Kampar, Riau (ANTARA) - Sebuah langkah kompromi menjadi solusi terbaik untuk kelestarian Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling dan masyarakat di desa-desa yang ada di dalam kawasan itu. Rencana pembangunan jalan selebar satu setengah meter itu jadi kabar gembira bagi warga yang sudah puluhan tahun hidup terisolir.
Matahari bersinar terik pada medio Juni di Provinsi Riau, namun rimbunnya pohon di hutan Rimbang Baling bagaikan kanopi alami yang meneduhkan. Suara air mengalir, kicauan burung dan teriakan beruk adalah nyanyian alam yang alami. Tenang dan damai.
Dua orang pengawal adat atau Dubalang memimpin perjalanan tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menyusuri hutan Desa Tanjung Belit yang merupakan daerah penyangga sampai ke Desa Muara Bio yang masuk ke kawasan suaka margasatwa.
Salah seorang Dubalang bernama Dani, perawakannya kurus tapi enerjik. Meski hanya mengenakan sendal jepit ia tetap lincah mendaki bukit dan menyeberangi sungai kecil karena sudah hafal seluk beluk hutan itu. Tangannya juga terampil memainkan golok untuk menebas semak dan batang pohon yang melintang di tengah perjalanan.
Sebentar saja pandangan mata beralih, Dubalang sudah hilang seperti ditelan pepohonan. Tidak berselang lama suara mereka terdengar dari arah bukit. Sosok Dani muncul sambil menggenggam tanaman pasak bumi dan memberikannya ke seorang wartawan yang ikut dalam rombongan.
“Ini Pak, supaya kuat,” kata Dani yang membuat penerimanya senyum-senyum karena tahu maksud pembicaraan itu mengarah pada tanaman tradisional tersebut yang diyakini mampu meningkatkan libido pria.
Jalur interpretasi
Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Baling atau yang kerap disebut Rimbang Baling, memiliki luas 136 ribu hektare berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 1982, dan pada KLHK telah menetapkan kawasan itu sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) dengan luas sekitar 142 ribu hektare pada 2016. Topografi hutan yang berbukit dan sungai yang mengalir jernih selama ini menjadi habitat alami bagi flora dan fauna terancam punah, salah satunya adalah harimau sumatera.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Dalam pasal 17 peraturan itu disebutkan bahwa di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Pada pasal 19 juga tertulis bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Faktanya, penetapan kawasan konservasi itu sudah lama menjadi polemik, khususnya bagi masyarakat setempat. Sebabnya, pembangunan tidak bisa dilakukan sembarangan di Rimbang Baling meski ada desa-desa di sana sebelum suaka margasatwa ditetapkan.
Rimbang Baling sudah sejak lama menjadi tempat tinggal bagi warga Kampar Kiri Hulu yang secara adat masuk dalam Kekhalifahan atau Kerajaan Gunung Sahilan. Kerajaan tersebebut diperkirakan berdiri pada abad 16-17 Masehi yang masih garis keturunan dari Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat. Hingga kini masih ada Raja Gunung Sahilan yang diakui, yakni Tengku Muhammad Nizar, yang baru dinobatkan pada 2017.
Namun, hingga kini warga yang tinggal di Rimbang Baling masih terisolir. Mereka hanya bisa mengandalkan Sungai Subayang untuk jalur transportasi, yang sulit dilalui saat kemarau karena terlalu dangkal.
Sekitar 15 tahun yang lalu, Jefry Noer yang saat itu menjabat Bupati Kampar pernah nekad membuat jalan bagi warga di sana. Alat berat seperti buldozer dan eskavator dikerahkan membuka hutan Rimbang Baling, namun Kementerian Kehutanan dan BBKSDA Riau saat itu menolak proyek tersebut. Pembangunan jalan itu pun dihentikan, namun bentuk badan jalannya sudah terlihat meski sekarang sudah ditumbuhi rumput dan pohon.
Kini setelah lebih dari satu dasawarsa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhirnya menyetujui pembangunan infrastruktur jalan yang disebut jalur interpretasi di Rimbang Baling. Kepala BBKSDA Riau, Suharyono menjelaskan, jalur interpretasi akan dibangun sepanjang sekira 37 kilometer.
Jalur interpretasi akan melewati sembilan desa mulai dari Desa Tanjung Belit, Batu Songgan, Tanjung Beringin, Gajah Betalut, Aur Kuning, Terusan, Subayang Jaya dan Pangkalan Serai. Delapan desa setelah Tanjung Belit berada di dalam kawasan suaka margasatwa di daerah aliran Sungai Subayang.
