Palembang (ANTARA) - Kediaman seorang seniman dan budayawan sepuh Kota Palembang Masayu Anna Kumari tengah ramai ibu-ibu paruh baya, mereka nampak khidmat mendengarkan syair-syair permohonan.
"Dengan bismillah awal pertame, kami sajikan budayo lamo, keselamatan tolak balak bala ini namonyo, memohon Rahmat pado Yang Kuaso," ucap Masayu Anna Kumari saat membacakan satu dari tiga bait syair permohonan ketika membuka tradisi tepung tawar tolak bala.
Ia melantunkan syair tersebut menggunakan nada mendayu khas cengkok melayu, dibacakannya dengan tarikan-tarikan nafas pendek karena usianya sudah 73 tahun.
Kendati telah berusia senja, namun Masayu Anna Kumari tetap bersemangat menggelar tradisi tepung tawar tolak bala sebagai salah satu tradisi di Kota Palembang yang kian langka bahkan terancam hilang.
"Tepung tawar tolak bala adalah satu dari tiga jenis tradisi tepung tawar yang biasa diadakan pada momen tertentu, tradisi ini sudah ada sejak zaman Palembang bahari (masa Kesultanan), 'jaman bingen' kami menyebutnya," kata Anna Kumari.
Menurutnya selain untuk tolak bala, tradisi tepung tawar biasa diadakan pada acara pernikahan dan perdamaian, ia sendiri mengadakan tepung tawar tolak bala karena sang anak yakni Farhan Segentar Alam sudah 10 kali lebih mengalami kecelakaan sejak kecil hingga dewasa.
"Saya dulu dari kecil sampai menikah juga sering sekali mengalami kecelakaan, mulai jatuh sampai ditabrak kendaraan, sehingga waktu itu saudara saya mengadakan tepung tawar tolak bala,"
Setelah itu ia mengaku tidak pernah lagi mengalami kecelakaan, sehingga ia mengadakan lagi tradisi tersebut dengan harapan sang anak bebas dari celaka.
"Ini hanya adat saja, Jika permohonan tetap kepada Allah," ujar Anna Kumari.
Meski namanya tradisi tepung tawar, namun dalam pelaksanaanya tidak melibatkan tepung, melainkan hanya sepiring besar ketan kunyit dan ayam panggang.
Anna menerangkan sejak zaman neneknya seratus tahun lalu tepung tawar di Kota Palembang sudah menggunakan ketan kunyit dan ayam, memang agak berbeda dari tradisi tepung tawar di daerah Melayu lain seperti Pekanbaru yang benar-benar menggunakan tepung.
Tradisi tepung tawar tolak bala diawali dari diskusi keluarga mengenai permasalahan tertentu, misalnya anggota keluarga yang sering mengalami kecelakaan, barulah diputuskan untuk mengadakan tepung tawar tolak bala.
Pada hari yang sudah ditentukan, ia sebagai pemohon tolak bala membuat dan membawakan kepada anaknya sepiring ketan kunyit panggang ayam, lalu ia menyuapkan ketan tersebut kepada anaknya dengan disaksikan anggota keluarga lain, tetapi tertutup dari para tetangga.
Prosesi ditutup dengan pembacaan doa-doa selamat agar sang anak tidak lagi tertimpa celaka, setelah itu keluarga harus bersedekah nasi gemuk (nasi uduk) kepada para tetangga, dan nasi gemuk tidak boleh digantikan dengan yang lain.
"Pilihannya ada dua, pertama membagikan nasi gemuk ke rumah-rumah tetangga atau kedua mengundang para tetangga ke rumah, kami pilih yang kedua," kata Anna.
Jika mengundang para tetangga ke rumah maka bentuk acaranya seperti pengajian, ada pembacaan kitab suci Al-quran, ceramah, yasinan dan doa, namun diantara runut tersebut terdapat pembacaan syair-syair permohonan keselamatan oleh pemilik hajat tolak bala.
"Inti syair doanya adalah mengharap kepada Allah agar ditolak segala bala, ditawarkan segala penyakit, dan dikabulkan semua permintaan. Kami sangat yakin kepada Allah sebagai sumber keselamatan," tutur Anna
Seni berdamai ala orang palembang
Dulu tradisi tepung tawar masih banyak digunakan masyarakat untuk acara pernikahan, tolak bala dan upaya perdamaian.
"Jika ada dua pihak berselisih paham atau ada pihak yang dicelakakan, maka pihak yang mencelakakan harus membawa ketan kunyit panggang ayam tadi kepada orang yang dicelakakannya, dengan demikian permasalahan kedua pihak langsung diselesaikan secara damai tanpa dendam lagi, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi yang melakukannya," jelas Anna.
Tradisi tepung tawar saat ini diakuinya lebih familiar dikenali lewat acara pernikahan yakni cacap-cacapan, namun ia tetap berharap tradisi tepung tawar perdamaian dan tolak bala juga dapat dihidupkan kembali demi menjaga warisan budaya, karena keduanya memuat kebaikan kultur sosial.
"Saya sebagai orang yang banyak mengetahui adat palembang tentu punya tanggung jawab mewariskan tradisi ini kepada anak cucu, apalagi saya sudah tua, berharap sekali tradisi tepung tawar ini tidak musnah," tambahnya.
