan Johannes Kotjo dan pada pertemuan itu, Sofyan memerintahkan Supangkat Iwan untuk mengawasi proses PLTU MT RIAU-1 Dan Eni juga meminta Sofyan dan Supangkat Iwan agar Johannes Kotjo bisa segera mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 tersebut.
Pada 14 September 2017 di kantor PLN ditandatangani kontrak induk (heads of agreeement) oleh Dirut PT PJB Iwan Agung Firstantara, Plt Dirut PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC Ltd Wang Kun, CEO BNR Richard Philip Cecile dan Dirut PT Samantaka Rudy Herlambang untuk membentuk konsorsium mengembangkan proyek PLTU MT RIAU-1.
Atas arahan Sofyan juga agar Power Purchased Agreement (PPA) proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani maka Supangkat Iwan pada 22-23 September 2017 di Surabaya melakukan rapat konsinyerin dengan beberapa anak perusahaan PT PLN dengan kesepakatan bahwa PPA akan dilakukan terhadap PT PJB dan PLN Batubara yang tujuannya untuk menaikkan posisi tawar anak perusahaan dalam mencari rekanan.
"Hasil rapat konsinyering tersebut oleh Supangkat Iwan kemudian dilaporkan kepada terdakwa dan atas laporan itu, terdakwa meminta agar PPA proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani," tutur jaksa.
Baca juga: Mantan dirut PLN didakwa fasilitasi pertemuan Eni-Idrus
Sofyan pun menandatangani PPA proyek PLTU MT RIAU-1 dengan mencantumkan tanggal maju yaitu 6 Oktober 20117 padahal "letter of intent" IPP PLTU MT RIAU-1 baru ditandatangani Supangkat Iwan dan perwakilan perusahaan konsorsium pada 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur yaitu tertanggal 6 Oktober 2017 berisi masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar 5,4916 dolar AS per kWh dan segera membentuk perusahan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus saat itu merupakan Sekretaris Jendral Golkar saat itu. Eni juga menyampaikan bahwa akan mendapat "fee" dari Kotjo untuk mengawal proyek tersebut.
Pada 25 September 2017, Eni Maulani melalui telepon berkomunikasi dengan Idrus Marham dan Idrus mengarahkan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dolar AS kepada Johannes Kotjo untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang disanggupi Eni.
"Pada 2 Juli 2018 sekitar pukul 11.37 WIB, Eni menelepon terdakwa untuk membuat janji pertemuan dengan terdakwa kemudian Eni menyampaikan 'Terkait yang kemarin, Huadian sudah selesai dan penting juga itu buat Bang Idrus kita. Jadi saya penting ngomong. Karena yang bisa inikan ke Pak Kotjo itu Pak Sofyan, jadi saya perlu untuk bertemu dengan Pak Sofyan sendiri, baru setelah itu saya ajak Pak Kotjo, gitu Pak', yang selanjutnya disanggupi terdakwa," papar jaksa.
Pertemuan selanjutnya pada 3 Juli 2018 di house of Yuen Dining and Restaurant Fairmont Hotel antara Sofyan dan Eni, Eni menjelaskan bahwa kesepakatan PPA PLTU MT RIAU harus jelas sehingga perlu ada finalisasi kesepakatan kembali dengan Johannes Kotjo. Eni lalu melaporkan pertemuan itu kepada Idrus dan menyampaikan ada pembagian "fee" kepada Sofyan, Eni dan Idrus setelah proses kesepakatan proyek.
Atas bantuan Sofyan telah memfasilitasi Eni untuk mempercepat proses kesepaktan IPP PLTU MT RIAU maka untuk kepentingan munaslub partai Golkar dan biaya kampanye pilkada suami Eni Maulani Saragih sebagai calon Bupati Temanggung yang diusung partai Golkar, Eni bersama Idrus menerima imbalan berupa uang seluruhnya Rp4,75 miliar yang diterima secara bertahap melalui tenaga ahli Eni Maulani Tahta Maharaya di kantor Johannes Kotjo, Graha BIP Jakarta.
Pemberian uang itu yaitu pada 18 Desember 2018 senilai Rp2 miliar, 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, 8 Juni 2018 sejumlah Rp250 juta dan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta.
Atas perbuatannya, Sofyan Basir diancam pidana dalam pasal 12 huruf a jo pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Terhadap dakwaan itu, Sofyan Basir langsung mengajukan keberatan (eksepsi) yang sudah dibacakan dalam sidang. Sidang dilanjutkan pada 1 Juli 2019.
Baca juga: KPK dalami saksi Nicke Widyawati proses kontrak PLTU Riau