Tokyo (Antarasumsel.com) - Rombongan digiring menuju bus selepas sarapan pada pagi hari bersuhu enam hingga tujuh derajat Celcius. Bus pun melaju menuju daerah Kyobashi, Tokyo, dengan perjalanan selama 40 menit.

Rombongan peserta program JENESYS 2016 yang merupakan pertukaran pemuda dari kawasan Asia Pasifik ke Jepang, masuk ke lantai enam gedung Standard Kaigishitsu Kyobashi dan menyimak paparan dari pelatih utama pembentukan karakter.

Di dalam ruangan sekitar 24 meter persegi itu, Direktur Utama WIPPS Taguchi Shinji telah siap memberikan contoh pelatihan pembentukan karater termasuk bagi atlet-atlet di Jepang, terutama pada cabang-cabang olahraga tim.

"Tujuan utama pelatihan ini adalah membentuk perkembangan diri sendiri dan tim. Kekuatan apa yang dapat kita berikan kepada tim dan apa yang kita dapat dari tim," kata Taguchi yang juga mantan atlet cabang olahraga kempo.

Taguchi meminta para peserta yang berasal dari Indonesia dan Brunei Darussalam untuk saling berpasangan dan menemukan lima persamaan masing-masing.

Pada permainan lain, pria yang mengikuti Kejuaraan Kempo Dunia pada 1996 itu meminta para peserta untuk saling berkompetisi maupun mencoba menemukan perasaan hal yang sama dengan permainan suit jari.

"Ini adalah contoh paling dasar untuk pembentukan karakter. Pada permainan tadi, kami mencoba menemukan persamaan antarpeserta sehingga tercipta sebuah persahabatan," kata Taguchi.

Dua jam kunjungan di perusahaan pembentukan karakter selesai. Sebagian peserta mengunjungi lokasi lain yang merupakan salah satu pusat pelatihan bagi atlet-atlet nasional di Tokyo.

Pusat pelatihan yang berdiri sejak 2007 dan mulai digunakan para atlet Jepang pada 2008 itu menjadi "rumah" bagi lebih dari 10 cabang olahraga. Di pusat pelatihan itu, atlet-atlet dari sejumlah cabang olahraga berlatih di dalam ruangan seperti bola voli, bola basket, bulu tangkis, senam, gulat, renang, maupun tinju.

Selain itu, sejumlah cabang olahraga lain berlatih di luar ruangan seperti atletik. Cabang tenis mendapatkan gedung terpisah dari cabang-cabang lain yang berada dalam satu gedung.

Pusat pelatih itu membagi empat kategori pelatihan yaitu pelatihan cabang olahraga air, pelatihan cabang olahraga luar ruangan, pelatihan untuk dataran tinggi, serta pelatihan cabang-cabang olahraga musim dingin.

"Saya sangat terkesan dengan fasilitas yang ada di Jepang ini. Semua aspek tertata dan kebutuhan atlet ada seluruhnya, termasuk medis, pemenuhan gizi, bahkan hingga psikologis," kata atlet judo Indonesia Toga Pramandita yang mengikuti JENESYS 2016.

Toga berharap Indonesia dapat meniru pusat pelatihan olahraga dan institut keilmuan olahraga di Jepang meskipun pembiayaan dan perawatannya tidak murah.

"Apalagi Indonesia mau menjadi tuan rumah Asian Games. Fasilitas seperti itu mestinya sudah ada demi kesuksesan prestasi selain sukses penyelenggaraan. Kami yang punya semangat berlatih tidak selalu didukung pemerintah," kata atlet asal Yogyakarta itu.

Toga mengatakan penerapan pendekatan ilmiah dalam pelatihan olahraga di Indonesia sekitar 10-20 persen jika dibandingkan di Jepang. "Sport science itu mungkin ada di Jakarta. Tapi, kami yang berasal dari daerah tidak sampai menyentuh itu. Jika cedera, kami meminta bantuan tukang pijat dan bukan medis," kata Toga.

Pusat pelatihan atlet-atlet di Tokyo itu juga bekerja sama dengan Institut Keilmiahan Olahraga Jepang. Institut itu melakukan penelitian-penelitian yang mendukung pembentukan atlet-atlet nasional Jepang. Penelitan-penelitian itu antara lain dilakukan di laboratorium fisika, biokimia, psikologi, biomekanik, laboratorium kanal angin, ruang latihan beroksigen tipis atau latihan hypoxic.

"Pendanaan mereka tidak dari pemerintah. Mereka adalah badan usaha. Indonesia bisa mencontoh itu karena komitmen semua orang yang terkait bidang olahraga di Jepang sangat tinggi, termasuk bagi atlet dan pelatih," kata atlet karate Indonesia Aditya Putra Thama yang juga mengunjungi pusat pelatihan atlet-altet Jepang itu.

Atlet-atlet, pelatih, hingga pengelola lembaga pelatihan keolahragaan di Jepang punya semangat yang sama untuk kemajuan prestasi olahraga Jepang dalam kejuaraan-kejuaraan dunia terutama Olimpiade. "Atlet yang masih menjalani penyembuhan cedera dan latihan individu saja menampilkan semangat yang luar biasa. Apalagi mereka yang berlatih bersama sebagai tim," ujar Adit.