“Kalau untuk jalan sampai sekarang kami tidak akan memberikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak akan memberikan jalan seperti pemikiran jalan yang terlihat beraspal lebar 3 atau 5 meter. Itu nggak mungkin untuk dibangun. Kenapa ini bisa disetujui, karena pemahamannya adalah jalur interpretasi untuk jalan kaki menikmati alam,” katanya.
Ia mengatakan jalur interpretasi mungkin belum terlalu familiar di Riau, namun di daerah lain sudah ada seperti di Taman Nasional Bali Barat dan Taman Wisata Buyan Tamblingan di Bali. Jalur interpretasi, lanjutnya, akan dibuat tidak seperti jalan raya. Jalur tersebut nanti bisa digunakan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut. Rutenya memang mengikuti jalan yang sudah dirintis 15 tahun lalu oleh Pemerintah Kabupaten Kampar, namun lebih ditingkatkan.
“Jalur lebarnya sekitar satu meter yang dipaving tak ada aspal dan beton. Tujuannya sebenarnya untuk jalan kaki, bukan untuk kendaraan bermotor. Kalaulah kendaraan bermotor lewat itu hanya untuk sepeda motor, bukan untuk kendaraan roda tiga, roda empat,” katanya.
Risiko disalahgunakan
Rencana pembangunan jalur interpretasi menimbulkan kekhawatiran bahwa infrastruktur itu akan disalahgunakan untuk aktivitas pembalakan liar di Rimbang Baling. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Fahmizal Usman, adalah salah satu yang menolaknya meski salah satu rencana pembangunan infrastruktur itu juga untuk pengembangan pariwisata.
"Jangan bikin jalan. Siapa yang bisa jamin di sana nanti tidak ada illog (illegal logging) kalau sudah ada jalan," kata Fahmizal Usman.
Ia mengatakan konsep pembangunan jalan untuk pengembangan pariwisata di Bukit Rimbang Baling perlu dipertimbangkan dengan serius, karena aksi pembalakan liar selama ini masih ada di sana. Pembalak liar selama ini mengalirkan kayu tebangan melalui Sungai Subayang yang merupakan satu-satunya akses transportasi di sana.
"Apalagi warga di sana sudah menyatakan banyaknya uang beredar dalam pembalakan liar dan ada unsur gratifikasi," katanya.
Pembalakan liar memang makin marak di Rimbang Baling dalam kurun lima tahun terakhir. Dani, Dubalang atau pengawal adat di Desa Tanjung Belit mengatakan, warga akhirnya ada yang ikut menebang hutan karena terhimpit faktor ekonomi.
Harga getah karet anjlok tidak naik-naik, hanya Rp5.000 per kilogram atau paling tinggi bisa capai Rp7.000 per kilogram saat hari bagus. Harga itu turun dari sebelumnya bisa mencapai Rp18.000-Rp20.000 per kilogram.
“Harga getah karet lebih murah daripada minyak bensin di sini Rp10 ribu seliter, dengan beras saja sudah setengah harga. Gara-gara harga karet turun itu yang membuat warga ikut menebang kayu untuk mencari penghidupan yang lebih baik,” kata Dani.
Menanggapi hal itu, Kepala BBKSDA Riau Suharyono mengatakan pembukaan jalur tersebut diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat jadi lebih baik seperti dari sektor pariwisata. Selain itu, jalur interpretasi juga bisa digunakan sebagai jalur evakuasi untuk warga ketika kondisi darurat. Sebabnya, banyak kasus kematian warga yang sakit dan kematian ibu dan anak saat melahirkan karena terlambat mendapat layanan kesehatan.
“Selain wisata, jalur interpretasi bisa digunakan untuk jalur evakuasi pada saat saudara kita butuh akses yang lebih cepat karena kalau lewat sungai saat air tinggi piyau (perahu) gak berani lewat dan kalau kemarau piyau gak bisa lewat karena sering kandas,” katanya.
Keterlibatan semua pihak
Suharyono mengatakan dalam pembangunan jalur interpretasi juga diharapkan agar warga desa terlibat untuk menjaga keamanan agar tidak disalahgunakan untuk pembalakan liar. Apalagi, kemampuan BBKSDA Riau menjaga kawasan itu terbatas karena jumlah polisi kehutanan sangat sedikit.
