Palembang (ANTARA Sumsel) - Bunyi khas alat tenun bukan mesin terdengar nyaring memekakkan telinga di sebuah gang sempit Kampung Kain Tuan Kentang, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
    
Setidaknya terdapat lima rumah panggung yang pagi hari itu, Rabu (1/6), beraktifitas memproduksi kain tenun khas Palembang yang dikenal dengan sebutan kain 'tajung' dan "blongsong" sejak tahun 80-an.
    
Di sebuah rumah yang bagian mukanya persis menghadap ke jalan terdengar gerak kaki dan tangan para penenun berirama teratur bak petani sedang menumbuk padi menggunakan lesung.
    
Sebanyak enam alat tenun bukan mesin (atbm) dioperasikan sekaligus sejak pukul 07.00 WIB memanfaatkan ruangan sempit berukuran 6x4 meter dengan penerangan seadanya.
    
Meski sesekali para penenun bersenda gurau hingga gelak tawa pun memecah hiruk pikuk bunyi atbm, tetap saja keseriusan dan ketelatenan terpancar dari aktivitas mereka ini.
    
Penenunan merupakan proses penyelesaian akhir untuk menghasilkan selembar kain khas Palembang yang merupakan produk asli buatan tangan (handmade).

Sebelum mencapai proses ini, penenun harus mengolah bahan baku benang katun dan sutra terlebih dahulu selama kurang lebih 1,5 bulan.
     
Pengolahan bahan baku ini tidak bisa dipandang sepele karena sangat membutuhkan ketelitian, ketelatenan dan kesabaran.

Sebenarnya pembuatan kain ini hampir menyerupai pembuatan kain tenun yang pada umumnya ada di setiap daerah di Indonesia. 

Namun perbedaan terletak pada motif yang dihasilkan, seperti kain khas Palembang yang menampilka limar bermotif songket.
     
Pekerjaan biasanya diawali dengan terlebih dahulu membagi bahan benang untuk kebutuhan lusi dan pakan. Lusi dan pakan ini untuk istilah gulungan benang yang akan diletakkan di atbm. 
     
Proses lusi diawali dengan pewarnaan-pemintalan-penghanian besar-pengeboman besar-pencucukan-penyetelan benang di atbm.
     
Sedangkan proses pakan terdiri atas pemintalan-penghanian kecil-pelimaran motif-pembongkaran-pemalekan-penyetelan benang di atbm.
     
Dari beragam proses ini, pelimaran motif yang paling menguras tenaga dan konsentrasi karena membutuhkan waktu sekitar tiga pekan.

Lalu, setelah semua benang disusul di atbm, barulah pekerjaan penenunan dilakukan dengan cara manual menggunakan alat tenun bukan mesin.
     
Lama pengerjaan ini disesuaikan dengan kecakapan masing-masing penenun. 
    
Pada umumnya untuk pembuatan kain tajung (kain laki-laki) biasanya membutuhkan waktu 1-3 hari dengan upah Rp30 ribu per lembar, dan diserap pasar dengan harga Rp135 ribu per lembar. 

Sedangkan satu steel kain blongket (blongsong motif songket untuk kain perempuan) yang terdiri dari kain dan selendang dikerjakan selama 1,5 - 3 hari dengan upah Rp70 ribu per lembar, dan dijual ke pedagang pasar dengan harga Rp380 ribu per lembar.

Kemudian kain bloket tabur emas dikerjakan selama tiga hari dengan upah Rp180 ribu per lembar, dan dijual dengan harga Rp500 ribu per lembar.

Muslimin (50), salah seorang penenun mengatakan sudah menenun kain sejak tahun 1995 yakni mulai dari upah Rp5.000 per helai kain tajung hingga Rp30.000 sejak beberapa tahun terakhir.
    
"Membuat kain ini butuh kesabaran dan ketelatenan. Jika ingin cepat selesai bisa saja, tapi hasilnya kurang bagus. Warnanya jadi kurang terang dan kainnya sendiri tidak rapat seratnya," kata dia.

Muslimin menceritakan bahwa kepandaian menenun kain ini ia dapatkan dari orangtuanya saat berusia 13 tahun.

Ketika itu ia membutuhkan waktu satu bulan untuk mempelajari cara menenun kain.

"Jika tidak benar-benar serius mau belajar, pasti tidak akan bisa karena menenun songket ini susah-susah gampang. Awalnya sangat susah sekali, tapi jika sudah bisa, sudah seperti gerakan otomatis saja," ujar dia.
     
Kini dalam dua hari, Muslimin bisa memproduksi tiga lembar kain tajung sehingga mendapatkan penghasilan kotor sebesar Rp90.000.
    
Jika dipotong biaya makan dan rokok selama dua hari maka Muslimin akan mengantongi penghasilan bersih sekitar Rp60.000 setiap dua hari.

Muslimin menyayangkan model pengupahan seperti ini masih bertahan hingga kini meski sudah tidak lagi relevan dengan kehidupan saat ini.

"Mau bagaimana lagi, menenun ini saja yang menjadi kepadaian saya. Jika mau jadi buruh, fisik saya tidak kuat," kata Muslimin.

Menurut Abdurahman, salah seorang pengusaha kain khas Palembang di Kampung Tuan Kentang, rendahnya upah ini menjadi salah satu penyebab pekerjaan sebagai penenun kain kurang diminati masyarakat kini.
     
Sebagian besar warga Palembang lebih tertarik berprofesi lain, seperti menjadi tukang bangunan, buruh pabrik, pelayan toko, dan lainnya dengan upah harian yang cukup menjanjikan yakni berkisar Rp75.000---Rp135.000 per hari.
     
