Palembang, (ANTARA Sumsel) - Urbanisasi masih menjadi persoalan serius bangsa ini sebagai akibat dari kesenjangan yang mencolok antara desa dan kota.
Bank Indonesia mencatat terjadi tren peningkatan setiap tahun jumlah perputaran uang saat Ramadan hingga Lebaran. Pada tahun 2014, misalnya, terdapat Rp115 triliun atau meningkat 14,9 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya, yakni Rp103,2 triliun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin di desa hingga 2002 mencapai 25,1 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin di kota mencapai 13,3 juta penduduk.
Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin desa mencapai 24,81 juta jiwa, sementara di kota mencapai 14,49 juta jiwa dan data terakhir BPS tahun 2011, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 18,94 juta jiwa, sedangkan di kota mencapai 10,95 juta jiwa.
Dengan kondisi kemiskinan penduduk desa mencapai hampir dua kali lipat penduduk kota, tidak heran jika penduduk desa akan terus melihat kota sebagai pengharapan.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Menteri Desa PDTT) Marwan Jafar mengatakan bahwa pemerintah berupaya menekan keinginan masyarakat desa ke kota, salah satu langkah yang telah ditempuh adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan menyalurkan dana desa.
Melalui payung hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah sudah menyalurkan dana desa sejak 2015.
Sebanyak 74.000 desa akan mendapatkan bantuan dana pembangunan berkisar Rp250 juta hingga Rp1 miliar yang bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, dalam menjalankannya bukan perkara mudah karena terdapat sejumlah kendala mengingat desa minim sumber daya manusia andal yang paham dan mengerti mekanisme pelaporan keuangan.
Aparat desa tidak siap dalam mengelola persyaratan surat pertanggungjawaban (SPJ) untuk anggaran desa sehingga relatif banyak yang takut mengelola dana.
Relatif banyak aparat desa yang belum mampu membuat syarat SPJ seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Hal ini membuat penyaluran dana desa yang masih belum optimal sehingga per November hanya terserap 70 persen dari total Rp20,7 triliun.
Tersedatnya penyaluran dana desa, tak dibantah Marawan karena birokrasi yang berbelit dan masih tumpang-tindihnya sejumlah regulasi antarkementerian dan lembaga, kemudian muncul surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri.
"Hal ini membuat kepala desa (perangkat desa) takut menggunakan dana desa," kata Marwan.
Terkait dengan hal itu, Presiden RI Jokowi dalam kunjungannya ke Solo meminta para kepala dan perangkat desa untuk tidak takut menggunakan dana desa bila dana itu digunakan dan dikelola untuk kepentingan warga desa.
"Saya ini 11 tahun jadi wali kota, pindah ke gubernur, enggak pernah merasa takut karena bekerja sesuai dengan prosedur. Kalau sudah bekerja sesuai dengan prosedurnya, apa bisa dikriminalisasi? Tidak perlu takut untuk menggunakan anggaran. Kalau bekerja baik, tidak perlu kita takut, saya jamin," kata Jokowi ketika bertemu dengan ribuan kepala desa dan perangkat desa di Indonesia.
Presiden Jokowi mengaku tidak rela bila ada kepala desa yang bekerja sungguh-sungguh, kemudian dikriminalisasi karena penggunaan dana desa.
"Siapa itu yang akan melakukan kriminalisasi? Kejaksaan? Polisi? Pasti akan saya kejar! Yang bekerja baik, saya ingin beri penghargaan, bukan dikriminalisasi," ujar Jokowi.
Presiden meminta para kepala desa berani menggunakan dana desa. Kendati demikian, tetap berhati-hati dan mengedepankan prinsip transparansi serta akuntabilitas.
"Ditulis minimal angkanya, penggunaaannya, dan ditempel di papan setiap RT dan RW supaya terbuka," kata Jokowi.
Pendampingan
Puluhan kepala desa (kades) di wilayah Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan, diwajibkan membeli satu unit komputer jinjing atau laptop seharga Rp33 juta bila ingin mencairkan dana alokasi desa (DAD) tahap pertama.
