Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak serta-merta membuat para konsumen di Indonesia menjadi terlindungi dari oknum pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Berbagai masalah atau temuan kasus terus muncul terkait perlindungan konsumen. Angkanya pun meningkat. Berdasarkan data dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), pelaporan atau pengaduan masyarakat kepada lembaga yang bertanggung jawab langsung terhadap Presiden itu bahkan melonjak hampir 10 kali lipat.
Berdasar catatan, pada 2015 total aduan yang masuk ke BPKN hanya sebanyak 28 aduan, naik menjadi 46 aduan pada 2016, dan menjadi 106 pada 2017. Data itu meningkat menjadi 241 aduan pada periode Januari-Juni 2018.
Laporan demi laporan oleh masyarakat tersebut menandakan semakin pahamnya konsumen Indonesia atas hak-hak yang harus diterima dalam bertransaksi.
Dari total 241 aduan pada Semester I 2018, didominasi laporan tentang perumahan atau apartemen yang mencapai 85,89 persen dari total aduan yang ada.
Ada sebanyak 108 kasus yang masuk klasifikasi pengaduan konsumen perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR), sementara sebanyak 99 kasus masuk klasifikasi pengaduan konsumen perumahan melalui developer.
Masalah yang paling banyak disampaikan oleh konsumen perumahan adalah, hak berupa sertifikat tidak diberikan atau statusnya tidak jelas, yang kurang lebih mencapai 80 persen dari total aduan oleh konsumen perumahan.
Masalah lain, masih dalam pengaduan konsumen perumahan, soal penetapan iuran pemeliharaan lingkungan secara sepihak, pembatalan pemesanan unit, status kepemilikan tidak jelas, jadwal serah terima terlambat, perubahan rencana tapak, dan pengenaan biaya di luar perjanjian.
Sementara kasus lain yang dilaporkan ke BPKN antara lain adalah soal pembiayaan konsumen, transportasi, perbankan, e-dagang, jasa pendidikan, barang elektronik, jasa ekspedisi, kendaraan bermotor, biro perjalanan atau travel, produk fesyen, jasa hiburan, dan listrik.
"Kami bisa memediasi antara pelaku usaha dan konsumen, hingga akhirnya konsumen mendapatkan haknya," kata Wakil Ketua BPKN Rolas Budiman Sitinjak.
Mediasi dalam sengketa antara konsumen dan pelaku usaha memang sudah biasa dilakukan. Namun, yang menjadi pekerjaan rumah adalah, saat kedua pihak tidak bersepakat atau tidak mencapai titik temu dalam menyelesaikan persoalan.
Dalam penjabaran tugas dan fungsi badan yang berdiri sejak 2004 tersebut seolah hanya sebatas pemberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. BPKN memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
Sudah seharusnya dalam UU Perlindungan Konsumen berisi acuan dalam memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar. Pelanggaran-pelanggaran tersebut, bahkan seharusnya sampai pada level pelanggaran kecil, namun merugikan konsumen.
Sebagai salah satu contoh kasus, pada 2013, supermarket di Birmingham, Inggris, Tesco, dikenai denda 300.000 pounds atau setara Rp5 miliar gara-gara dianggap menyesatkan konsumen.
Putusan tersebut dikeluarkan Dewan Kota Birmingham setelah seorang konsumen mengeluhkan promosi penjualan buah stroberi.
Kasus tersebut bermula dari seorang konsumen yang mengajukan keluhan dan meminta badan regulasi perdagangan melakukan investigasi terkait harga buah stroberi. Di supermarket tersebut menjual buah stroberi seberat 400 gram dengan banderol setengah harga.
Banderol yang dipasang pada produk tersebut yakni 1,99 pound, dengan mencoret harga jual yang disebutkan asli sebesar 3,99 pound.
Tesco menawarkan strawberri "diskon" dengan harga sebesar 1,99 pound tersebut selama 14 pekan, sementara menjual dengan harga "normal" dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Langkah promosi tersebut menimbulkan pertanyaan bagi konsumen, tentang berapa harga sebenarnya buah stroberi itu.
