Jakarta (Antarasumsel.com) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan kebudayaan merupakan
aspek yang proses dekolonisasinya paling tertinggal di Indonesia.
Hal
itu pula yang menurut Hilmar kerap membuat orang Indonesia cenderung
merasa lebih bangga ketika kebudayaan mereka dibicarakan oleh orang
non-Indonesia, demikian disampaikan disela Seminar Nasional "Peran
Kebudayaan dalam Pembangunan" di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Jakarta, Selasa.
"Memang ada problem
dekolonisasi yang tidak selesai. Dekolonisasi politik terjadi, Indonesia
merdeka. Kemudian dekolonisasi ekonomi, tadi sebagaimana disebutkan
masih ada dominasi penguasaan asing dan sebagainya," kata Hilmar.
"Dalam kebudayaan, dekolonisasinya paling tertinggal," ujarnya menambahkan.
Hilmar
menuturkan pada era 1960-an - 1970-an sejumlah ilmuwan sosial di
Indonesia menggulirkan ide untuk pribumisasi Ilmu Sosial Indonesia.
"Gagal
sebagai proyek, tetapi usahanya jelas ada. (Itu) mencoba melihat lagi
kearifan lokal apa sih yang bisa dipakai untuk menata sistem sosial dan
sebagainya. Ada upaya-upaya semacam itu," ujar Hilmar.
Sementara
jika berkaca pada era kiwari, lanjut Hilmar, hal itu bisa dilakukan
antara lain dengan menyuntikkan instrumen-instrumen kearifan lokal ke
dalam proses perencanaan pembangunan.
Salah
satu contohnya adalah kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) yang disebut Hilmar sebagai suatu inisiatif yang luar
biasa.
"Saya kira itu sesuatu inisiatif yang
luar biasa dan perlu didorong lebih maju menjadi misalnya dalam bentuk
Sonjo Kampung," kata Hilmar merujuk pada kegiatan kunjungan dari kampung
ke kampung yang lazim dilakukan masyarakat Jawa.
Bukan hal mudah
Hilmar
menyatakan kearifan lokal semacam Sonjo Kampung tersebut yang saat ini
paling mungkin untuk digunakan dan dikembangkan, namun hanya untuk skala
kecil atau lokal.
Sementara jika seluruh
kearifan lokal diserap dalam perencanaan pembangunan tingkat nasional
itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
"Coba
bayangkan betapa rumitnya, karena harus menyusun beragam ekspresi
pengetahuan, pemikiran dan segala macam itu menjadi program, itu ideal
sekali, mimpi kita lah boleh dibilang. Di mana segala macam kearifan
lokal bisa masuk dalam perencanaan pembangunan, tetapi itu menurut saya
hal yang tidak mudah," kata Hilmar.
"Gampang
dikatakan. Kita bisa pakai kata-kata dekolonisasi dan sebagainya, tetapi
untuk bisa mencapai ke sana itu pekerjaan rumah yang besar," ujarnya
menambahkan.
Pasalnya untuk mewujudkan hal
tersebut pasti akan menyangkut dengan perombakan sistem pendidikan,
sistem pendidikan tinggi, dan sebagainya.
"Bukan tidak mau dijalankan, tetapi itu bukan perkara yang mudah," pungkasnya.