Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Muhammadiyah pasca-Sidang Tanwir di Bengkulu, Februari ini menegaskan menjaga diri dari politik praktis yang merupakan wilayah kerja partai politik.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan pihaknya memilih mengambil jarak dari pergulatan politik kekuasaan.
Menurut dia, jika organisasi dakwah berhimpitan dengan partai politik dan kekuatan politik yang terjadi adalah politisasi ormas dan agama.
Menurut dia, Muhammadiyah mengubah pergerakan dari mengambil jarak pasif dengan parpol sementara sekarang cenderung proaktif berkomunikasi dengan partai-partai politik.
Kendati begitu, menurut Haedar, jarak dengan partai tetap dijaga agar tidak abu-abu bahwa ormas Muhammadiyah masuk politik praktis.
Politik, lanjut dia, adalah baik selama mengikutsertakan nilai-nilai moral dan etika.
Politisi yang baik tentunya belajar bahwa politik bukan tentang upaya meraih kekuasaan semata, tetapi juga soal kebajikan untuk orang banyak dan bertata krama.
"Kalau kami sering berkomunikasi dengan tokoh-tokoh politik akan ada negosiasi nilai," kata dia.
Haedar mengatakan politik adalah urusan muamalah atau hubungan sesama manusia. Bahkan Muhammadiyah berpandangan poilitik sebagai muamalah yang baik sebagaimana urusan ibadah, akidah dan akhlak.
"Memperjuangkan kekuasaan, menduduki pemerintahan dan setelah itu bagaimana negara diurus. Ini nilai luhur," katanya.
Ketum Muhammadiyah mengatakan politik tidak boleh dibiarkan lepas kendali karena berpotensi menumbuhsuburkan paham Machiavellisme yaitu menghalalkan segala cara.
"Maka Muhammadiyah perlu menghadirkan nilai-nilai agama yang mencerahkan yang berkaitan dengan politik," kata Haedar.
Haedar mengatakan dakwah memang tidak bisa dilepaskan dari politik. Bagi Islam, politik itu bagian dari dakwah.
Dia mengatakan ada dakwah dan politik kebangsaan yang bersifat umum, misalnya suara moral dan pelurusan kiblat bangsa.
"Kami ingin mengajak semakin banyak orang yang teguh dengan posisinya di lahan dakwah dan Muhammadiyah harus memberi contoh," kata dia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan pihaknya memilih mengambil jarak dari pergulatan politik kekuasaan.
Menurut dia, jika organisasi dakwah berhimpitan dengan partai politik dan kekuatan politik yang terjadi adalah politisasi ormas dan agama.
Menurut dia, Muhammadiyah mengubah pergerakan dari mengambil jarak pasif dengan parpol sementara sekarang cenderung proaktif berkomunikasi dengan partai-partai politik.
Kendati begitu, menurut Haedar, jarak dengan partai tetap dijaga agar tidak abu-abu bahwa ormas Muhammadiyah masuk politik praktis.
Politik, lanjut dia, adalah baik selama mengikutsertakan nilai-nilai moral dan etika.
Politisi yang baik tentunya belajar bahwa politik bukan tentang upaya meraih kekuasaan semata, tetapi juga soal kebajikan untuk orang banyak dan bertata krama.
"Kalau kami sering berkomunikasi dengan tokoh-tokoh politik akan ada negosiasi nilai," kata dia.
Haedar mengatakan politik adalah urusan muamalah atau hubungan sesama manusia. Bahkan Muhammadiyah berpandangan poilitik sebagai muamalah yang baik sebagaimana urusan ibadah, akidah dan akhlak.
"Memperjuangkan kekuasaan, menduduki pemerintahan dan setelah itu bagaimana negara diurus. Ini nilai luhur," katanya.
Ketum Muhammadiyah mengatakan politik tidak boleh dibiarkan lepas kendali karena berpotensi menumbuhsuburkan paham Machiavellisme yaitu menghalalkan segala cara.
"Maka Muhammadiyah perlu menghadirkan nilai-nilai agama yang mencerahkan yang berkaitan dengan politik," kata Haedar.
Haedar mengatakan dakwah memang tidak bisa dilepaskan dari politik. Bagi Islam, politik itu bagian dari dakwah.
Dia mengatakan ada dakwah dan politik kebangsaan yang bersifat umum, misalnya suara moral dan pelurusan kiblat bangsa.
"Kami ingin mengajak semakin banyak orang yang teguh dengan posisinya di lahan dakwah dan Muhammadiyah harus memberi contoh," kata dia.