Menurut Kades Talang Akar Heru Martin di Muaraenim, para kades harus membayar satu unit laptop merek Lenovo G40-70 berikut dengan software aplikasi usai pencairan dana desa. Dia juga membenarkan adanya undangan dari BPMPD untuk mengikuti bimbingan teknologi (bimtek) di Gedung Pesos di Palembang.
"Waktu bimtek, kami diminta untuk tanda tangan, tetapi kami tidak tahu kalau tanda tangan menyetujui dana sebesar Rp33 juta untuk membeli laptop dan perangkatnya. Kami kira itu hanya daftar hadir," katanya.
Selain itu, lanjut dia, setiap kepala desa juga diwajibkan untuk membuat monografi desa dengan biaya Rp15 juta. Jadi, total Rp48 juta satu desa harus dikeluarkan sebagai syarat mencairkan dana desa dari pusat.
"Padahal, dana yang akan cair sekitar Rp200 juta. Jika dipotong Rp48 juta, berapa lagi dana untuk bangun desa? Masalah ini sudah kami koordinasikan dengan camat, tetapi mereka tidak bertanggung jawab," kata kades lainnya menambahkan.
Sementara itu, Polres Muaraenim melalui Unit Tipikor secara maraton terus mendalami terkait dengan dugaan pengadaan laptop untuk para kepala desa dengan harga relatif sangat tinggi.
Kapolres Muaraenim AKBP Nuryanto melalui Kasat Reskrim AKP M. Khalid Zulkarnain didampingi Kanit Tipikor Ipda Robi mengatakan bahwa pihaknya memang terus melakukan penyelidikan kasus laptop para kades, dan seluruhnya akan dimintai keterangan soal dugaan kasus tersebut.
"Pemeriksaan diawal dilakukan dengan memanggil dua kades yang dimintai keterangan. Kami juga akan meminta katerangan seluruh kades," kata Ipda Robi.
Kedua kepala desa yang dimintai keterangan, yaitu Kades Talang Akar Heru Martin dan Kades Benuang Remi Rudindia di ruang Tipikor Polres Muara Enim.
Dengan kebijakan tersebut, hampir 90 persen kades tidak terima, apalagi mau membayar laptop seharga Rp33 juta. Beberapa kades justru mengetahui harga laptop tersebut sebesar Rp5 juta di pasaran.
Mirisnya lagi, bilamana para kades tidak menerima dan mengikuti kebijakan itu, dana desa tahap dua terancam tidak akan dicairkan.
Terkait dengan hal itu, Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Provinsi Sumatera Aspahani menegaskan pentingnya pendampingan bagi perangkat desa dalam membuat laporan berbasis akrual yang belum begitu dikenal di pemerintahan meski mulai efektif pada tahun 2015.
"Selama ini yang dikenal di pemerintahan, yakni pelaporan berbasis kas, yakni ada uang baru bisa belanja. Ini sangat berbeda dengan pelaporan berbasis akrual, yakni walaupun belum ada uang, proyek bisa tetap jalan dengan cara utang (dengan perusahaan bonafide) atau pemerintah daerah membuat surat utang," katanya.
Dengan sistem yang baru ini, lanjut dia, perangkat desa perlu diedukasi mengenai cara penyerapan anggaran APBN sesuai dengan undang-undang, termasuk indikator yang digunakan pemerintah untuk menilai persentase realisasi anggaran.
Menurut dia, sistem berbasis akrual itu sudah sepatutnya diterapkan karena menjamin terlaksananya program pemerintah yang sudah direncanakan sedari awal.
"Dengan sistem ini, kucuran dana APBN tidak masalah di akhir proyek karena pemda bisa utang dengan pihak ketiga," katanya.
Namun, untuk melaksanakannya bukan perkara mudah karena dibutuhkan pengawasan yang ketat dari pemerintah untuk menghindari penyalahgunaan.