Tidak sekadar mengunjungi pusat pelatihan atlet-atlet nasional, rombongan JENESYS 2016 juga menengok salah satu universitas Jepang yang khusus tentang ilmu olahraga dan pendekatan ilmiah keolahragaan di Tokyo Setagaya.

Perguruan tinggi olahraga itu yang berdiri sejak 1891 dan mempunyai tiga fakultas serta akan menambah satu fakultas baru pada April 2017. Meskipun lebih banyak mencetak para guru maupun para pelatih olahraga di sekolah-sekolah, kampus olahraga itu juga telah menelurkan atlet-atlet peraih medali Olimpiade.

"Kami ingin melahirkan orang-orang yang berperan di dunia internasional dengan fasilitas yang paling baik di Asia," kata Tatsuo Araki yang merupakan Kepala Pusat Hubungan Internasional di Universitas Olahraga itu.

Sebagaimana salah satu pusat pelatihan olahraga nasional di Tokyo, kampus olahraga itu juga memiliki sarana latihan dan fasilitas pendukung untuk meningkatkan penampilan para atlet dalam kejuaraan internasional. Kampus yang juga berlokasi di Yokohama itu tidak secara rinci membagi jurusan sesuai dengan cabang-cabang olahraga.

Sejumlah jurusan dalam kampus seluas lebih dari 266 meter persegi itu antara lain jurusan pendidikan fisik yang berkonsentrasi pada olahraga atletik dan pendidikan keolahragaan. Jurusan lain yaitu ilmu manajemen olahraga dan olahraga rekreasi.

"Kami menargetkan sebanyak 70 atlet yang akan mengikuti Olimpiade Tokyo 2020. Pada Olimpiade 2016, 34 atlet Jepang merupakan mahasiswa-mahasiswa kami," kata Tatsuo.

Tatsuo menambahkan seluruh mahasiswanya beserta 300 orang staf di kampus akan menjadi sukarelawan dalam penyelenggaraan Olimpiade Tokyo pada 24 Juli - 9 Agustus 2020 mendatang.

Namun, kampus yang memiliki enam ribu orang mahasiswa itu belum memberikan peluang beasiswa bagi calon mahasiswa asing yang ingin melanjutkan pendidikan pascasarjana di kampus itu.

"Para pengajar kami yang mampu berbahasa Inggris secara lancar sangat terbatas. Calon-calon mahasiswa setidaknya harus menguasai bahasa Jepang jika ingin masuk kampus ini," kata Tatsuo.

                                        Persoalan tuan rumah
Meski Jepang mempunyai sejumlah "kawah candradimuka" yang melahirkan bibit-bibit atlet unggulan demi kesuksesan prestasi olahraga, Jepang masih harus menghadapi persoalan terkait biaya penyelenggaraan selain kemungkinan perbedaan kebiaasaan warga Tokyo dengan masyarakat dunia yang hadir dalam Olimpiade 2020.

Penyelenggaraan Olimpiade 2020 sempat menuai kritik dari warga Tokyo menyusul biaya yang mencapai tiga triliun yen. Tapi, pada Desember 2016, Panitia Penyelenggara Olimpiade 2020 merilis total anggaran mencapai 15 miliar hingga 16,8 miliar dolar AS atau setara 1,798 triliun yen jika kurs satu dolar AS setara dengan 107 yen.

Salah satu warga Tokyo Matsuda Tomohiro mengaku tidak setuju penyelenggaraan Olimpiade di Ibu Kota Jepang itu menyusul anggaran yang besar. "Dari sisi bisnis, penyelenggaraan Olimpiade itu seringkali memunculkan kerugian yang besar. Olimpiade di Tokyo lebih baik tidak dilaksanakan," kata Tomohiro.

Tomohiro menambahkan cabang-cabang olahraga yang justru dapat membawa keuntungan secara bisnis antara lain sepak bola, bola basket, dan hoki es.

Berbeda dengan Tomohiro, warga lain Tokyo Kawanishi Kaoru justru bersemangat untuk melihat pertandingan-pertandingan olahraga internasional di kotanya. "Saya ingin melihat pertandingan Olimpiade," kata Kaoru.

Gelora penyelenggaraan Olimpiade 2020 sebagian tampak di gedung-gedung dan tempat-tempat umum seperti stasiun kereta listrik di Tokyo. Logo Olimpiade Tokyo 2020 berupa kotak-kotak biru indigo yang membentuk lingkaran tampak di beberapa lokasi di kota itu.

Kotak-kotak biru indigo yang disebut "ichimatsu moyo" dari era Edo (1603-1868) itu bahkan telah mewujud menjadi buah tangan dari Tokyo yang dijual di sejumlah pusat perbelanjaan atau lokasi wisata.

Semangat Jepang yang mempersiapan segala sesuatu baik penyelenggaraan maupun prestasi olahraga dalam jangka waktu lama mengesankan negara matahari terbit itu memang serius memburu kualitas atlet-atlet Olimpiade. Jepang bahkan telah membidik juara piala dunia tahun 2092 dan telah meracik ramuan mencapai target itu sejak 1990-an.

Pewarta : Imam Santoso
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024