Makassar (ANTARA Sumsel) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Komite 1 AM Iqbal Parewangi menilai penghapusan sejumlah Perda merupakan penghianatan terhadap otonomi daerah.
"Patut disesalkan adanya kegemaran di antara anggota kabinet Jokowi-JK untuk menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Entah itu tujuannya 'test on the water', atau memang ada tujuan ideologis, atau untuk 'up grade' popularitas, atau sekadar upaya pengalihan dari isu tertentu," kata Iqbal Parewangi dalam siaran pers di Makassar, Sabtu.
Tapi yang sangat disesalkan, ujar senator asal Sulawesi Selatan tersebut, efeknya membuat masyarakat jadi gaduh.
"Contoh terbaru penghapusan 3.143 Perda yang diumumkan langsung oleh Presiden. Bukan hanya gaduh di medsos, di dunia nyata pun muncul kegaduhan. Masyarakat di Serang, misalnya, 10 ribu lebih yang menandatangani petisi menolak penghapusan perda terkait pengaturan waktu buka warung makan di bulan Ramadhan," katanya.
Kegaduhan paling tampak di tengah umat Islam, ujar dia, dengan merebaknya informasi bahwa dalam penghapusan secara gelondongan tersebut sesungguhnya Perda-Perda bersyariat Islam dijadikan target strategis untuk dihapuskan.
Dia mengatakan sebenarnya tidak semudah itu juga menghapus Perda.
Pertama, ini era Otonomi Daerah dengan semangat desentralisasi. Penghapusan Perda secara gelondongan oleh pemerintah pusat itu dapat diartikan sebagai upaya resentralisasi secara besar-besaran, dan itu bisa dinilai pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Kedua, pencabutan Perda punya mekanisme yaitu melalui judicial review atau political review. Yang mengevaluasi itu DPRD.
"Menariknya lagi, setelah terlanjur merebakkan kegaduhan, Mendagri baru lakukan klarifikasi bahwa tidak ada Perda syariat Islam yang dihapus. Mungkin harapannya disambut alhamdulillah, tapi yang muncul malah kegaduhan baru," katanya.
Masyarakat, ujar dia, balik saling tuding yang satu ngomong makanya jangan mudah menuduh, yang lain bilang pemerintah ketakutan karena kuatnya tekanan sms dari masyarakat.
Sebagian lagi, lanjut Iqbal merasa sinis, sedangkan sebagian lainnya merasa lega sementara dan isu kegaduhan melebar kesana-kemari.
"Kegaduhan akibat penghapusan ribuan Perda ini bukan pertama kali selama kepemimpinan Jokowi-JK. Sebelumnya soal tenaga honorer K2 dan belakangan rasionalisasi PNS oleh MenPAN-RB. Dari anggota kabinet lainnya juga pernah," katanya.
Ada efek berbahaya yang tidak diinginkan sebagai akibat adanya kegemaran dari lingkungan kabinet untuk menciptakan kegaduhan di masyarakat diantaranya, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa anjlok.
"Terkait efek berbahaya itu, dan juga terkait kewenangan soal Perda dalam konteks Otonomi Daerah, saya akan mengusulkan di Senat untuk mengundang kementerian terkait," katanya.
Pemerintah, ujar dia, harus mengayomi dan melayani masyarakatnya bukan mendorongnya untuk gaduh.
"Alasan penghapusan Perda itu terkait peningkatan produktivitas ekonomi. Tapi caranya aneh. Untuk bisa produktif, Indonesia harus kondusif. Indonesia gaduh tidak mungkin produktif," katanya.
"Patut disesalkan adanya kegemaran di antara anggota kabinet Jokowi-JK untuk menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Entah itu tujuannya 'test on the water', atau memang ada tujuan ideologis, atau untuk 'up grade' popularitas, atau sekadar upaya pengalihan dari isu tertentu," kata Iqbal Parewangi dalam siaran pers di Makassar, Sabtu.
Tapi yang sangat disesalkan, ujar senator asal Sulawesi Selatan tersebut, efeknya membuat masyarakat jadi gaduh.
"Contoh terbaru penghapusan 3.143 Perda yang diumumkan langsung oleh Presiden. Bukan hanya gaduh di medsos, di dunia nyata pun muncul kegaduhan. Masyarakat di Serang, misalnya, 10 ribu lebih yang menandatangani petisi menolak penghapusan perda terkait pengaturan waktu buka warung makan di bulan Ramadhan," katanya.
Kegaduhan paling tampak di tengah umat Islam, ujar dia, dengan merebaknya informasi bahwa dalam penghapusan secara gelondongan tersebut sesungguhnya Perda-Perda bersyariat Islam dijadikan target strategis untuk dihapuskan.
Dia mengatakan sebenarnya tidak semudah itu juga menghapus Perda.
Pertama, ini era Otonomi Daerah dengan semangat desentralisasi. Penghapusan Perda secara gelondongan oleh pemerintah pusat itu dapat diartikan sebagai upaya resentralisasi secara besar-besaran, dan itu bisa dinilai pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Kedua, pencabutan Perda punya mekanisme yaitu melalui judicial review atau political review. Yang mengevaluasi itu DPRD.
"Menariknya lagi, setelah terlanjur merebakkan kegaduhan, Mendagri baru lakukan klarifikasi bahwa tidak ada Perda syariat Islam yang dihapus. Mungkin harapannya disambut alhamdulillah, tapi yang muncul malah kegaduhan baru," katanya.
Masyarakat, ujar dia, balik saling tuding yang satu ngomong makanya jangan mudah menuduh, yang lain bilang pemerintah ketakutan karena kuatnya tekanan sms dari masyarakat.
Sebagian lagi, lanjut Iqbal merasa sinis, sedangkan sebagian lainnya merasa lega sementara dan isu kegaduhan melebar kesana-kemari.
"Kegaduhan akibat penghapusan ribuan Perda ini bukan pertama kali selama kepemimpinan Jokowi-JK. Sebelumnya soal tenaga honorer K2 dan belakangan rasionalisasi PNS oleh MenPAN-RB. Dari anggota kabinet lainnya juga pernah," katanya.
Ada efek berbahaya yang tidak diinginkan sebagai akibat adanya kegemaran dari lingkungan kabinet untuk menciptakan kegaduhan di masyarakat diantaranya, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa anjlok.
"Terkait efek berbahaya itu, dan juga terkait kewenangan soal Perda dalam konteks Otonomi Daerah, saya akan mengusulkan di Senat untuk mengundang kementerian terkait," katanya.
Pemerintah, ujar dia, harus mengayomi dan melayani masyarakatnya bukan mendorongnya untuk gaduh.
"Alasan penghapusan Perda itu terkait peningkatan produktivitas ekonomi. Tapi caranya aneh. Untuk bisa produktif, Indonesia harus kondusif. Indonesia gaduh tidak mungkin produktif," katanya.