Sementara bagi pengusaha kain untuk menaikkan upah bukan perkara mudah mengingat akan berkaitan dengan harga jual barang di pasaran dan daya beli masyarakat.
     
Lantaran itu pula, untuk mensiasati kekurangan tenaga kerja ini, sebagian besar pekerjaan pembuatan kain terpaksa dialihkan ke sentra kain Cirebon sejak satu dekade terakhir.

Tenaga kerja di Cirebon terbilang cukup banyak dan bersedia diupah rendah, atau jika dirata-rata mendapatkan penghasilan bersih sekitar Rp25 ribu per hari. 
     
Menurutnya, hampir seluruh pengusaha kain di Tuan Kentang ini memiliki cabang di Cirebon karena sejatinya asal muasal pembuatan kain tenun ini juga berasal dari kota itu.

Abdurahman mengisahkan, kerajinan kain tenun ini tercipta diawali dengan kepindahan ayahnya yakni Asmita yang berprofesi sebagai tukang kayu dari Cirebon ke Palembang.

Asmita kemudian bertemu dengan Haji Kamami yang memiliki kepandaian membuat kain songket. 

Lalu dari keduanya tercetus ide untuk membuat atbm khusus kain saja atau bukan untuk membuat kain songket.

Pada saat itu sudah ada atbm songket yang digunakan dengan cara duduk melantai, sementara atbm buatan Asmita dibuat seperti atbm pembuatan kain Jawa yakni dengan cara duduk di kursi.

Ide untuk membuat kain khas Palembang muncul karena kain songket hanya diperuntukkan untuk perempuan. 

"Setelah atbm kain tajung itu jadi, akhirnya banyak penenun dari Cirebon pindah ke Palembang dan tinggal di Tuan Kentang, apalagi ada perkawinan dengan penduduk asli Palembang sehingga usaha ini tetap eksis hingga kini," kata Abdurahman.

Saat ini setiap pengusaha tenun biasanya memiliki 2-10 tenaga kerja di Cirebon. 

"Pekerja yang di Cirebon membuat kainnya, sementara yang di Palembang membuat selendangnya. Atau bisa dikatakan finisingnya ada di Palembang," kata Abdurahman, pria yang biasa disapa Dur ini.
     
Jika tidak disiasati demikian, maka usaha ini akan sulit bertahan mengingat generasi muda yang mau menenun semakin sedikit.
      
Kini di Tuan Kentang hanya ada 2-3 orang penenun yang berusia dibawah 25 tahun, sementara selebihnya sudah paruh baya.
     
Kekurangan tenaga kerja ini juga ditengarai menjadi salah satu penyebab semakin berkurangnya pengusaha kain tenun khas Palembang ini, selain juga karena besarnya modal.
     
Sejak mulai ada di tahun 80-an, telah terjadi kemerosotan dari sisi jumlah pengusaha yakni dari sekitar 18-20 orang menjadi hanya delapan orang sejak satu dekade terakhir.

Pengusaha yang tersisa ini umumnya generasi kedua dan masih memiliki hubungan kekerabatan diantara mereka dari garis keturunan ayah atau ibu.

Usaha yang dirintis sejak awan tahun 80-an ini selama hampir tiga dekade sangat minim sekali inovasi dan kreatifitas, serta belum sesuai standar secara kualitas.

Kain tajung yang dilepas ke pasaran terbilang kurang baik dalam pewarnaan sehingga dipastikan luntur saat dicuci.
     
Akibatnya harga kain ini pun tidak bisa dipatok dengan harga tinggi sehingga pengusaha kesulitan untuk mendapatkan margin yang sesuai.

Lambat laun bisnis pun mulai dihantam berbagai persoalan seperti nilai tawar rendah karena kualitas yang rendah, kekurangan tenaga kerja karena upah yang rendah, hingga tingginya modal usaha karena minimnya inovasi.

Menurut Dur, kondisi mulai berat sejak awal tahun 2000.

Pengusaha yang ingin menjajal bisnis ini setidaknya harus menyiapkan uang setidaknya Rp60-70 juta untuk alokasi pembelian atbm yang berkisar Rp30 juta per unit, biaya pembelian benang, biaya tenaga kerja, biaya stok kain, dan biaya kebutuhan sehari-hari.

Jika tidak piawai dalam menyediakan modal hingga 'empat lapis' ini maka dipastikan pengusaha tersebut akan gulung tikar seperti yang kerap terjadi selama ini.

"Semua harus ada posnya masing-masing, jika tidak maka pasti akan bangkrut. Misal sudah tidak ada uang untuk makan, pasti akan menjual kain dengan harga murah, jika sudah begini maka putaran uang jadi serat karena tidak mampu lagi beli benang," kata dia.

Selain harus piawai mengelola keuangan usaha, pengusaha juga diharuskan mampu beradaptasi dengan perilaku pasar.

Persoalannya, sebagian besar pengusaha ini masih terjebak dalam pemikiran lama sehingga hanya ingin berbisnis dengan cara konvensional dan enggan berinovasi. 

Akibatnya dalam beberapa dekade, para pengusaha kain ini memiliki posisi tawar yang sangat rendah untuk penentuan harga barang.

Ketidakkompakan dari para pengusaha dalam hal kualitas barang dan harga jual ditengarai menjadi salah satu penyebabnya sehingga para pengumpul sangat mudah menekan harga.

Meski masih memiliki hubungan kekerabatan, ternyata para pengusaha ini sulit dalam penyatuan visi dan misi untuk menjaga keberlangsungan usaha.