“Masyarakat yang akan jaga kemanan jalur interpretasi termasuk pelaksanaan pembuatannya akan melibatkan semua warga,” ujarnya.
Ia mengatakan Pemerintah Kabupaten Kampar dan warga desa juga antusias untuk membangun jalur interpretasi di Rimbang Baling. Beban biaya pembiayaan, lanjutnya, akan ditanggung dari dana desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kampar.
“Pemerintah Kabupaten Kampar dipastikan sudah ada anggaran APBD sampai 2021,” kata Suharyono mengenai pembiayaan jalur interpretasi.
Kepala Desa Tanjung Belit, Efri Desmi, menjelaskan panjang jalur interpretasi yang melalui Tanjung Belit akan sepanjang enam kilometer (KM). Anggarannya sebagian dari dana desa namun sebagian besar dibiayai lewat bantuan keuangan (Bankeu) Pemkab Kampar sampai 2021. Menurut dia total dana Bankeu yang dianggarkan untuk pembangunan jalur interpretasi tahun 2019 mencapai sekitar Rp6,6 miliar.
“Bankeu ditransfer langsung ke rekening desa, dan desa yang laksanakan pembangunannya,” kata Erfi Desmi.
Untuk tahun ini pembangunan jalur interpretasi dengan dana desa sepanjang 100 meter juga akan dilaksanakan. Lokasinya di dekat Sungai Batu Dinding. Anggaran yang dialokasikan sekitar Rp168 juta.
“Pembangunan di sana tiga kali lipat lebih mahal karena material harus diangkut ke atas bukit,” ujarnya sembari menambahkan pembangunan jalur interpretasi di Desa Tanjung Belit akan 100 persen melibatkan warga setempat.
Sementara itu, Bupati Kampar Catur Sugeng Susanto sempat mengatakan warga yang selama ini terisolir di RImbang Baling menderita karena rendahnya tingkat perekonomian, pendidikan, hingga akses kesehatan. Pemerintah Kabupaten Kampar melihat harapan masyarakat akan kebutuhan jalur interpretasi yang akan memberikan harapan baru bagi masyarakat di kawasan Rimbang Baling.
"Jalur interpretasi yang menjadi penghubung sembilan desa yang berada di kawasan inti Bukit Rimbang Baling semoga memberikan harapan baru bagi masyarakat di sana, dan ke depan pengembangan ekowisata alam terbatas di sana akan berdampak positif bagi ekonomi masyarakat tanpa merusak lingkungan," kata Catur.
Matahari bersinar terik pada medio Juni di Provinsi Riau, namun rimbunnya pohon di hutan Rimbang Baling bagaikan kanopi alami yang meneduhkan. Suara air mengalir, kicauan burung dan teriakan beruk adalah nyanyian alam yang alami. Tenang dan damai.
Dua orang pengawal adat atau Dubalang memimpin perjalanan tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menyusuri hutan Desa Tanjung Belit yang merupakan daerah penyangga sampai ke Desa Muara Bio yang masuk ke kawasan suaka margasatwa.
Salah seorang Dubalang bernama Dani, perawakannya kurus tapi enerjik. Meski hanya mengenakan sendal jepit ia tetap lincah mendaki bukit dan menyeberangi sungai kecil karena sudah hafal seluk beluk hutan itu. Tangannya juga terampil memainkan golok untuk menebas semak dan batang pohon yang melintang di tengah perjalanan.
Sebentar saja pandangan mata beralih, Dubalang sudah hilang seperti ditelan pepohonan. Tidak berselang lama suara mereka terdengar dari arah bukit. Sosok Dani muncul sambil menggenggam tanaman pasak bumi dan memberikannya ke seorang wartawan yang ikut dalam rombongan.
“Ini Pak, supaya kuat,” kata Dani yang membuat penerimanya senyum-senyum karena tahu maksud pembicaraan itu mengarah pada tanaman tradisional tersebut yang diyakini mampu meningkatkan libido pria.
Jalur interpretasi
Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Baling atau yang kerap disebut Rimbang Baling, memiliki luas 136 ribu hektare berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 1982, dan pada KLHK telah menetapkan kawasan itu sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) dengan luas sekitar 142 ribu hektare pada 2016. Topografi hutan yang berbukit dan sungai yang mengalir jernih selama ini menjadi habitat alami bagi flora dan fauna terancam punah, salah satunya adalah harimau sumatera.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Dalam pasal 17 peraturan itu disebutkan bahwa di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Pada pasal 19 juga tertulis bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Faktanya, penetapan kawasan konservasi itu sudah lama menjadi polemik, khususnya bagi masyarakat setempat. Sebabnya, pembangunan tidak bisa dilakukan sembarangan di Rimbang Baling meski ada desa-desa di sana sebelum suaka margasatwa ditetapkan.