"Dalam sistem kas saja masih banyak dijumpai kabupaten/kota yang belum menyandang status wajar tanpa pengecualian dari BPK dan BPKP, apalagi dengan sistem akrual. Meski demikian, IAI tidak mau pesimistis karena ini sudah amanat UU yang harus dijalankan, mau tidak mau," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus membuat regulasi yang jelas dan tegas terkait dengan aturan sistem akrual ini, seperti penanggung jawab keuangan harus berlatar belakang akutansi hingga pendampingan dari akuntan profesional.
Terkait dengan pendampingan tersebut, IAI bekerja sama dengan Unsri dan Universitas Muhammadyah Palembang untuk memperbantukan mahasiswa tingkat akhir ke seluruh desa di Sumsel.
"Sinergi sedang dibangun antara perguruan tinggi, IAI, dan pemerintah. Harapannya para mahasiswa ini diperbantukan dalam 2--3 bulan, dan pemerintah menanggung biaya akomodasinya karena secara ideal 10 desa itu didampingi satu akuntan profesional," katanya.
Pada tahun ini, dana bantuan desa dari pemerintah pusat untuk Sumatera Selatan meningkat 129,67 persen dari alokasi dana yang sama pada tahun 2015.
Gubernur Sumsel H. Alex Noerdin di Palembang mengatakan bahwa pihaknya telah menerima daftar isian pelaksanaan anggaran 2016 yang salah satunya menetapkan anggaran bantuan desa yang meningkat.
Pada tahun 2015, Sumsel mendapatkan dana bantuan desa Rp775 miliar, sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi Rp1,78 triliun.
Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah pusat cukup serius dalam membangun desa karena melihat dari sisi anggaran tersebut.
"Gunakan dana tersebut untuk kepentingan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Bantuan desa tersebut agar unjung tombak pembangunan menjadi mandiri dalam arti kebutuhan dasar masyarakat, termasuk infrastruktur terpenuhi," kata dia.
Dengan anggaran yang meningkat, desa memiliki potensi mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat desa sekaligus memajukan pembangunan desanya.
Desa yang maju, kata dia, akan memberikan relatif banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya tanpa perlu berpindah ke kota.
Ke depannya, proses itulah yang wajib dikawal supaya tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa tidak jalan di tempat.
Jika itu yang terjadi, pola urbanisasi yang berdampak negatif pun akan terus terpelihara.
Bank Indonesia mencatat terjadi tren peningkatan setiap tahun jumlah perputaran uang saat Ramadan hingga Lebaran. Pada tahun 2014, misalnya, terdapat Rp115 triliun atau meningkat 14,9 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya, yakni Rp103,2 triliun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin di desa hingga 2002 mencapai 25,1 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin di kota mencapai 13,3 juta penduduk.
Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin desa mencapai 24,81 juta jiwa, sementara di kota mencapai 14,49 juta jiwa dan data terakhir BPS tahun 2011, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 18,94 juta jiwa, sedangkan di kota mencapai 10,95 juta jiwa.
Dengan kondisi kemiskinan penduduk desa mencapai hampir dua kali lipat penduduk kota, tidak heran jika penduduk desa akan terus melihat kota sebagai pengharapan.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Menteri Desa PDTT) Marwan Jafar mengatakan bahwa pemerintah berupaya menekan keinginan masyarakat desa ke kota, salah satu langkah yang telah ditempuh adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan menyalurkan dana desa.
Melalui payung hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah sudah menyalurkan dana desa sejak 2015.
Sebanyak 74.000 desa akan mendapatkan bantuan dana pembangunan berkisar Rp250 juta hingga Rp1 miliar yang bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, dalam menjalankannya bukan perkara mudah karena terdapat sejumlah kendala mengingat desa minim sumber daya manusia andal yang paham dan mengerti mekanisme pelaporan keuangan.
Aparat desa tidak siap dalam mengelola persyaratan surat pertanggungjawaban (SPJ) untuk anggaran desa sehingga relatif banyak yang takut mengelola dana.
Relatif banyak aparat desa yang belum mampu membuat syarat SPJ seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Hal ini membuat penyaluran dana desa yang masih belum optimal sehingga per November hanya terserap 70 persen dari total Rp20,7 triliun.