Kondisi ini pun semakin diperparah dengan stagnasinya pasar karena miskinnya inovasi.

Permintaan yang semula tinggi, lambat laun bergerak turun dan puncaknya mengalami kelesuan pada 2010.

"Saya amati jika tidak dikeluarkan produk baru, bisa-bisa tidak ada lagi yang mau membeli tajung dan blongsong. Lalu saya pun mencoba-coba dengan teman, dan lahirlah produk blongket (blongsong motif songket)," kata Dur.

Bersama Athoillah, rekannya sesama pengusaha yang juga cucu dari Haji Kamami, Abdurahman mencobakan motif songket di kain tajung dan blongsong pada 2010.

Awalnya respon pasar sangat negatif karena harga yang lebih tinggi hingga tiga kali lipat. 

Para pedagang beralasan akan sulit menjual karena kain biasa dihargai sekitar Rp100 ribu per lembar sementara blongket ditawarkan dengan harga diatas Rp300 ribu.

Namun keduanya tetap getol menawarkan ke pedagang pasar karena optimitis bahwa produk yang dihasilkan memiliki kualitas sangat baik dan akan disukai pasar karena kesan mewah yang melekat bak songket.

Usaha itu baru membuahkan hasil pada enam bulan kemudian.

Pasar kain tajung dan blonsong sudah stagnan membuat pedagang pasar pun tertarik untuk menjual produk baru.

Kemudian, buah kreasi dari dua pengusaha sekaligus penenun ini dapat diterima pasar sehingga mulai meninggalkan blongsong dan beralih membuat blongket.

Langkah kedua pengusaha ini pun diikuti pengusaha lainnya dan kini pasar sudah kesulitan untuk mendapatkan produk blonsong karena sudah beralih ke blongket.

Pengalaman menghasilkan suatu karya baru bekerja sama dengan teman ini akhirnya mematik semangat dari keduanya untuk memajukan usaha kain ini bahwa untuk kuat membutuhkan kebersamaan.


Embrio Koperasi


Kedua pengusaha ini pun menggagas berdirinya Komunitas Wirausaha Muda Tuan Kentang pada 2013.
     
Perkumpulan ini dimaksudkan menjadi wadah para pengusaha untuk saling bertukar pikiran mengenai beragam persoalan dalam pengembangan bisnis kain tenun ini.
     
Kuwon ini bertujuan agar bisnis kain tenun ini dapat eksis, mampu bersaing, menembus pasar internasional, bahkan dapat memberikan akses modal ke pengusaha dengan pembentukan koperasi.

Namun, untuk menuju ke suatu perkumpulan yang kuat bukan perkara mudah karena tidak semua pengusaha memiliki pemikiran yang terbuka.

Pada awalnya, delapan pengusaha di Tuan Kentang telah bersepakat untuk berserikat untuk bersatu padu dalam penentuan harga, pembelian benang, dan lainnya.

Pernah pada suatu masa, mereka secara bersama-sama membeli perwarna benang kualitas baik dengan harga Rp16 juta per kg.

Namun, setelah berjalan selama kurang lebih satu tahun terdapat benturan di internal Kuwon yakni muncul sikap iri antarpengusaha dan keengganan saling berbagi ilmu karena takut merugikan diri sendiri.

Kondisi ini pun memudarkan komitmen awal sehingga semangat mendirikan suatu komunitas yang kuat dan dapat bermanfaat, bahkan bisa tumbuh menjadi sebuah koperasi pun menjadi pudar.

Hampir tiga tahun setelah tahun 2013, Kuwon bisa dikatakan miskin kegiatan dan pengusaha pun kembali pada rutinitas bisnis seperti sebelumnya.

Namun, kehadiran sejumlah pengusaha muda diantaranya, Syarifuddin (30) yang kemudian diangkat menjadi Ketua Kuwon memunculkan semangat baru sejak awal tahun 2016.

Kuwon dibangkitkan lagi dengan secara rutin menggelar pertemuan sebanyak satu kali pada setiap awal bulan.

Menurut Syarif, sapaan akrabnya, pertemuan rutin ini untuk menumbuhkan semangat alami dari anggota untuk menumbuhkan usaha kain ini.

Jika muaranya membentuk koperasi maka hal itu terjadi karena kesepakatan bersama yang terjadi secara alamiah, bukan karena dikarbit.

"Sebenarnya mudah saja bila ingin membuat koperasi, bisa saja dibuat-buat saja nama anggotanya, tapi buat apa ?. Yang dibutuhkan bukan seperti itu tapi sebuah wadah yang murni untuk menyejahterakan anggotanya," kata dia.

Semula, Syarif tidak membantah bahwa Kuwon sempat menggejar menjadi koperasi pada awal pembentukan tahun 2013 karena tergiur pada dana hibah pemerintah.

Para anggota bersemangat karena dana hibah tersebut dapat digunakan untuk membeli atbm baru atau kebutuhan lainnya.

Akan tetapi, lantaran persyaratan pendirian koperasi harus berbadan hukum dengan minimal memiliki 20 anggota membuat Kuwon pun kesulitan.

"Rupanya jedah waktu mencari anggota ini membuat karakter masing-masing anggota terlihat, ada yang benar-benar serius dan ada yang tidak. Ini hikmahnya," kata dia.

Karena itu, para anggota muda pun sepakat bahwa tidak lagi mengejar terbentuknya sebuah koperasi, tapi lebih fokus pada penguatan visi dan misi terlebih dahulu.

Penguatan internal itu dibangun dengan rutin menggelar pertemuan untuk dijadikan wadah saling berkomunikasi dan memunculkan ide kreatif.

