Mataram (ANTARA News Sumsel) - Tanah kuburan 20 korban meninggal dunia akibat gempa bumi berkekuatan 6,4 pada Skala Richter (SR) sepekan lalu belum lagi kering.

Guncangan dahsyat dengan magnitudo 7 SR kembali memorak-porandakan "Pulau Seribu Masjid" (julukan Pulau Lombok), Nusa Tenggara Barat. Gempa bumi terjadi pada Minggu (5/8) pukul 19.46 WITA.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebutkan pusat gempa terletak pada 8,37 lintang selatan, 116,48 bujur timur pada lereng utara - timur laut Gunung Rinjani dengan kedalaman 15 kilometer. Gempa tersebut sempat dinyatakan berpotensi tsunami.

Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB pada Senin (6/8), pukul 11.00 WITA, jumlah korban meninggal dunia sebanyak 98 orang. Sebagian besar warga Kabupaten Lombok Utara, sisanya di Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Kota Mataram.

Sementara jumlah korban luka-luka mencapai lebih dari 200 orang. Mereka yang terluka ada yang dirawat di puskesmas-puskesmas dan rumah sakit milik Pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah kabupaten/kota di Pulau Lombok.

Hampir seluruh korban luka dan meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan. Rata-rata mengalami luka berat di bagian kepala.

Jumlah korban jiwa diperkirakan akan terus bertambah. Pasalnya, masih ada warga yang belum bisa dievakuasi dari reruntuhan bangunan secara manual dan harus menggunakan alat berat. Warga panik ketika terjadi gempa berkekuatan 7 pada skala richter (SR) di Kecamatan Ampenan, Mataram, NTB, Minggu (5/8/2018) (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
Selain jatuhnya korban jiwa, gempa bumi yang terjadi ketika umat Muslim tengah melaksanakan shalat Isya tersebut juga merobohkan rumah warga dan tempat ibadah.

Wilayah terparah akibat bumi berguncang adalah Kabupaten Lombok Utara. Berbeda dengan gempa bumi sepekan lalu, wilayah dengan kerusakan terparah di Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. Nyawa yang melayang dan parahnya tingkat kerusakan akibat gempa susulan dengan skala yang lebih besar tersebut tak disangka-sangka. Jutaan warga Pulau Lombok sebelumnya masih waspada dengan seringnya terjadi gempa susulan dengan magnitudo 3-5 SR, pascagempa utama berkekuatan 6,4 SR pada 29 Juli 2018.

Guncangan gempa lebih besar akibat aktivitas Sesar Naik Flores (Flores Back Ars Thrust) tersebut diikuti dengan potensi terjadinya air laut ke daratan. Padahal, gempa besar yang terjadi sepekan lalu tidak ada peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG karena lokasi gempa di daratan. Namun, otoritas menyatakan peringatan dini tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi telah berakhir pada Minggu (5/8), pukul 21.25 WITA.

Suasana mencekam Beberapa menit setelah gempa terjadi dengan kekuatan 7 SR, warga Kota Mataram yang merasakan guncangan relatif keras ramai-ramai berkumpul di jalanan. Ada yang hanya mengenakan pakaian apa adanya hanta bercelana kolor tanpa baju sambil menggendong anaknya. Bahkan ada perempuan yang hanya menutup tubuhnya dengan handuk karena tidak sempat memakai baju ketika panik.

Pekik "Allahuakbar" dikumandangkan oleh sejumlah warga yang masih merasakan getaran gempa di jalanan. Anak-anak menangis dalam gendongan ibunya. Ada juga perempuan dewasa pingsan karena panik. Bahkan, teriak perempuan mencari ayahnya mewarnai malam gempa yang begitu mencekam.

Suasana panik warga semakin kuat ketika tiba-tiba listrik padam. Hampir semua warga tak ada yang sempat membawa senter dan telepon genggam untuk berkomunikasi dan sekedar menerangi jalanan.

