Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Pengamat ekonomi Suroto menilai kedua calon presiden baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto tidak memiliki strategi kebijakan untuk mengatasi jebakan impor pangan.
"Strategi kebijakan jangka pendek untuk keluar dari jebakan importasi pangan tidak ada, sama sekali tidak disinggung," kata Suroto yang juga Ketua Lembaga Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, kedua capres cenderung hanya ingin membangun ketahanan pangan semata.
Keduanya, ia anggap tidak memiliki keinginan yang kuat untuk membangun kedaulatan pangan.
"Antagonisme harga baik buat petani dan konsumen, dimana petani butuh harga tinggi dan konsumen ingin harga murah itu, ya harus diselesaikan secara institusional," katanya.
Menurut dia, bila rantai pasar sudah dihentikan dengan cara apapun namun struktur pasar tidak dirombak, maka tidak akan mengubah keadaan.
"Ini artinya tidak ada komitmen untuk membangun kedaulatan pangan," katanya.
Ongkos "input" dan "output" petani di Indonesia, kata dia, semakin berat dari waktu ke waktu.
"Ketika panen beras mereka paling pertama beli beras pertama dan habis panen mau tanam sudah utang lagi," katanya.
Suroto mengamati di manapun pertanian budi daya atau "on farm" memiliki kecenderungan margin atau keuntungan yang rendah dan rentan terhadap perubahan cuaca.
Maka, ketika semakin digenjot produksinya juga akan menciptakan penurunan harga ketika produksi melimpah.
"Dilema harga ini tidak akan bisa ditanggulangi, kalau tidak ada organisasi petani dan pembudi daya yang kuat dan mampu mengintegrasikan sektor 'on farm' dan 'off farm'," katanya.
Suroto juga menyayangkan ketika kedua capres juga tidak menyinggung persoalan industrialisasi sektor primer pangan.
"Padahal, untuk memotong persoalan importasi pangan barang jadi itu kan di soal ini. Pertanian rumah tangga dan juga industri rumah tangga kan intinya di sini," katanya.
"Strategi kebijakan jangka pendek untuk keluar dari jebakan importasi pangan tidak ada, sama sekali tidak disinggung," kata Suroto yang juga Ketua Lembaga Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, kedua capres cenderung hanya ingin membangun ketahanan pangan semata.
Keduanya, ia anggap tidak memiliki keinginan yang kuat untuk membangun kedaulatan pangan.
"Antagonisme harga baik buat petani dan konsumen, dimana petani butuh harga tinggi dan konsumen ingin harga murah itu, ya harus diselesaikan secara institusional," katanya.
Menurut dia, bila rantai pasar sudah dihentikan dengan cara apapun namun struktur pasar tidak dirombak, maka tidak akan mengubah keadaan.
"Ini artinya tidak ada komitmen untuk membangun kedaulatan pangan," katanya.
Ongkos "input" dan "output" petani di Indonesia, kata dia, semakin berat dari waktu ke waktu.
"Ketika panen beras mereka paling pertama beli beras pertama dan habis panen mau tanam sudah utang lagi," katanya.
Suroto mengamati di manapun pertanian budi daya atau "on farm" memiliki kecenderungan margin atau keuntungan yang rendah dan rentan terhadap perubahan cuaca.
Maka, ketika semakin digenjot produksinya juga akan menciptakan penurunan harga ketika produksi melimpah.
"Dilema harga ini tidak akan bisa ditanggulangi, kalau tidak ada organisasi petani dan pembudi daya yang kuat dan mampu mengintegrasikan sektor 'on farm' dan 'off farm'," katanya.
Suroto juga menyayangkan ketika kedua capres juga tidak menyinggung persoalan industrialisasi sektor primer pangan.
"Padahal, untuk memotong persoalan importasi pangan barang jadi itu kan di soal ini. Pertanian rumah tangga dan juga industri rumah tangga kan intinya di sini," katanya.