Salah satu ide yang belum lama ini terlontar yakni perubahan sistem pengupahan pekerja yakni tidak lagi berdasarkan lembar kain tapi beralih pada pengupahan secara bulanan.

Dengan begitu, maka minat untuk menjadi penenun akan tetap ada sehingga solusi kekurangan tenaga kerja menjadi terpecahkan.

Selain itu, ide yang muncul yakni bagaimana menggandeng kalangan desainer yang memahami fasyen terbaru di masyarakat.

Belum lama ini, Kuwon mendatangkan desainer asal Jakarta Teguh Joko Dwiyono untuk memberikan wawasan ke pengusaha mengenai motif-motif kain yang sedang disukai oleh pasar saat ini.

Teguh Joko Dwiyono merupakan seniman kulit telur yang bisa mengubah limbah menjadi benda seni bernilai jutaan rupiah.

"Bukan lagi saatnya mengikuti mau sendiri, tapi saat ini harus mau mengikuti maunya pasar," kata Syarifudin mengenang pesan Dwiyono.

Sedangkan untuk persoalan tenaga kerja, menurut Syarifudin, dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sumsel untuk memberdayakan para remaja disabilitas untuk menjadi penenun.

Rencana Kuwon ini telah mendapatkan respon positif dari Dispora dan bersedia mencarikan remajanya, dan akan dibantu biaya pelatihannya.

"Persoalan tenaga kerja ini harus juga dicarikan solusinya jika tidak ingin kerajinan tenun Palembang ini punah di masa datang," kata Syarifudin.

Terayar, Kuwon juga mulai merambah teknologi untuk pengembangan bisnis. 

Sebuah perusahaan telekomunikasi nasional telah memberikan layanan internet secara cuma-cuma untuk memudahkan pengusaha kain Tuan Kentang menjajal bisnis online.

Sebuah ruangan khusus telah ditempatkan di sebuah outlet di Tuan Kentang yang dapat diakses oleh seluruh pengusaha dalam menjalankan bisnis online.

"Belum lama ini, Kuwon juga sudah menjajal media sosial facebook, instagram, dan twitter untuk mempromosikan tajung dan blongket," kata dia.

Tak terhenti di sana, para pengusaha muda ini juga berinovasi dengan melepas suatu produk baru yakni "blongket tabur emas" ke pasaran pada awal tahun 2016.

Produk ini mendapatkan respon positif dari masyarakat dengan dijual dengan harga Rp500.000 untuk setiap satu steel kain beserta selendangnya.

Pembuatan blongket tabur emas ini membutuhkan waktu tiga hari untuk penenunan dengan biaya upah per steel Rp180 ribu.

Sejauh ini, menurut Syarif, pengusaha di Tuan Kentang bisa memproduksi total sekitar 450 kain per pekan untuk beragam jenis kain tajung, blongket dan blongket tabur emas. 

Produksi Kampung Kain Tuan Kentang ini dapat terserap maksimal di pasar seiring dengan semakin seringnya Kota Palembang.

Jika dikembangkan dengan maksimal dari sisi fashion, kualitas, promosi, Syarif pun optimistis bahwa kain khas Palembang ini akan menembus pasar dunia karena produk handmade dikenal selalu abadi dan sedang tren pula saat ini.

Namun untuk mencapai impian tersebut para anggota Kuwon sadar bahwa kekompakan dari anggota agar mampu melahirkan suatu produk yang kompeten.



Koperasi

Kepala Bidang Koperasi Dinas Kopersi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Provinsi Sumatera Selatan Wawan Gunawan mengatakan apa yang dilakukan Kuwon ini sudah terbilang positif karena sedang menjalani proses embrio koperasi.

Jika ingin menjadi sebuah koperasi yang kuat dan andal di masa datang maka sudah seharusnya diawali dengan pembentukan kelompok bersama (kube) terlebih dahulu.

Proses ini tidak bisa dipadang sebelah mata karena sangat penting untuk menilai keseriusan dari anggota untuk berserikat.

"Apa yang dilakukan Kuwon ini sudah benar. Sebuah koperasi seharusnya dirikan secara alamiah tanpa paksaan, harus benar-benar keinginan dari anggotanya dan tanpa motif lain selain ingin menyejahterakan anggota," kata Wawan di Palembang.

Melalui kube ini diharapkan visi misi organisasi dan anggota dapat diperkuat sehingga ketika menjadi koperasi dapat menjadi suatu lembaga yang andal.

Ia menerangkan untuk mendirikan koperasi ini yang perlu digarisbawahi yakni kesatuan visi dan misi dari anggota dalam pemenuhan kebutuhan bersama.

Menurutnya, kelompok penenun bukan berarti harus membuat koperasi benang, atau bahan baku lainnya, tapi dapat juga membuat koperasi simpan pinjam jika hal itu menjadi kebutuhan bersama dari anggota.

Terkait pendirian koperasi ini, pemerintah telah menetapkan berdasarkan UU bahwa koperasi harus berbadan hukum dan beranggotakan minimal 20 orang.

"Pemerintah tidak bisa memberikan solusi, misal harus menambah anggota, itu sama saja dengan membuat sesuatu yang tidak alami atau mengkarbit berdirinya koperasi. Biarkan Kuwon sendiri mencari solusinya jika memang ingin menjadi suatu koperasi yang kuat," kata dia.

Langkah seperti menggaet penenun kain jumputan mungkin dapat pula dipertimbangkan Kuwon jika ingin menambah anggota.

Namun, Wawan mengingatkan bahwa apa pun langkah yang akan diambil harus merupakan keputusan bersama dari anggota, termasuk jika ingin bergabung dengan pengusaha kain jumputan tersebut.

