Yogyakarta (ANTARA News Sumsel) - Pemasaran produk menjadi tantangan terberat bagi "startup" pembuat gim di Indonesia, karena belum mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri yang mengincar pasar Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Pendiri sekaligus Kepala Keuangan dan Pemasaran (CFO) NED Studio Debora Pakpahan serta Pendiri dan Seniman gim Noobzilla, Estu Pratiwi, dalam diskusi dan berbagi pengalaman "Game sebagai Tools Media Pemasaran Produk" di selasar Pasar Rakyat Nusantara, Yogyakarta, Sabtu (16/9).
"Potensi gim di Indonesia sangat besar, baik untuk promosi, simulai maupun edukasi. Tetapi tantangannya juga besar karena persaingan 'marketing' dengan gim luar negeri, misalnya Mobile Legend, yang sudah 'all out,' sementara kami masih harus pikir gaji untuk diri sendiri, apalagi karyawan," kata Debora.
Menurut Debora, NED Studio juga memutuskan untuk memindahkan basis operasionalnya dari Medan, Sumatera Utara ke Yogyakarta untuk mencari peluang yang lebih menguntungkan bagi perusahaan mula.
"Kalau ingin berkembang lebih bagus memang pilihannya harus ke Pulau Jawa, tapi dalam tahapanini Jakarta tidak bisa jadi pilihan karena biayanya terlalu tinggi bagi kami, beruntung kami terpilih sebagai peserta inkubasi Indigo dan bisa pindah ke Jogja," kata dia.
Bagi Debora, kesulitan dalam pemasaran tidak boleh menjadi alasan untuk berhenti berkreasi membuat gim, yang merupakan cita-citanya dan pendiri NED Studio yang lain, karena selalu ada jalan untuk tetap bertahan.
NED Studio juga mengalami saat-saat sulit ketika gim mereka tidak bisa dijual dan tidak ada uang untuk biaya operasional, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menerima pesanan pembuatan iklan, promosi, hingga laman suatu perusahaan, untuk bertahan.
"Kalau 'passion'-nya di gim harus lanjutkan, tapi juga harus ingat untuk monetisasi semuanya dan yang penting usahakan yang terbaik dan beradaptasi dengan keadaan yang ada," kata dia.
Senada dengan yang disampaikan Debora, Estu dari Noobzilla juga berulangkali mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya.
"Sampai sekarang juga masih sulit, tapi seperti yang juga disampaikan Debora tadi, selalu ada jalan," kata dia.
Estu yang sebelumnya merupakan karyawan suatu perusahaan gim dari luar negeri itu mengatakan kesulitan pemasaran dapat diakali, salah satunya, dengan memanfaatkan "platform" besar yang kini juga menyediakan kanal untuk gim buatan "startup", antara lain Facebook dan Line, di samping menjual aplikasi gim ke sistem telepon pintar, seperti AppStore atau Google PlayStore.
"Sekarang ada empat gim kami yang sudah masuk di Facebook, dan beberapa yang bisa dibeli di iPhone dan android, meskipun yang kedua itu lebih lama kejualnya," kata dia.
Seniman gim itu menambahkan, para pegiat "startup" gim juga dapat memanfaatkan program-program pemerintah untuk pengembangan "startup," seperti yang pernah diikuti Noobzilla pada 2016.
Saat itu Noobzilla mendapatkan dana pengembagan dari program insentif pemerintah yang diberikan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Untuk meminimalisasi biaya operasional, Estu mengatakan Noobzilla hanya memiliki dua pimpinan yaitu CEO yang merangkap kepala teknologi informasi (CTO) dan dirinya yang menjadi CFO sekaligus seniman gim.
Mengakhiri sesi tersebut, Debora dan Estu kembali menyemangati para puluhan peserta diskusi yang hampir semuanya anak muda pegiat dunia "startup" berbasis di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, untuk pantang menyerah dalam meneruskan cita-cita sebagai pembuat gim karena selalu ada cara untuk bertahan.
Diskusi tersebut menjadi salah satu dari tiga seri acara di samping Sidang Umum Dewan Perempuan Internasional (ICW) ke-35 di Yogyakarta, 13-18 September 2018, yang menyasar generasi milenial pegiat "startup" untuk terlibat aktif dalam perekonomian nasional.