Tersedatnya penyaluran dana desa, tak dibantah Marawan karena birokrasi yang berbelit dan masih tumpang-tindihnya sejumlah regulasi antarkementerian dan lembaga, kemudian muncul surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri.
"Hal ini membuat kepala desa (perangkat desa) takut menggunakan dana desa," kata Marwan.
Terkait dengan hal itu, Presiden RI Jokowi dalam kunjungannya ke Solo meminta para kepala dan perangkat desa untuk tidak takut menggunakan dana desa bila dana itu digunakan dan dikelola untuk kepentingan warga desa.
"Saya ini 11 tahun jadi wali kota, pindah ke gubernur, enggak pernah merasa takut karena bekerja sesuai dengan prosedur. Kalau sudah bekerja sesuai dengan prosedurnya, apa bisa dikriminalisasi? Tidak perlu takut untuk menggunakan anggaran. Kalau bekerja baik, tidak perlu kita takut, saya jamin," kata Jokowi ketika bertemu dengan ribuan kepala desa dan perangkat desa di Indonesia.
Presiden Jokowi mengaku tidak rela bila ada kepala desa yang bekerja sungguh-sungguh, kemudian dikriminalisasi karena penggunaan dana desa.
"Siapa itu yang akan melakukan kriminalisasi? Kejaksaan? Polisi? Pasti akan saya kejar! Yang bekerja baik, saya ingin beri penghargaan, bukan dikriminalisasi," ujar Jokowi.
Presiden meminta para kepala desa berani menggunakan dana desa. Kendati demikian, tetap berhati-hati dan mengedepankan prinsip transparansi serta akuntabilitas.
"Ditulis minimal angkanya, penggunaaannya, dan ditempel di papan setiap RT dan RW supaya terbuka," kata Jokowi.
Pendampingan
Puluhan kepala desa (kades) di wilayah Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan, diwajibkan membeli satu unit komputer jinjing atau laptop seharga Rp33 juta bila ingin mencairkan dana alokasi desa (DAD) tahap pertama.
Menurut Kades Talang Akar Heru Martin di Muaraenim, para kades harus membayar satu unit laptop merek Lenovo G40-70 berikut dengan software aplikasi usai pencairan dana desa. Dia juga membenarkan adanya undangan dari BPMPD untuk mengikuti bimbingan teknologi (bimtek) di Gedung Pesos di Palembang.
"Waktu bimtek, kami diminta untuk tanda tangan, tetapi kami tidak tahu kalau tanda tangan menyetujui dana sebesar Rp33 juta untuk membeli laptop dan perangkatnya. Kami kira itu hanya daftar hadir," katanya.
Selain itu, lanjut dia, setiap kepala desa juga diwajibkan untuk membuat monografi desa dengan biaya Rp15 juta. Jadi, total Rp48 juta satu desa harus dikeluarkan sebagai syarat mencairkan dana desa dari pusat.
"Padahal, dana yang akan cair sekitar Rp200 juta. Jika dipotong Rp48 juta, berapa lagi dana untuk bangun desa? Masalah ini sudah kami koordinasikan dengan camat, tetapi mereka tidak bertanggung jawab," kata kades lainnya menambahkan.
Sementara itu, Polres Muaraenim melalui Unit Tipikor secara maraton terus mendalami terkait dengan dugaan pengadaan laptop untuk para kepala desa dengan harga relatif sangat tinggi.
Kapolres Muaraenim AKBP Nuryanto melalui Kasat Reskrim AKP M. Khalid Zulkarnain didampingi Kanit Tipikor Ipda Robi mengatakan bahwa pihaknya memang terus melakukan penyelidikan kasus laptop para kades, dan seluruhnya akan dimintai keterangan soal dugaan kasus tersebut.
"Pemeriksaan diawal dilakukan dengan memanggil dua kades yang dimintai keterangan. Kami juga akan meminta katerangan seluruh kades," kata Ipda Robi.
Kedua kepala desa yang dimintai keterangan, yaitu Kades Talang Akar Heru Martin dan Kades Benuang Remi Rudindia di ruang Tipikor Polres Muara Enim.