Dewan Kota Birmingham berpendapat promosi penjualan tersebut menyesatkan dan mengecoh pembeli. Hakim menyatakan, keuntungan Tesco dari promosi itu sangat besar, namung jaringan supermarket itu telah menodai kepercayaan konsumen.
Pihak Tesco sendiri mengakui telah melanggar sejumlah ketentuan mengenai Perlindungan Konsumen, dari Akta Regulasi Perdagangan 2008.
Anggota BPKN Arief Safari mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, naiknya jumlah pengaduan yang masuk ke BPKN membuktikan bahwa sudah mulai ada peningkatan pemahaman bagi konsumen di Indonesia soal hak dan kewajibannya.
"Konsumen sudah berani mengadu, ini sudah mulai membaik. Dahulu, konsumen masih lemah dalam pemahaman atas hak dan kewajibannya, kemudian konsumen tidak berani mengadu. Sekarang sudah mulai berani dalam menuntut haknya," kata Arief.
Kesadaran konsumen di Indonesia terbilang masih rendah. Berdasarkan Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) pada 2016, hanya sebesar 30,86 persen. IKK merupakan instrumen untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajibannya, serta kemampuannya dalam berinteraksi dengan pasar.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, IKK sudah mencapai 51 persen. Penyebab rendahnya IKK di Indonesia dipicu minimnya masyarakat soal regulasi, dan lembaga terkait perlindungan konsumen, serta perilaku komplain yang belum umum di kalangan konsumen Indonesia.
Penguatan Wewenang Saat ini, pemerintah tengah membahas draf RUU Perlindungan Konsumen yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. RUU tersebut, diharapkan lebih fokus pada perlindungan konsumen, ketimbang mengatur pelaku usaha.
Rolas mengatakan bahwa selama ini, pendekatan perlindungan konsumen yang ada di Indonesia masih berbicara soal pengaturan pelaku usaha dalam upaya untuk melindungi konsumen. Padahal, sudah seharusnya konsumen yang diprioritaskan.
Pada RUU yang baru ini diharapkan benar-benar fokus terhadap perlindungan konsumen. Selama ini, mayoritas masih berbicara tentang pelaku usaha.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Namun, kewenangan yang dimiliki BPKN dalam memberikan kepastian hukum bagi para konsumen yang haknya dilanggar, antara lain baru sebatas menerima pengaduan dari masyarakat atau pelaku usaha, memberikan advokasi dan edukasi, serta memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah.
"Pada RUU yang baru, agar kewenangan yang ada bagi BPKN diperluas dan diperbanyak. Kami meminta kewenangan tindakan lain, seperti menegur pelaku usaha yang merugikan konsumen," kata Rolas.
Revisi UU Perlindungan Konsumen diperlukan mengingat perkembangan teknologi dan transaksi perdagangan menuntut adanya penataan ulang khususnya terkait dengan masalah perlindungan konsumen yang saat ini tersebar di berbagai sektor.
Transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen terus berkembang, dan melibatkan banyak aspek pengaturan. Diharapkan ke depannya harus mampu mewadahi perkembangan aplikasi internet seperti e-commerce, logistik barang dan jasa, isu keamanan dan kedaulatan jaringan serta data informasi dan lainnya.
Dalam Strategi Nasional Perlindungan Konsumen di Indonesia, ada sembilan sektor prioritas, yakni, sektor layanan kesehatan, sektor telekomunikasi, sektor listrik dan gas, sektor perumahan, sektor obat dan pangan, sektor jasa keuangan, sektor e-commerce, sektor transportasi, dan sektor barang elektronik, telematika dan kendaraan bermotor.
Diharapkan, dalam pembahasan draf RUU Perlindungan Konsumen saat ini, akan lebih mengedepankan kepentingan konsumen, dan bukan sekadar mengatur perilaku pelaku usaha dalam berusaha.