Saat ini terdapat 5.852 koperasi di Sumsel dan hanya 4.336 yang aktif, sedangkan 1.516 koperasi tergolong tidak aktif.  

Sebanyak 60 persen koperasi bergerak di bidang simpan pinjam, sedangkan selebihnya di bidang pertanian, perkebunan kerajian, dan kegiatan berkaitan ekonomi kreatif seperti tenun songket.

Menurut Wawan, saat ini koperasi di Indonesia didorong melakukan reformasi dan revitalisasi dengan mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas.

Sumsel sendiri memiliki pekerjaan rumah untuk mendata ulang 1.516 koperasi yang terdata tidak aktif. 

Jika masih memungkinkan maka koperasi tersebut akan diaktifkan, tapi jika tidak maka akan dibubarkan oleh pemerintah karena sudah tidak lagi menjalankan kegiatan seperti rapat akhir tahun, dan lainnya.

Dengan penertiban ini diharapkan koperasi dapat menjadi salah satu pilar ekonomi yang bisa diandalkan dalam membangun ketahanan ekonomi bangsa selain perseroan terbatas, BUMN, dan swasta.
 
"Prinsip-prinsip dalam koperasi dari, untuk, dan oleh anggota ini yang dinilai sangat cocok dengan budaya masyarakat Indonesia. Jika koperasi ini dapat dijadikan alat oleh masyarakat menuju kesejahteraan maka perekonomian bangsa akan benar-benar kuat," kata dia.

Untuk mendorong berdirinya koperasi yang berkualitas ini, pemerintah menjalankan sejumlah program seperti pengratisan akte notaris dalam pembuatan akte badan hukum koperasi, menerima penyaluran pinjaman Lembaga Pengelola Dana Bergulir, penyalur Kredit Usaha Rakyat, dan lainnya. 

Pengamat koperasi Suroto menilai reformasi dan revitalisasi koperasi merupakan suatu keharusan karena cara berkoperasi masyarakat di Indonesia sudah menyimpang dari kaidahnya.

Sebagian besar masyarakat keliru dari sisi paradigma dan cara pandang dalam berkoperasi yang seharusnya menekankan konsep basis perkumpulan orang atau "people-based association".

"Ada yang salah dengan paradigma berkoperasi kita selama ini. Sumbernya adalah tidak dipahaminya koperasi dalam konsep sebagai basis perkumpulan orang," kata Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) di Jakarta, Kamis (24/12).

Ia mencontohkan di Indonesia, koperasi hanya boleh didirikan oleh minimal 20 orang, padahal koperasi sebagai perkumpulan orang sebetulnya bisa didirikan oleh tiga atau bahkan ekstrimnya hanya dua orang. 

Menurutnya, kesalahan cara pandang ini bahkan dikukuhkan melalui undang-undang yakni sesuai UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, untuk mendirikan koperasi disyaratkan harus ada minimal sebanyak 20 orang.

"Sementara di negara yang perkoperasiannya maju koperasi dapat didirikan oleh 3 orang," katanya.

Hal ini, kata dia, juga diatur dalam guidance koperasi yang diterbitkan oleh gerakan koperasi dunia International Co-operative Alliance (ICA).

Ia berpendapat, paradigma yang dibentuk oleh UU Perkoperasian yang ada itu, koperasi harus didirikan oleh sebuah "critical mass" yang dianalogikan dengan konsep koperasi konsumen atau koperasi simpan pinjam atau Koperasi Kredit.

"Ini salah satu yang membuat koperasi di Indonesia tidak berkembang. Bisnis koperasi pada akhirnya hanya berkembang di sektor simpan pinjam dan sektor konsumen. Di sektor lain bisa dikatakan nihil," kata dia.

Konsekuensinya, kata dia, orang-orang berbisnis di sektor produksi misalnya terpaksa harus memilih badan hukum lain seperti perseroan. 

Kesalahan paradigma ini juga membuat masyarakat dan terutama anak-anak muda tidak suka berkoperasi.

Padahal secara sistem sebetulnya koperasi memiliki keunggulan dibanding dengan model usaha lainnya.

Potensinya sangat besar untuk dikembangkan oleh para pebisnis pemula yakni  terutama untuk usaha ekonomi kreatif karena setiap orang dijamin persamaannya. 

"Baik yang punya modal atau yang punya gagasan bisnis. Tidak seperti sistem bisnis konvensional yang selalu menempatkan orang yang punya ide kalah oleh mereka yang punya modal," kata dia.

Suroto berharap ketentuan itu bisa ditinjau kembali atau dievaluasi agar ke depan tidak menghalau langkah dan perkembangan koperasi dalam rangka menyejahterakan masyarakat di Indonesia.

Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Ngurah Puspayoga pada suatu kesempatan di Jakarta mengatakan koperasi harus kembali ke titahnya sebagai soko guru perekonomian bangsa sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

Saat ini koperasi di Indonesia kurang berkembang yang terlihat dari rendahnya sumbangan koperasi untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2014 yakni hanya 1,7 persen,

Menurut Menkop UKM, untuk meningkatkan peran koperasi dalam perekonomian Indonesia maka perlu melakukan 'reformasi total' terhadap koperasi. 

?Terdapat tiga jurus yang dijalankan yakni pertama berupa rehabilitasi, kedua adalah reorientasi, dan ketiga pengembangan.

Sebanyak 62.000 koperasi telah keluarkan dari database karena tidak aktif lagi sehingga yang tersisa yakni 147.000 koperasi dengan diberikan nomor induk.