Dengan kebijakan tersebut, hampir 90 persen kades tidak terima, apalagi mau membayar laptop seharga Rp33 juta. Beberapa kades justru mengetahui harga laptop tersebut sebesar Rp5 juta di pasaran.
Mirisnya lagi, bilamana para kades tidak menerima dan mengikuti kebijakan itu, dana desa tahap dua terancam tidak akan dicairkan.
Terkait dengan hal itu, Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Provinsi Sumatera Aspahani menegaskan pentingnya pendampingan bagi perangkat desa dalam membuat laporan berbasis akrual yang belum begitu dikenal di pemerintahan meski mulai efektif pada tahun 2015.
"Selama ini yang dikenal di pemerintahan, yakni pelaporan berbasis kas, yakni ada uang baru bisa belanja. Ini sangat berbeda dengan pelaporan berbasis akrual, yakni walaupun belum ada uang, proyek bisa tetap jalan dengan cara utang (dengan perusahaan bonafide) atau pemerintah daerah membuat surat utang," katanya.
Dengan sistem yang baru ini, lanjut dia, perangkat desa perlu diedukasi mengenai cara penyerapan anggaran APBN sesuai dengan undang-undang, termasuk indikator yang digunakan pemerintah untuk menilai persentase realisasi anggaran.
Menurut dia, sistem berbasis akrual itu sudah sepatutnya diterapkan karena menjamin terlaksananya program pemerintah yang sudah direncanakan sedari awal.
"Dengan sistem ini, kucuran dana APBN tidak masalah di akhir proyek karena pemda bisa utang dengan pihak ketiga," katanya.
Namun, untuk melaksanakannya bukan perkara mudah karena dibutuhkan pengawasan yang ketat dari pemerintah untuk menghindari penyalahgunaan.
"Dalam sistem kas saja masih banyak dijumpai kabupaten/kota yang belum menyandang status wajar tanpa pengecualian dari BPK dan BPKP, apalagi dengan sistem akrual. Meski demikian, IAI tidak mau pesimistis karena ini sudah amanat UU yang harus dijalankan, mau tidak mau," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus membuat regulasi yang jelas dan tegas terkait dengan aturan sistem akrual ini, seperti penanggung jawab keuangan harus berlatar belakang akutansi hingga pendampingan dari akuntan profesional.
Terkait dengan pendampingan tersebut, IAI bekerja sama dengan Unsri dan Universitas Muhammadyah Palembang untuk memperbantukan mahasiswa tingkat akhir ke seluruh desa di Sumsel.
"Sinergi sedang dibangun antara perguruan tinggi, IAI, dan pemerintah. Harapannya para mahasiswa ini diperbantukan dalam 2--3 bulan, dan pemerintah menanggung biaya akomodasinya karena secara ideal 10 desa itu didampingi satu akuntan profesional," katanya.
Pada tahun ini, dana bantuan desa dari pemerintah pusat untuk Sumatera Selatan meningkat 129,67 persen dari alokasi dana yang sama pada tahun 2015.
Gubernur Sumsel H. Alex Noerdin di Palembang mengatakan bahwa pihaknya telah menerima daftar isian pelaksanaan anggaran 2016 yang salah satunya menetapkan anggaran bantuan desa yang meningkat.
Pada tahun 2015, Sumsel mendapatkan dana bantuan desa Rp775 miliar, sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi Rp1,78 triliun.
Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah pusat cukup serius dalam membangun desa karena melihat dari sisi anggaran tersebut.
"Gunakan dana tersebut untuk kepentingan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Bantuan desa tersebut agar unjung tombak pembangunan menjadi mandiri dalam arti kebutuhan dasar masyarakat, termasuk infrastruktur terpenuhi," kata dia.
Dengan anggaran yang meningkat, desa memiliki potensi mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat desa sekaligus memajukan pembangunan desanya.
Desa yang maju, kata dia, akan memberikan relatif banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya tanpa perlu berpindah ke kota.
Ke depannya, proses itulah yang wajib dikawal supaya tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa tidak jalan di tempat.
Jika itu yang terjadi, pola urbanisasi yang berdampak negatif pun akan terus terpelihara.