Berbagai masalah atau temuan kasus terus muncul terkait perlindungan konsumen. Angkanya pun meningkat. Berdasarkan data dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), pelaporan atau pengaduan masyarakat kepada lembaga yang bertanggung jawab langsung terhadap Presiden itu bahkan melonjak hampir 10 kali lipat.
Berdasar catatan, pada 2015 total aduan yang masuk ke BPKN hanya sebanyak 28 aduan, naik menjadi 46 aduan pada 2016, dan menjadi 106 pada 2017. Data itu meningkat menjadi 241 aduan pada periode Januari-Juni 2018.
Laporan demi laporan oleh masyarakat tersebut menandakan semakin pahamnya konsumen Indonesia atas hak-hak yang harus diterima dalam bertransaksi.
Dari total 241 aduan pada Semester I 2018, didominasi laporan tentang perumahan atau apartemen yang mencapai 85,89 persen dari total aduan yang ada.
Ada sebanyak 108 kasus yang masuk klasifikasi pengaduan konsumen perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR), sementara sebanyak 99 kasus masuk klasifikasi pengaduan konsumen perumahan melalui developer.
Masalah yang paling banyak disampaikan oleh konsumen perumahan adalah, hak berupa sertifikat tidak diberikan atau statusnya tidak jelas, yang kurang lebih mencapai 80 persen dari total aduan oleh konsumen perumahan.
Masalah lain, masih dalam pengaduan konsumen perumahan, soal penetapan iuran pemeliharaan lingkungan secara sepihak, pembatalan pemesanan unit, status kepemilikan tidak jelas, jadwal serah terima terlambat, perubahan rencana tapak, dan pengenaan biaya di luar perjanjian.
Sementara kasus lain yang dilaporkan ke BPKN antara lain adalah soal pembiayaan konsumen, transportasi, perbankan, e-dagang, jasa pendidikan, barang elektronik, jasa ekspedisi, kendaraan bermotor, biro perjalanan atau travel, produk fesyen, jasa hiburan, dan listrik.
"Kami bisa memediasi antara pelaku usaha dan konsumen, hingga akhirnya konsumen mendapatkan haknya," kata Wakil Ketua BPKN Rolas Budiman Sitinjak.
Mediasi dalam sengketa antara konsumen dan pelaku usaha memang sudah biasa dilakukan. Namun, yang menjadi pekerjaan rumah adalah, saat kedua pihak tidak bersepakat atau tidak mencapai titik temu dalam menyelesaikan persoalan.
Dalam penjabaran tugas dan fungsi badan yang berdiri sejak 2004 tersebut seolah hanya sebatas pemberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. BPKN memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
Sudah seharusnya dalam UU Perlindungan Konsumen berisi acuan dalam memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar. Pelanggaran-pelanggaran tersebut, bahkan seharusnya sampai pada level pelanggaran kecil, namun merugikan konsumen.
Sebagai salah satu contoh kasus, pada 2013, supermarket di Birmingham, Inggris, Tesco, dikenai denda 300.000 pounds atau setara Rp5 miliar gara-gara dianggap menyesatkan konsumen.
Putusan tersebut dikeluarkan Dewan Kota Birmingham setelah seorang konsumen mengeluhkan promosi penjualan buah stroberi.
Kasus tersebut bermula dari seorang konsumen yang mengajukan keluhan dan meminta badan regulasi perdagangan melakukan investigasi terkait harga buah stroberi. Di supermarket tersebut menjual buah stroberi seberat 400 gram dengan banderol setengah harga.
Banderol yang dipasang pada produk tersebut yakni 1,99 pound, dengan mencoret harga jual yang disebutkan asli sebesar 3,99 pound.
Tesco menawarkan strawberri "diskon" dengan harga sebesar 1,99 pound tersebut selama 14 pekan, sementara menjual dengan harga "normal" dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Langkah promosi tersebut menimbulkan pertanyaan bagi konsumen, tentang berapa harga sebenarnya buah stroberi itu.