"Kemudian setelah proses rehabilitasi selesai, saat ini memasuki proses reorientasi yakni mengubah cara pandang, bagaimana lebih fokus pada peningkatkan kualitas dibandingkan kuantitas anggota. Lalu baru bisa bicara pengembangan," kata dia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendorong keberadaan koperasi di lingkungan pengrajin kain untuk meningkatkan kejahteraan buruh dan pengusaha kecil.

Kepala Bidang Industri Kecil dan Menengah Dinas Perindustrian dan Pedagangan Sumsel Afrian Joni mengatakan saat ini keberadaaan koperasi ditengah masyarakat mulai terkikis karena sebagian besar sudah beralih ke bentuk simpan pinjam.

"Padahal peran koperasi itu sangat luas, bukan hanya simpan pinjam, dapat juga di sektor lain seperti ekonomi kreatif. Ini yang akan dilakukan pemerintah daerah ke depan untuk meletakkan kembali peran koperasi di masyarakat," kata Joni.

Para pengusaha kain tenun khas Palembang, pada umumnya membuat kain hanya berdasarkan pesanan pedagang.

Akibatnya meski telah berkecimpung selama puluhan tahun tetap saja usaha ini kurang begitu menyejahterakan.
     
"Terkadang miris, pengusaha kain tidak memiliki posisi tawar karena sudah berutang bahan baku dengan pedagang," kata dia.

Jika saja didirikan sebuah koperasi di lingkungan pengusaha kain ini maka persoalan kesulitan modal sejatinya dapat diatasi bersama.

Koperasi yang akan menjaga ketersediaan bahan baku atau jika perlu bertindak juga dalam memasarkan, sehingga hubungan antara pengusaha dan pedagang kain dapat dilakukan koperasi. 

"Dengan begitu, kestabilan harga dapat dirasakan pengrajin atau tidak seperti selama ini karena ditentukan pedagang pasar," katanya.
     
Namun, koperasi ini harus dijalankan secara profesional dengan tujuan menyejahterakan anggotanya, ini yang terkadang sudah bergeser sehingga banyak beralih menjadi simpan pinjam.

Aulia, pedagang songket di kawasan Tangga Buntung, Palembang, mengatakan membeli kain tenun dari penenun rumahan.
     
"Biasanya penenun meminta pedagang pemesan yang memberikan benang, kemudian harga akan dikurangi dengan bahan baku. Model seperti itu sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu karena sulit bagi mereka memasarkan sendiri," ujar dia.
     
Ia menambahkan, terkadang para penenun meminjam uang untuk kebutuhan mendadak seperti tahun ajaran baru atau sakit, dengan jaminan akan mengerjakan beberapa lembar songket.
     
                                                    
Asian Games


Kekurangan modal menjadi salah satu kendala yang masih dihadapi pengusaha kain tenun di Sumsel.

Sejumlah penenun kain khas Sumatera Selatan yakni tajung, blongsong dan blongket kekurangan modal untuk menyetok barang terkait dengan pemanfaatan momen Asian Games ke-18 tahun 2018.
    
Ketua Komunitas Wirausaha Muda Kampung (Kowum) Kain Tuan Kentang Syarifuddin mengatakan, penenun sangat ingin memanfaatkan momen Asian Games mendatang tapi untuk menyetok barang dalam jumlah banyak terkendala modal.
    
"Bisnis kain ini tidak mudah, modalnya hingga empat lapis yakni untuk benang, tenaga kerja, stok, dan kebutuhan sehari-hari. Jika dialokasikan untuk menyetok dari sekarang maka akan menggangu aliran modal lain," kata Syarifuddin.
    
Ia yang dijumpai di sentra kain tenun Tuan Kentang, Kelurahan Kertapati, mengatakan perwakilan dari pemerintah sudah beberapa kali menyampaikan peluang usaha saat Asian Games. 
    
Namun, pengusaha merasa kesulitan jika harus meminjam ke bank karena khawatir akan menggangu aliran uang dalam bisnis secara keseluruhan mengingat harus menyisihkan lagi untuk membayar pinjaman.
    
"Ini yang sedang dicarikan solusinya diantara kawan-kawan anggota komunitas, apakah membentuk koperasi kedepannya atau bagaimana. 
Saat ini, para anggota komunitas terdiri dari 14 penenun tajung, blongsong, blongket, dan jumputan masih dalam periode penguatan internal," kata dia.
    
Abdurahman, anggota Kowun lainnya, mengatakan sementara ini sudah ada kesepakatan diantara pengrajin untuk mulai menyetok kain setidaknya satu lembar dalam satu pekan terkait dengan momen Asian Games.
    
"Sudah ada komitmen untuk mulai menyetok, tapi alangkah lebih baiknya jika ada pemodal besar yang tertarik melirik bisnis ini," kata dia.
    
Saat ini wirausaha yang khusus membuat kain tenun tajung, blongsong, blongket (blongsong motif songket), blongket tabur emas (ada variasi benang emas) di kluster Tuan Kentang berjumlah delapan orang.
    
Pengamat ekonomi Hendry Saparini dalam sebuah seminar di Palembang beberapa waktu lalu mengatakan perbankan perlu mendampingi pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya.
    
Menurutnya, pelaku usaha ini bukan hanya membutuhkan suntikan modal tapi pendampingan dari lembaga terkait untuk mampu menembus pasar.

"Sebagian besar, masih takut meminjam uang di bank. Ini karena kurang edukasi saja, tapi jika diberikan pengertian manfaat dari menambah modal, saya rasa mereka akan mau asalkan bunga yang ditawarkan sangat rendah," kata dia.

