Denpasar (Antarasumsel.com) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar, menggelar diskusi novel terbaru berjudul Moemie: Gadis Berusia Seratus Tahun.
"Diskusi yang menghadirkan penulisnya digelar di Gedung Auditorium Widya Sabha, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada Senin (19/12)," kata penata acara tersebut, Juwitta Katriana Lasut di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, novel yang memiliki judul asli "Een Meisje van Honderd" tersebut ditulis oleh Marion Bloem, sosok berdarah Indo-Belanda yang dikenal lewat novel Geen Gewoon Indisch Meisje (No Ordinary Indo Girl) terbit tahun 1983 serta film Ver van Familie (Far from Family) tahun 2008.
Buku Moemie setebal 629 halaman merentang sejarah sebuah keluarga peranakan (Indo-Belanda) dalam waktu seratus tahun. Cerita berlatar Indonesia dan Negeri Belanda, dituturkan lewat tokoh Moemie dan keluarga peranakannya dalam tiga generasi.
"Selain membincangkan novel dari sudut antropologis dan sejarah kolonialisme, akan coba ditelaah problematik tokoh kaum peranakan yang lintas zaman melalui perspektif psikologi sosial kultural serta tertaut perihal konstruksi identitas yang membayangi selama kurun 100 tahun," ujar Juwitta Katriana.
Sebagai pembahas adalah Dr Jean Couteau (budayawan, sosiolog) dan dr I Nyoman Sutarsa, MPH, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana).
Selain itu diagendakan pula satu bahasan khusus mengenai upaya penerjemahan karya-karya sastra dunia ke dalam bahasa Indonesia, berikut problematiknya, dengan pembicara Wendoko (penyair, editor buku "Moemie, Gadis Seratus Tahun").
Sejarah kolonialisme selama ini dapat dibaca dari dua sudut, yakni sudut kaum penjajah dan kaum terjajah. Namun selalu ada sudut yang lebih abu-abu, yaitu kaum peranakan.
Meskipun kaum peranakan menikmati kemudahan laiknya kaum penjajah, mereka tak cukup dipandang oleh kaum penjajah. Di sisi lain kaum ini, cenderung dimusuhi oleh kaum terjajah.
Kisah bermula di sebuah negeri yang ketika itu bernama Hindia Belanda, melewati masa pendudukan Jepang, kemerdekaan 1945, pengakuan kedaulatan 1959, hingga meliputi peristiwa terkini, yakni Tragedi Mei 1998 dan Bom Bali.
Selama rentang waktu yang panjang itu, peristiwa-peristiwa berkelindan dengan peristiwa di belahan dunia lain, mulai dari Perang Dunia II sampai Tragedi 9 September 2002.
"Diskusi yang menghadirkan penulisnya digelar di Gedung Auditorium Widya Sabha, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada Senin (19/12)," kata penata acara tersebut, Juwitta Katriana Lasut di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, novel yang memiliki judul asli "Een Meisje van Honderd" tersebut ditulis oleh Marion Bloem, sosok berdarah Indo-Belanda yang dikenal lewat novel Geen Gewoon Indisch Meisje (No Ordinary Indo Girl) terbit tahun 1983 serta film Ver van Familie (Far from Family) tahun 2008.
Buku Moemie setebal 629 halaman merentang sejarah sebuah keluarga peranakan (Indo-Belanda) dalam waktu seratus tahun. Cerita berlatar Indonesia dan Negeri Belanda, dituturkan lewat tokoh Moemie dan keluarga peranakannya dalam tiga generasi.
"Selain membincangkan novel dari sudut antropologis dan sejarah kolonialisme, akan coba ditelaah problematik tokoh kaum peranakan yang lintas zaman melalui perspektif psikologi sosial kultural serta tertaut perihal konstruksi identitas yang membayangi selama kurun 100 tahun," ujar Juwitta Katriana.
Sebagai pembahas adalah Dr Jean Couteau (budayawan, sosiolog) dan dr I Nyoman Sutarsa, MPH, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana).
Selain itu diagendakan pula satu bahasan khusus mengenai upaya penerjemahan karya-karya sastra dunia ke dalam bahasa Indonesia, berikut problematiknya, dengan pembicara Wendoko (penyair, editor buku "Moemie, Gadis Seratus Tahun").
Sejarah kolonialisme selama ini dapat dibaca dari dua sudut, yakni sudut kaum penjajah dan kaum terjajah. Namun selalu ada sudut yang lebih abu-abu, yaitu kaum peranakan.
Meskipun kaum peranakan menikmati kemudahan laiknya kaum penjajah, mereka tak cukup dipandang oleh kaum penjajah. Di sisi lain kaum ini, cenderung dimusuhi oleh kaum terjajah.
Kisah bermula di sebuah negeri yang ketika itu bernama Hindia Belanda, melewati masa pendudukan Jepang, kemerdekaan 1945, pengakuan kedaulatan 1959, hingga meliputi peristiwa terkini, yakni Tragedi Mei 1998 dan Bom Bali.
Selama rentang waktu yang panjang itu, peristiwa-peristiwa berkelindan dengan peristiwa di belahan dunia lain, mulai dari Perang Dunia II sampai Tragedi 9 September 2002.