Rimbang Baling sudah sejak lama menjadi tempat tinggal bagi warga Kampar Kiri Hulu yang secara adat masuk dalam Kekhalifahan atau Kerajaan Gunung Sahilan. Kerajaan tersebebut diperkirakan berdiri pada abad 16-17 Masehi yang masih garis keturunan dari Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat. Hingga kini masih ada Raja Gunung Sahilan yang diakui, yakni Tengku Muhammad Nizar, yang baru dinobatkan pada 2017.
Namun, hingga kini warga yang tinggal di Rimbang Baling masih terisolir. Mereka hanya bisa mengandalkan Sungai Subayang untuk jalur transportasi, yang sulit dilalui saat kemarau karena terlalu dangkal.
Sekitar 15 tahun yang lalu, Jefry Noer yang saat itu menjabat Bupati Kampar pernah nekad membuat jalan bagi warga di sana. Alat berat seperti buldozer dan eskavator dikerahkan membuka hutan Rimbang Baling, namun Kementerian Kehutanan dan BBKSDA Riau saat itu menolak proyek tersebut. Pembangunan jalan itu pun dihentikan, namun bentuk badan jalannya sudah terlihat meski sekarang sudah ditumbuhi rumput dan pohon.
Kini setelah lebih dari satu dasawarsa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhirnya menyetujui pembangunan infrastruktur jalan yang disebut jalur interpretasi di Rimbang Baling. Kepala BBKSDA Riau, Suharyono menjelaskan, jalur interpretasi akan dibangun sepanjang sekira 37 kilometer.
Jalur interpretasi akan melewati sembilan desa mulai dari Desa Tanjung Belit, Batu Songgan, Tanjung Beringin, Gajah Betalut, Aur Kuning, Terusan, Subayang Jaya dan Pangkalan Serai. Delapan desa setelah Tanjung Belit berada di dalam kawasan suaka margasatwa di daerah aliran Sungai Subayang.
“Kalau untuk jalan sampai sekarang kami tidak akan memberikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak akan memberikan jalan seperti pemikiran jalan yang terlihat beraspal lebar 3 atau 5 meter. Itu nggak mungkin untuk dibangun. Kenapa ini bisa disetujui, karena pemahamannya adalah jalur interpretasi untuk jalan kaki menikmati alam,” katanya.
Ia mengatakan jalur interpretasi mungkin belum terlalu familiar di Riau, namun di daerah lain sudah ada seperti di Taman Nasional Bali Barat dan Taman Wisata Buyan Tamblingan di Bali. Jalur interpretasi, lanjutnya, akan dibuat tidak seperti jalan raya. Jalur tersebut nanti bisa digunakan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut. Rutenya memang mengikuti jalan yang sudah dirintis 15 tahun lalu oleh Pemerintah Kabupaten Kampar, namun lebih ditingkatkan.
“Jalur lebarnya sekitar satu meter yang dipaving tak ada aspal dan beton. Tujuannya sebenarnya untuk jalan kaki, bukan untuk kendaraan bermotor. Kalaulah kendaraan bermotor lewat itu hanya untuk sepeda motor, bukan untuk kendaraan roda tiga, roda empat,” katanya.
Risiko disalahgunakan
Rencana pembangunan jalur interpretasi menimbulkan kekhawatiran bahwa infrastruktur itu akan disalahgunakan untuk aktivitas pembalakan liar di Rimbang Baling. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Fahmizal Usman, adalah salah satu yang menolaknya meski salah satu rencana pembangunan infrastruktur itu juga untuk pengembangan pariwisata.
"Jangan bikin jalan. Siapa yang bisa jamin di sana nanti tidak ada illog (illegal logging) kalau sudah ada jalan," kata Fahmizal Usman.
Ia mengatakan konsep pembangunan jalan untuk pengembangan pariwisata di Bukit Rimbang Baling perlu dipertimbangkan dengan serius, karena aksi pembalakan liar selama ini masih ada di sana. Pembalak liar selama ini mengalirkan kayu tebangan melalui Sungai Subayang yang merupakan satu-satunya akses transportasi di sana.
"Apalagi warga di sana sudah menyatakan banyaknya uang beredar dalam pembalakan liar dan ada unsur gratifikasi," katanya.
