Palembang (ANTARA News Sumsel) - Beragam jenis patung  nampak memenuhi ruang berukuran 8 x 8 meter persegi milik Sanggar Sastra Mataya, salah satu pusat kerajinan patung di Kabupaten Banyuasin.

Meskipun berada di Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin, namun hasil-hasil ukiran patung Sanggar Sastra Mataya milik Sigit lebih familiar di Palembang, jaraknya sendiri kira-kira 20 Kilometer dari pusat Kota.

"Saya dari Yogyakarta ke Palembang sekitar enam tahun lalu, karena istri saya mengajar kelas sendra tasik di sebuah kampus, dan memang awalnya ini full sanggar seni, tapi karena saya berprofesi sebagai perupa patung, jadi saya coba juga membuat patung," kata Sigit saat Antara News Sumsel berkunjung ke sanggarnya, Sabtu (8/12).

Niat tersebut semakin mulus saat rekannya sesama perupa yakni Rudi menyutujui ajakan Sigit untuk mendirikan kerajinan patung, dan tidak hanya patung, hampir semua jenis kerajinan mereka buat, seperti topeng, dompet dari limbah kain, lukisan, serta fiber kayu bekas.

Menurutnya di Kota Palembang dan sekitarnya masih sangat jarang pengrajin patung, hal tersebut membuka peluang ekonomi baginya, hasilnyapun tidak sia-sia, sampai saat ini sanggar Sastra Mataya tak pernah sepi permintaan.

Sigit di bantu istri dan 5 orang rekannya membuat ukir patung berbahan tanah liat, kayu dan sterofom berbagai karakter seperti dewa-dewa, hewan, hingga sosok kepercayaan tertentu,  kebanyakan sanggarnya membuat patung-patung untuk keperluan gereja, pernikahan dan souvenir.

 "Kami memang dari Yogyakarta, tapi begitu tiba di sini kami coba fokus ke bentuk-bentuk khas lokal, misalnya rumah rakit, kapal dan lain-lain, karena untuk souvenir atau kerajinan patung khas Kota Palembang masih jarang," ujar Sigit.

Keputusannya pindah ke Sumsel ternyata membawa efek tersendiri, Sigit berhasil menciptakan patung berbahan kayu gelam, ia mengklaim jika di Indonesia belum ada perupa berhasil membuat patung dari kayu gelam yang terkenal kurang tahan lama tersebut.

"Kayu gelam itukan seperti tidak ada kualitas, karena memang bawaanya kurang awet alias mudah retak, rapuh dan sebagainya, tapi akhirnya kami coba eksperimen ternyata bisa, patung-patung buatan saya yang dibuat dari kayu gelam mampu bertahan lama sampai bertahun-tahun," ujar Sigit.

Cara agar kayu bertahan lama kata Sigit, potongan kayu harus di rebus beberapa jam sampai berwarna kehitaman, proses tersebut untuk menghilangkan getah-getah di serat kayu, dengan demikian kerekatan kayu semakin padat sehingga hasilnya tidak mudah retak.

Namun Sigit masih memproduksi serta menjual patung berbahan kayu gelam tersebut secara terbatas, ia berusaha memaksimalkan eksperimennya agar bisa menghasilkan patung-patung tahan lama berkualitas tinggi, sebab Sigit melihat sumber daya kayu gelam di sekitar tempatnya melimpah dan harganya murah, tidak seperti kayu-kayu patung lainnya.

"Saya belajar mengawetkan kayu waktu masih di Jepara dulu, kebetulan pas sampai di sini ketemu kayu gelam, akhirnya kami coba eksperimen ternyata berhasil, dan juga Sumsel ini punya kekayaan alam begitu melimpah, salah satunya kayu gelam banyak di mana-mana, maka kami berupaya memaksimalkanya jadi kerajinan," ungkap Sigit yang merupakan lulusan ISI Yogyakarta.

Selain kayu gelam, Sigit juga membuat patung-patung dari kayu pule, sterofom, semen, resin dan tanah liat, ukuran patungnya bervariasi dari terkecil 5 centimeter sampai 1,5 meter tergantung permintaan, bahkan sanggarnya pernah membuat patung berukuran sampai 3 meter

Harganya juga berdasarkan ukuran, lamanya proses dan tingkat kesulitannya, kisarannya dari Rp1000 untuk gantungan kunci sampai Rp 15 jutaan yang berukuran 1,5 meter, selain di pasarkan di Kota Palembang, hasil kerajinan patung Sastra Matya banyak diminati dari luar daerah seperti Medan, Batam, Jakarta, Yogyakarta, dan Manado via penjualan online.

Sigitpun mengakui sebenarnya cukup sulit memasarkan patung-patung di Kota Palembang dan sekitarnya, karena diakui patung masih dianggap tabuh sebagian masyarakatnya, itulah yang membuat pengrajin patung harus kuat di Sumsel, namun demikian baginya berkarya lewat ukiran patung jauh lebih penting dibanding faktor ekonomi.

"Tidak perduli patung kami di beli atau tidak, bagi kami tuntutan berkarya jauh lebih penting, karena kalau tidak berkarya maka keahlian bisa menumpul, ya tapi untungnya cukuplah pendapatan sampai sekarang," jelas Sigit yang sudah berkecimpung di dunia ukir patung sejak tahun 1990. 

Ia pun berharap kerajinan seni ukir patung bisa berkembang di Sumsel khususnya Kota Palembang, ia sendiri tidak sungkan dan menerima dengan terbuka  bagi siapapun yang mau belajar membuat patung di sanggarnya Sastra Mataya.

Pewarta : Aziz Munajar
Editor : Erwin Matondang
Copyright © ANTARA 2024