Setelah mendapatkan modal, yang tak kalah penting yakni didampingi oleh kalangan perbankan tersebut.

"Ini yang sering disayangkan. Setelah mendapatkan suntikan modal, mereka jadi terjebak karena tidak ada yang mengajari bagaimana memaksimalkan dana yang tersedia. Akhirnya, pelaku UMKM akan hanya memikirkan bagaimana cara mengembalikan utang, bulan per bulan," kata dia.

Kluster beragam produk lokal kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah perlu dibuat di perkotaan untuk menjaga kegiatan ekonomi masyarakat tetap eksis dalam jangka panjang, kata pengamat ekonomi dari Universitas Sriwijaya Prof Didik Susetyo.
    
"Apa yang dikembangkan di kota-kota lain yakni membangun kluster seharusnya juga dikembangkan di Palembang. Saat ini, memang sudah ada kluster pengrajin songket dan ukiran, dan kuliner seperti pempek dan kemplang, tapi belum benar-benar mencapai tujuan," kata Didik.
    
Menurutnya, kluster ini hanya sebatas berada dalam satu lokasi atau belum mencapai tujuan seperti menjaga kepastian tenaga kerja, stok, dan kestabilan harga.
    
"Saat ini masih seperti sendiri-sendiri padahal dibuatkan di satu tempat itu gunanya untuk menjaga keberlangsungan. Jika tidak, seperti cerita kampung sepatu Cibaduyut di Bandung yang saat ini sudah tidak eksis lagi," kata dia.
    
Dalam kluster produk ekonomi lokal ini diharapkan barang dapat diproduksi dengan jumlah banyak sehingga dapat menekan biaya, dan harga jual bisa lebih murah.
    
Dengan begitu, maka produk ekonomi lokal Sumsel dapat memiliki daya saing.
    
Selain dapat juga dimanfaatkan untuk lokasi pariwisata.
    
Apalagi pada 2018 mendatang, Sumsel akan menjadi tuan rumah Asian Games ke-18.
    
"Saat banyak wisatawan datang ke Palembang, apakah sektor ekonomi lokal ini sudah siap untuk memenuhi permintaan. Ini yang menjadi pertanyaan, karena jika tidak, sama saja membuang peluang yang ada," kata dia.
    
Sementara ini, Pemkot Palembang sudah membuat kluster songket di kawasan Tanga Buntung, kluster ukiran khas Palembang di kawasan Masjid Agung, dan kluster kain tenun tajung dan blongsong di kawasan Tuan Kentang.


Penenun muda

Namun ditengah kesulitan yang ada ini, tetap muncul serabut harapan mengenai bakal tumbuh besarnya bisnis kain tenun khas Palembang.

Salah satunya melalui Muhammad Muzakir (21) yang mau meneruskan bisnis keluarga menjadi pembuat kain tenun khas Palembang ini.         

Kebanggaan terhadap sang kakek buyut Haji Kamami yakni sosok yang menciptakan atbm kain melatari keinginannya ini.

Meski usianya masih muda dan sudah menjadi karyawan bank swasta terkemuka di Palembang tetap tak menyurutkan keinginannya untuk terus menjadi penenun kain yakni suatu profesi yang sudah itinggalkan kaum muda.

"Sejauh ini aman-aman saja, masih bisa membagi waktu, saya mulai menenun setelah sholat shubuh hingga pukul 08.00 WIB, kemudian mulai lagi setelah sholat magrib hingga pukul 09.00 WIB. Hasilnya lumayan, bisa dapat satu lembar kain dan selendang," kata Zaki yang dijumpai di kediamannya di Kelurahan 13 Ulu, belum lama ini.

Muzakir merupakan generasi kelima Keluarga Haji Kamami yang secara turun temurun telah menggeluti usaha tenun kain khas Palembang sejak tahun 80-an.

Haji Kamami dikenal oleh kalangan penenun Palembang sebagai pencipta mesin tenun kain (khusus tidak berbenang emas) yang saat ini banyak digunakan penenun di Tuan Kentang.

Sebagai keturunan asli, pada awalnya Muzakir sempat ragu ketika pertama kali ditawari untuk memulai usaha sendiri pada empat tahun lalu.

Keraguan ini muncul karena dalam keluarga besarnya hanya tiga orang yang tersisa bisa membuat kain tenun. Sementara sisanya lebih memilih menjadi pekerja perusahaan, PNS, guru, dan berwirausaha.

Namun, berkat dukungan kedua orangtua dan pamannya, Zaki, sapaan akrabnya, akhirnya percaya diri untuk melestarikan usaha keluarga ini berbekal kepandaian membuat kain tenun dari sang ibunda yang mulai diperkenalkan pada saat duduk di bangku SMP.

"Seriusnya sejak masuk kuliah, kira-kira usia 17 tahun, saya ditantang paman untuk usaha sendiri, mulai dari membuat hingga memasarkan. Sebab selama ini sekadar bantu-bantu ibu saja. Karena saya berminat, jadi diberikan pinjaman mesin tenun oleh ibu," kata dia.

Pada awalnya, Zaki relatif tidak mengalami kesulitan karena memanfaatkan jaringan orangtua untuk memasarkan produk.

Menurutnya, jaringan kedua orangtuanya ini cukup terjaga karena mendapatkan dukungan produksi pada cabang di Cirebon yang dikelola salah seorang kerabat.

