Jakarta (ANTARA) - Anggota Kelompok Kerja Kesehatan Reproduksi Pengurus Besar Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr Sarsanto W Sarwono mengatakan para praktisi kebidanan dan kandungan menunggu kepastian dari pemerintah untuk praktik aborsi aman.
"Peraturan perundang-undangan sudah mengakomodasi praktik aborsi aman bagi korban perkosaan dan kedaruratan medis. Dokter sudah bisa menolong, tetapi sosialisasi masih kurang," katanya dalam sebuah diskusi yang diadakan Yayasan Kesehatan Perempuan di Jakarta, Selasa.
Sarsanto mengatakan praktik aborsi untuk korban perkosaan diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, masih banyak masyarakat yang tahu tentang hal itu.
Anggota Kelompok Kerja Kesehatan Reproduksi Pengurus Besar Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr Sarsanto W Sarwono dalam diskusi tentang praktik aborsi bagi korban perkosaan yang diadakan Yayasan Kesehatan Perempuan di Jakarta, Selasa (16/4/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)
Ia menjelaskan aborsi aman bagi korban perkosaan dan kedaruratan medis diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
"Menurut Peraturan Menteri Kesehatan, yang boleh memberikan layanan aborsi aman adalah lembaga yang ditunjuk, memiliki sertifikasi dan layanan konseling, serta oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi," katanya.
Khusus untuk korban perkosaan, Sarsanto menilai kalangan kedokteran yang belum siap karena masih menunggu tindak lanjut dari pemerintah terkait peraturan yang sudah diterbitkan tersebut.
"Pemerintah saat ini terkesan lambat, meskipun sudah ada peraturan yang mengatur. Yang sudah dilakukan pemerintah baru menyusun kurikulum untuk pelatihan dan penyelenggaraan pelayanan aborsi, layanannya sendiri belum tersedia," katanya.
Padahal, katanya, PB POGI siap melakukan pelatihan bagi tenaga kesehatan yang akan melakukan praktik aborsi aman bekerja sama dengan ikatan sarjana psikologi yang akan memberikan konseling.
"Peraturan perundang-undangan sudah mengakomodasi praktik aborsi aman bagi korban perkosaan dan kedaruratan medis. Dokter sudah bisa menolong, tetapi sosialisasi masih kurang," katanya dalam sebuah diskusi yang diadakan Yayasan Kesehatan Perempuan di Jakarta, Selasa.
Sarsanto mengatakan praktik aborsi untuk korban perkosaan diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, masih banyak masyarakat yang tahu tentang hal itu.
Ia menjelaskan aborsi aman bagi korban perkosaan dan kedaruratan medis diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
"Menurut Peraturan Menteri Kesehatan, yang boleh memberikan layanan aborsi aman adalah lembaga yang ditunjuk, memiliki sertifikasi dan layanan konseling, serta oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi," katanya.
Khusus untuk korban perkosaan, Sarsanto menilai kalangan kedokteran yang belum siap karena masih menunggu tindak lanjut dari pemerintah terkait peraturan yang sudah diterbitkan tersebut.
"Pemerintah saat ini terkesan lambat, meskipun sudah ada peraturan yang mengatur. Yang sudah dilakukan pemerintah baru menyusun kurikulum untuk pelatihan dan penyelenggaraan pelayanan aborsi, layanannya sendiri belum tersedia," katanya.
Padahal, katanya, PB POGI siap melakukan pelatihan bagi tenaga kesehatan yang akan melakukan praktik aborsi aman bekerja sama dengan ikatan sarjana psikologi yang akan memberikan konseling.