"Dengan bismillah awal pertame, kami sajikan budayo lamo, keselamatan tolak balak bala ini namonyo, memohon Rahmat pado Yang Kuaso," ucap Masayu Anna Kumari saat membacakan satu dari tiga bait syair permohonan ketika membuka tradisi tepung tawar tolak bala.
Ia melantunkan syair tersebut menggunakan nada mendayu khas cengkok melayu, dibacakannya dengan tarikan-tarikan nafas pendek karena usianya sudah 73 tahun.
Kendati telah berusia senja, namun Masayu Anna Kumari tetap bersemangat menggelar tradisi tepung tawar tolak bala sebagai salah satu tradisi di Kota Palembang yang kian langka bahkan terancam hilang.
"Tepung tawar tolak bala adalah satu dari tiga jenis tradisi tepung tawar yang biasa diadakan pada momen tertentu, tradisi ini sudah ada sejak zaman Palembang bahari (masa Kesultanan), 'jaman bingen' kami menyebutnya," kata Anna Kumari.
Menurutnya selain untuk tolak bala, tradisi tepung tawar biasa diadakan pada acara pernikahan dan perdamaian, ia sendiri mengadakan tepung tawar tolak bala karena sang anak yakni Farhan Segentar Alam sudah 10 kali lebih mengalami kecelakaan sejak kecil hingga dewasa.
"Saya dulu dari kecil sampai menikah juga sering sekali mengalami kecelakaan, mulai jatuh sampai ditabrak kendaraan, sehingga waktu itu saudara saya mengadakan tepung tawar tolak bala,"
Setelah itu ia mengaku tidak pernah lagi mengalami kecelakaan, sehingga ia mengadakan lagi tradisi tersebut dengan harapan sang anak bebas dari celaka.
"Ini hanya adat saja, Jika permohonan tetap kepada Allah," ujar Anna Kumari.
Meski namanya tradisi tepung tawar, namun dalam pelaksanaanya tidak melibatkan tepung, melainkan hanya sepiring besar ketan kunyit dan ayam panggang.
Anna menerangkan sejak zaman neneknya seratus tahun lalu tepung tawar di Kota Palembang sudah menggunakan ketan kunyit dan ayam, memang agak berbeda dari tradisi tepung tawar di daerah Melayu lain seperti Pekanbaru yang benar-benar menggunakan tepung.
Tradisi tepung tawar tolak bala diawali dari diskusi keluarga mengenai permasalahan tertentu, misalnya anggota keluarga yang sering mengalami kecelakaan, barulah diputuskan untuk mengadakan tepung tawar tolak bala.
Pada hari yang sudah ditentukan, ia sebagai pemohon tolak bala membuat dan membawakan kepada anaknya sepiring ketan kunyit panggang ayam, lalu ia menyuapkan ketan tersebut kepada anaknya dengan disaksikan anggota keluarga lain, tetapi tertutup dari para tetangga.
Prosesi ditutup dengan pembacaan doa-doa selamat agar sang anak tidak lagi tertimpa celaka, setelah itu keluarga harus bersedekah nasi gemuk (nasi uduk) kepada para tetangga, dan nasi gemuk tidak boleh digantikan dengan yang lain.
"Pilihannya ada dua, pertama membagikan nasi gemuk ke rumah-rumah tetangga atau kedua mengundang para tetangga ke rumah, kami pilih yang kedua," kata Anna.
Jika mengundang para tetangga ke rumah maka bentuk acaranya seperti pengajian, ada pembacaan kitab suci Al-quran, ceramah, yasinan dan doa, namun diantara runut tersebut terdapat pembacaan syair-syair permohonan keselamatan oleh pemilik hajat tolak bala.
"Inti syair doanya adalah mengharap kepada Allah agar ditolak segala bala, ditawarkan segala penyakit, dan dikabulkan semua permintaan. Kami sangat yakin kepada Allah sebagai sumber keselamatan," tutur Anna
Seni berdamai ala orang palembang
Dulu tradisi tepung tawar masih banyak digunakan masyarakat untuk acara pernikahan, tolak bala dan upaya perdamaian.
"Jika ada dua pihak berselisih paham atau ada pihak yang dicelakakan, maka pihak yang mencelakakan harus membawa ketan kunyit panggang ayam tadi kepada orang yang dicelakakannya, dengan demikian permasalahan kedua pihak langsung diselesaikan secara damai tanpa dendam lagi, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi yang melakukannya," jelas Anna.
Tradisi tepung tawar saat ini diakuinya lebih familiar dikenali lewat acara pernikahan yakni cacap-cacapan, namun ia tetap berharap tradisi tepung tawar perdamaian dan tolak bala juga dapat dihidupkan kembali demi menjaga warisan budaya, karena keduanya memuat kebaikan kultur sosial.
"Saya sebagai orang yang banyak mengetahui adat palembang tentu punya tanggung jawab mewariskan tradisi ini kepada anak cucu, apalagi saya sudah tua, berharap sekali tradisi tepung tawar ini tidak musnah," tambahnya.