Dewan Kota Birmingham berpendapat promosi penjualan tersebut menyesatkan dan mengecoh pembeli. Hakim menyatakan, keuntungan Tesco dari promosi itu sangat besar, namung jaringan supermarket itu telah menodai kepercayaan konsumen.
Pihak Tesco sendiri mengakui telah melanggar sejumlah ketentuan mengenai Perlindungan Konsumen, dari Akta Regulasi Perdagangan 2008.
Anggota BPKN Arief Safari mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, naiknya jumlah pengaduan yang masuk ke BPKN membuktikan bahwa sudah mulai ada peningkatan pemahaman bagi konsumen di Indonesia soal hak dan kewajibannya.
"Konsumen sudah berani mengadu, ini sudah mulai membaik. Dahulu, konsumen masih lemah dalam pemahaman atas hak dan kewajibannya, kemudian konsumen tidak berani mengadu. Sekarang sudah mulai berani dalam menuntut haknya," kata Arief.
Kesadaran konsumen di Indonesia terbilang masih rendah. Berdasarkan Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) pada 2016, hanya sebesar 30,86 persen. IKK merupakan instrumen untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajibannya, serta kemampuannya dalam berinteraksi dengan pasar.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, IKK sudah mencapai 51 persen. Penyebab rendahnya IKK di Indonesia dipicu minimnya masyarakat soal regulasi, dan lembaga terkait perlindungan konsumen, serta perilaku komplain yang belum umum di kalangan konsumen Indonesia.
Penguatan Wewenang Saat ini, pemerintah tengah membahas draf RUU Perlindungan Konsumen yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. RUU tersebut, diharapkan lebih fokus pada perlindungan konsumen, ketimbang mengatur pelaku usaha.
Rolas mengatakan bahwa selama ini, pendekatan perlindungan konsumen yang ada di Indonesia masih berbicara soal pengaturan pelaku usaha dalam upaya untuk melindungi konsumen. Padahal, sudah seharusnya konsumen yang diprioritaskan.
Pada RUU yang baru ini diharapkan benar-benar fokus terhadap perlindungan konsumen. Selama ini, mayoritas masih berbicara tentang pelaku usaha.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Namun, kewenangan yang dimiliki BPKN dalam memberikan kepastian hukum bagi para konsumen yang haknya dilanggar, antara lain baru sebatas menerima pengaduan dari masyarakat atau pelaku usaha, memberikan advokasi dan edukasi, serta memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah.
"Pada RUU yang baru, agar kewenangan yang ada bagi BPKN diperluas dan diperbanyak. Kami meminta kewenangan tindakan lain, seperti menegur pelaku usaha yang merugikan konsumen," kata Rolas.
Revisi UU Perlindungan Konsumen diperlukan mengingat perkembangan teknologi dan transaksi perdagangan menuntut adanya penataan ulang khususnya terkait dengan masalah perlindungan konsumen yang saat ini tersebar di berbagai sektor.
Transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen terus berkembang, dan melibatkan banyak aspek pengaturan. Diharapkan ke depannya harus mampu mewadahi perkembangan aplikasi internet seperti e-commerce, logistik barang dan jasa, isu keamanan dan kedaulatan jaringan serta data informasi dan lainnya.
Dalam Strategi Nasional Perlindungan Konsumen di Indonesia, ada sembilan sektor prioritas, yakni, sektor layanan kesehatan, sektor telekomunikasi, sektor listrik dan gas, sektor perumahan, sektor obat dan pangan, sektor jasa keuangan, sektor e-commerce, sektor transportasi, dan sektor barang elektronik, telematika dan kendaraan bermotor.
Diharapkan, dalam pembahasan draf RUU Perlindungan Konsumen saat ini, akan lebih mengedepankan kepentingan konsumen, dan bukan sekadar mengatur perilaku pelaku usaha dalam berusaha.