"Usaha di Cirebon tetap dipertahankan, karena di sana cukup mudah mendapatkan tenaga kerja. Ada sekitar 12 orang penenun dengan 12 mesin, sementara di Palembang, kesulitan untuk mencari orang yang mau belajar menenun. Ini bisa dimaklumi karena butuh waktu satu bulan untuk belajar, dan setelah bisa, upahnya hanya Rp30 ribu per kain," kata dia.

Tak heran kiranya, pada generasi ke-3 keluarganya ini, hanya tiga orang yang pandai membuat tenun songket yakni Zaki dan dua orang sepupu perempuannya.

Namun kondisi itu tidak melemahkannya, malah membuat semakin tertantang untuk maju. 

Anak pertama dari tiga bersaudara ini pun memulai dengan memperkerjakan diri sendiri tanpa merekrut tenaga kerja dengan menggunakan mesin tenun pinjaman ibunda tercinta.

Dalam satu pekan, Zaki mampu memproduksi 23 kain tajung dengan harga Rp135 ribu per lembar, dan 14 selendang blongket (kain kreasi bermotif songket karya sang paman) dengan harga Rp250 ribu per lembar. 

Sementara biaya produksi yang pasti dikeluarkan yakni membeli satu bal benang untuk dua bulan seharga Rp30 juta.

"Sejak memulai bisnis sendiri ini, saya pun tidak pernah meminta uang kuliah dari orang tua," kata pria kelahiran Palembang,13 Desember 1993 ini.

Setelah menggeluti selama tiga tahun sembari kuliah, Zaki pun mulai memikirkan bagaimana cara mengembangkan usaha karena jika hanya mengandalkan dirinya sendiri sebagai tenaga kerja maka akan sulit.

Lantaran itu, ia berniat untuk menambah tenaga kerja. Sementara untuk kebutuhan mesin tenun, kedua orangtuanya bersedia memberikan bantuan sebanyak dua unit.

Bantuan ini diberikan karena harga satu unit mesin untuk menenun selendang tergolong mahal yakni seharga Rp30 juta, sementara untuk menenun kain seharga Rp60 juta.

"Akhirnya, muncul keberanian untuk meminjam uang ke bank, setelah tanya sana-sini, saya pun mengajukan ke Bank Sumsel Babel dan diterima. Sejak bulan ini sudah masuk ansuran ketiga," kata dia.

Zaki mendapatkan kucuran kredit khusus UMKM sebesar Rp20 juta dengan bunga 15 persen per tahun, selama dua tahun masa pengembalian.

Dengan dana pinjaman bank itu, Zaki berniat menambah tenaga kerja dan menambah stok produk supaya bisa memenuhi permintaan dadakan, semisal ada ajang nasional di Palembang).

"Yang saya suka, akan ada pendampingan bank dengan diikutkan dalam beberapa pelatihan dan diajak pameran. Inilah kesempatan saya untuk membuka jaringan," kata pemuda yang baru saja menyelesaikan pendidikan strata satu jurusan informatika di Universitas Bina Darma Palembang ini.

Ketua Komunitas Wirausahawan Muda Kain Tenun Athoillah mengatakan kehadiran Muzakir dalam usaha tenun kain khas Palembang ini memberikan angin segar karena semakin sedikit kalangan muda yang mau menekuni bidang ini.

Saat ini di sentra kain tenun kain tajung dan blongsong di kawasan Tuan Kentang, Kertapati, hanya tersisa delapan usahawan.

Sebagian besar pekerja sudah berusia tua, sementara yang berusia muda hanya tiga orang.

"Jika dilihat perkembangan sejauh ini, bisa jadi orang Palembang asli hanya kebagian pemasaran saja, sementara penenunnya dari luar, karena sudah sangat sedikit yang mau belajar. Kehadiran Muzakir ini, menumbuhkan harapan baru karena ia bisa menenun juga sekaligus sebagai usahawannya," kata dia.

Hanya saja, Zaki membutuhkan pendampingan dari keluarga untuk tetap bertahan karena menjalankan bisnis kain tenun ini tidak mudah jika tidak paham rahasianya.

Setiap pelaku harus memiliki modal hingga empat lapis yakni untuk bahan benang, untuk stok, tenaga kerja, dan untuk kebutuhan sehari-hari.

"Modal bahan ini harus karena membuat kain butuh waktu, kemudian harus bisa menyetok agar bisa memenuhi permintaan. Dua modal ini saja tidaklah cukup, harus ada juga uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata dia.

Biasanya, kejadian yang berujung kebangkrutan uang untuk kebutuhan sehari-hari mengambil dari modal stok dan benang sehingga jika sudah terdesak terpaksa menjual kain dengan harga murah. 

Jika sudah begini maka akan rugi dan tidak ada lagi uang untuk membeli benang.

"Usaha kain ini sebenarnya, susah-susah gampang. Jika tidak pandai mengatur maka akan bangkrut, belum lagi kesulitan untuk mencari orang yang mau belajar menenun. Alhasil, pemilik sendiri yang menenun, jika sudah begini maka energi terkuras dan tidak ada waktu untuk mengembangkan usaha lagi," kata dia.

Bisnis kain khas Palembang hingga kini masih sangat menjanjikan seiring dengan tren penghargaan yang tinggi terhadap barang buatan tangan. 

Meski sangat berpotensi tapi untuk menggeluti usaha pembuatan kain ini bukan perkara mudah, karena pelaku usaha dihadapkan kesulitan mendapatkan tenaga kerja dan modal.

Namun dengan membangun suatu kesadaran mengenai pentingnya bersama-sama dalam menaklukkan pasar diharapkan dapat menyelamatkan buah karya anak bangsa ini dari kepunahan di tanah kelahirannya sendiri.


Pewarta : Dolly Rosana
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024