Riuh suara ada tsunami membuat suasana semakin panik. Isu naiknya air laut diikuti dengan eksodus warga dari arah pesisir Ampenan menuju timur makin membuat suasana Kota Mataram, ibu kota Provinsi NTB semakin gaduh . Beberapa orang mencoba menenangkan warga lainnya bahwa belum ada informasi resmi akan ada tsunami. Namun seolah sia-sia. Sebagian warga masih panik dan bingung harus lari dan berlindung ke mana agar nyawa terselamatkan dari isu bencana air laut.

Roni, salah seorang warga Kelurahan Kebon Sari, Kota Mataram, nekat masuk ke dalam rumahnya mengambil kunci motor dan perlengkapan lain untuk mengungsi. Dengan cepat, ia keluar dari dalam rumah dan langsung menghidupkan sepeda motornya. Isteri dan anaknya yang masih berusia dua tahun diangkut tanpa tujuan yang pasti. Yang penting adalah mencoba lari dari kemungkinan ditenggelamkan air laut yang naik ke daratan.

Suasana mencekam juga terjadi di sebagian besar wilayah Kabupaten Lombok Utara. Daerah otonom termuda di NTB ini, merupakan yang paling parah terkena dampak gempa karena dekat dengan lereng Gunung Rinjani atau pusat gempa.

Warga yang tinggal di dataran rendah berduyun-duyun mengungsi ke perbukitan. Tak peduli harta benda, selamatkan nyawa lebih utama.

Hanya pakaian, selimut dan tikar seadanya yang dibawa. Tak ada bekal banyak yang bisa dibawa karena tak tahu gempa dahsyat akan menimpa. Ada yang melangkahkan kaki menuju pegunungan diiringi tangis karena rumah roboh rata dengan tanah. Ada juga yang berdarah-darah karena tertimpa reruntuhan bangunan.

Menangis karena ada yang kehilangan harta benda saat berada di pengungsian. Salah satunya, Sri Kartini, warga Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, yang hingga Senin sore, masih berada di pegunungan tanpa tenda terpasang.

Mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Mataram ini menunggu bantuan bahan makanan dan tenda serta tenaga kesehatan dari pemerintah agar bisa sedikit tenang menjalani hidup di pengungsian sementara.

Korban berjatuhan Suasana mencekam juga terjadi di Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur. Puluhan warga berkumpul di tanah lapang. Ada yang berdarah-darah karena terluka di bagian kepala, kaki dan tangan.

Beberapa anak juga tampak tergeletak tak sadarkan diri. Kepalanya dibalut perban warna putih karena terluka tertimpa reruntuhan bangunan.

Bagi warga yang berada di tanah lapang tersebut, diberikan keselamatan oleh Allah SWT adalah hal yang paling disyukuri, meskipun mengalami luka-luka.

Beberapa korban yang dibawa oleh keluarganya dalam kondisi luka berat. Bahkan ada yang kakinya hancur setelah tertimpa reruntuhan bangunan.

Rintihan kesakitan anak-anak, perempuan dan laki-laki dewasa, serta warga lanjut usia karena mengalami luka robek cukup serius di bagian kepala. Noda darah juga menutupi warna putih baju dalam Khairul, yang tampak muntah-muntah di jalan raya depan Rumah Sakit Angkatan Darat Mataram. Pria asal Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat ini tak kuasa menahan tangis melihat tubuh Muhammad Khudori (14), terbujur kaku di atas mobil ambulans yang terparkir dihadapannya.

Anak pertamanya meregang nyawa setelah kepalanya terluka parah tertimpa reruntuhan bangunan saat gempa terjadi. Sempat dilarikan ke rumah sakit, namun meninggal dunia dalam perjalanan.

Khairul mencoba tetap tegar menerima takdir sang Maha Pencipta. Terlebih ada isteri dan anak keduanya yang masih menanti kepulangan di pengungsian karena tempat tinggalnya rusak parah.
 

Pewarta : Awaludin
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024