Pembalakan liar memang makin marak di Rimbang Baling dalam kurun lima tahun terakhir. Dani, Dubalang atau pengawal adat di Desa Tanjung Belit mengatakan, warga akhirnya ada yang ikut menebang hutan karena terhimpit faktor ekonomi.
Harga getah karet anjlok tidak naik-naik, hanya Rp5.000 per kilogram atau paling tinggi bisa capai Rp7.000 per kilogram saat hari bagus. Harga itu turun dari sebelumnya bisa mencapai Rp18.000-Rp20.000 per kilogram.
“Harga getah karet lebih murah daripada minyak bensin di sini Rp10 ribu seliter, dengan beras saja sudah setengah harga. Gara-gara harga karet turun itu yang membuat warga ikut menebang kayu untuk mencari penghidupan yang lebih baik,” kata Dani.
Menanggapi hal itu, Kepala BBKSDA Riau Suharyono mengatakan pembukaan jalur tersebut diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat jadi lebih baik seperti dari sektor pariwisata. Selain itu, jalur interpretasi juga bisa digunakan sebagai jalur evakuasi untuk warga ketika kondisi darurat. Sebabnya, banyak kasus kematian warga yang sakit dan kematian ibu dan anak saat melahirkan karena terlambat mendapat layanan kesehatan.
“Selain wisata, jalur interpretasi bisa digunakan untuk jalur evakuasi pada saat saudara kita butuh akses yang lebih cepat karena kalau lewat sungai saat air tinggi piyau (perahu) gak berani lewat dan kalau kemarau piyau gak bisa lewat karena sering kandas,” katanya.
Keterlibatan semua pihak
Suharyono mengatakan dalam pembangunan jalur interpretasi juga diharapkan agar warga desa terlibat untuk menjaga keamanan agar tidak disalahgunakan untuk pembalakan liar. Apalagi, kemampuan BBKSDA Riau menjaga kawasan itu terbatas karena jumlah polisi kehutanan sangat sedikit.
“Masyarakat yang akan jaga kemanan jalur interpretasi termasuk pelaksanaan pembuatannya akan melibatkan semua warga,” ujarnya.
Ia mengatakan Pemerintah Kabupaten Kampar dan warga desa juga antusias untuk membangun jalur interpretasi di Rimbang Baling. Beban biaya pembiayaan, lanjutnya, akan ditanggung dari dana desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kampar.
“Pemerintah Kabupaten Kampar dipastikan sudah ada anggaran APBD sampai 2021,” kata Suharyono mengenai pembiayaan jalur interpretasi.
Kepala Desa Tanjung Belit, Efri Desmi, menjelaskan panjang jalur interpretasi yang melalui Tanjung Belit akan sepanjang enam kilometer (KM). Anggarannya sebagian dari dana desa namun sebagian besar dibiayai lewat bantuan keuangan (Bankeu) Pemkab Kampar sampai 2021. Menurut dia total dana Bankeu yang dianggarkan untuk pembangunan jalur interpretasi tahun 2019 mencapai sekitar Rp6,6 miliar.
“Bankeu ditransfer langsung ke rekening desa, dan desa yang laksanakan pembangunannya,” kata Erfi Desmi.
Untuk tahun ini pembangunan jalur interpretasi dengan dana desa sepanjang 100 meter juga akan dilaksanakan. Lokasinya di dekat Sungai Batu Dinding. Anggaran yang dialokasikan sekitar Rp168 juta.
“Pembangunan di sana tiga kali lipat lebih mahal karena material harus diangkut ke atas bukit,” ujarnya sembari menambahkan pembangunan jalur interpretasi di Desa Tanjung Belit akan 100 persen melibatkan warga setempat.
Sementara itu, Bupati Kampar Catur Sugeng Susanto sempat mengatakan warga yang selama ini terisolir di RImbang Baling menderita karena rendahnya tingkat perekonomian, pendidikan, hingga akses kesehatan. Pemerintah Kabupaten Kampar melihat harapan masyarakat akan kebutuhan jalur interpretasi yang akan memberikan harapan baru bagi masyarakat di kawasan Rimbang Baling.
"Jalur interpretasi yang menjadi penghubung sembilan desa yang berada di kawasan inti Bukit Rimbang Baling semoga memberikan harapan baru bagi masyarakat di sana, dan ke depan pengembangan ekowisata alam terbatas di sana akan berdampak positif bagi ekonomi masyarakat tanpa merusak lingkungan," kata Catur.