Ketiga seri diskusi anak muda itu didukung penuhMasyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), Telkom Indonesia, dan Perum Kantor Berita Antara, dua BUMN yang mendukung penyelenggaraan Sidang Umum ICW ke-35 dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Pendiri sekaligus Kepala Keuangan dan Pemasaran (CFO) NED Studio Debora Pakpahan serta Pendiri dan Seniman gim Noobzilla, Estu Pratiwi, dalam diskusi dan berbagi pengalaman "Game sebagai Tools Media Pemasaran Produk" di selasar Pasar Rakyat Nusantara, Yogyakarta, Sabtu (16/9).
"Potensi gim di Indonesia sangat besar, baik untuk promosi, simulai maupun edukasi. Tetapi tantangannya juga besar karena persaingan 'marketing' dengan gim luar negeri, misalnya Mobile Legend, yang sudah 'all out,' sementara kami masih harus pikir gaji untuk diri sendiri, apalagi karyawan," kata Debora.
Menurut Debora, NED Studio juga memutuskan untuk memindahkan basis operasionalnya dari Medan, Sumatera Utara ke Yogyakarta untuk mencari peluang yang lebih menguntungkan bagi perusahaan mula.
"Kalau ingin berkembang lebih bagus memang pilihannya harus ke Pulau Jawa, tapi dalam tahapanini Jakarta tidak bisa jadi pilihan karena biayanya terlalu tinggi bagi kami, beruntung kami terpilih sebagai peserta inkubasi Indigo dan bisa pindah ke Jogja," kata dia.
Bagi Debora, kesulitan dalam pemasaran tidak boleh menjadi alasan untuk berhenti berkreasi membuat gim, yang merupakan cita-citanya dan pendiri NED Studio yang lain, karena selalu ada jalan untuk tetap bertahan.
NED Studio juga mengalami saat-saat sulit ketika gim mereka tidak bisa dijual dan tidak ada uang untuk biaya operasional, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menerima pesanan pembuatan iklan, promosi, hingga laman suatu perusahaan, untuk bertahan.
"Kalau 'passion'-nya di gim harus lanjutkan, tapi juga harus ingat untuk monetisasi semuanya dan yang penting usahakan yang terbaik dan beradaptasi dengan keadaan yang ada," kata dia.
Senada dengan yang disampaikan Debora, Estu dari Noobzilla juga berulangkali mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya.
"Sampai sekarang juga masih sulit, tapi seperti yang juga disampaikan Debora tadi, selalu ada jalan," kata dia.
Estu yang sebelumnya merupakan karyawan suatu perusahaan gim dari luar negeri itu mengatakan kesulitan pemasaran dapat diakali, salah satunya, dengan memanfaatkan "platform" besar yang kini juga menyediakan kanal untuk gim buatan "startup", antara lain Facebook dan Line, di samping menjual aplikasi gim ke sistem telepon pintar, seperti AppStore atau Google PlayStore.
"Sekarang ada empat gim kami yang sudah masuk di Facebook, dan beberapa yang bisa dibeli di iPhone dan android, meskipun yang kedua itu lebih lama kejualnya," kata dia.
Seniman gim itu menambahkan, para pegiat "startup" gim juga dapat memanfaatkan program-program pemerintah untuk pengembangan "startup," seperti yang pernah diikuti Noobzilla pada 2016.
Saat itu Noobzilla mendapatkan dana pengembagan dari program insentif pemerintah yang diberikan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Untuk meminimalisasi biaya operasional, Estu mengatakan Noobzilla hanya memiliki dua pimpinan yaitu CEO yang merangkap kepala teknologi informasi (CTO) dan dirinya yang menjadi CFO sekaligus seniman gim.
Mengakhiri sesi tersebut, Debora dan Estu kembali menyemangati para puluhan peserta diskusi yang hampir semuanya anak muda pegiat dunia "startup" berbasis di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, untuk pantang menyerah dalam meneruskan cita-cita sebagai pembuat gim karena selalu ada cara untuk bertahan.
Diskusi tersebut menjadi salah satu dari tiga seri acara di samping Sidang Umum Dewan Perempuan Internasional (ICW) ke-35 di Yogyakarta, 13-18 September 2018, yang menyasar generasi milenial pegiat "startup" untuk terlibat aktif dalam perekonomian nasional.
Ketiga seri diskusi anak muda itu didukung penuhMasyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), Telkom Indonesia, dan Perum Kantor Berita Antara, dua BUMN yang mendukung penyelenggaraan Sidang Umum ICW ke-35 dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia.