Palembang, (ANTARA Sumsel) - Indonesia saat ini menjadi sorotan dunia setelah mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan yang hebat sepanjang musim kemarau tahun ini.
Negara ini diperkirakan akan menjadi penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar atas terbakarnya sekitar 2 juta hektare lahan gambut.
Kondisi ini dipastikan akan semakin memperburuk posisi Indonesia di antara 12 negara pengemisi karbon terbesar di dunia, mengingat sebelumnya sudah menempatkan pada urutan ke-6 di bawah Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Rusia.
Adalah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP) 21 di Paris, Perancis, Senin (30/11), menjadi momentum Indonesia untuk menegaskan komitmennya dalam pelestarian lingkungan.
Presiden Joko Widodo yang saat ini sudah berada di Paris, dijadwalkan akan berpidato selama lima menit pada pembukaan konferensi. Ia menjadi satu dari 147 kepala pemerintahan yang mendapatkan kesempatan emas itu.
Presiden dalam pidatonya itu, berencana menyampaikan kebijakan negara berkenaan dengan perbaikan tata kelola lahan dan hutan, termasuk lahan gambut.
Hal ini penting disampaikan, karena Indonesia ingin memastikan komitmen semua pihak dalam menghadapi perubahan iklim karena Indonesia berkepentingan dalam memastikan terminimalkannya dampak perubahan iklim.
"Kita memberikan dukungan politik, sama seperti konferensi sebelumnya, kita berikan komitmen," kata Presiden sebelum bertolak ke Paris, Prancis, Minggu pagi ini dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
Jokowi mengatakan Indonesia memiliki 17.000 pulau dan bila permukaan air laut naik akibat perubahan iklim maka akan berpengaruh sehingga Indonesia berkepentingan untuk memastikan hal itu diminimalisir.
Selain itu, kata Presiden, dalam KTT Perubahan Iklim yang akan dimulai awal pekan depan, Indonesia akan menyampaikan hal-hal yang sudah dilakukan selama ini dalam menghadapi perubahan iklim.
"Nanti akan kita sampaikan masalah secara konkret apa yang kita kerjakan termasuk restorasi gambut, review ijin lama dan moratorium dengan jangka waktu yang tertentu," tegasnya.
Presiden mengatakan pemerintah bisa saja mencabut ijin pengelolaan hutan bila terbukti menyalahi peruntukan, dan akan mengembalikan fungsi-fungsi wilayah serapan air dan hutan di masa mendatang.
Sebelumnya, pemerintah menegaskan penghentian pemberian izin konsesi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di lahan gambut menyusul kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana kabut asap di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
"Tidak ada lagi pemberian izin konsesi membuka perkebunan sawit di lahan gambut. Pemerintah akan melakukan moratorium," kata Jokowi.
Kepala Negara menjelaskan bahwa izin konsesi perkebunan di lahan gambut saat ini sudah mencapai 8,2 juta hektare atau dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi penambahan 6,3 juta hektare.
Menurut dia, kalau pun ada pemberian izin konsesi perkebunan di lahan gambut itu sudah mendapat sertifikasi. Itu pun jenis tanaman bukan komoditas kelapa sawit tetapi kayu-kayuan seperti kayu ramin sebagai tanaman penghijauan.
Oleh sebab itu, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya agar memperketat semua bentuk perizinan tentang kehutanan dan perkebunan dan merevisi izin-izin yang telah dikeluarkan.
"Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup saya minta untuk merevisi kembali izin-izin tentang kehutanan dan perkebunan, sehingga masalah kebakaran hutan dan lahan seperti yang terjadi saat ini tidak terulang lagi masa yang akan datang," katanya.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan perusahaan perkebunan yang lahannya terbakar harus melakukan pemadaman hingga tuntas dan memperbanyak kanal-kanal sebagai sumber air, serta melengkapi peralatan pemadaman api.
"Mereka harus bertanggung jawab sendiri jika lahannya terbakar," Siti Nurbaya.
Fokus Pemulihan
Ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya Momon Sodik Imanudin mengatakan atas kejadian bencana ini, terdapat dua hal yang dapat dilakukan pemerintah terhadap lahan gambut.
Untuk lahan yang sudah dibuka tutupannya (menjadi hutan tanam industri) maka tidak ada cara lain selain menjaga kelembaban lahan gambut dengan membuat sekat kanal beserta pintu air.
Sementara, untuk lahan gambut yang belum dibuka tutupannya, maka jangan disentuh dan dibiarkan saja untuk memulihkan penyerapan air di alam terbuka.
"Keberadaan sekat kanal tidak ada gunanya jika tidak dilengkapi sarana dan prasarana pintu air, karena di saat musim kemarau, air akan terbuang ke sungai karena tidak sarana yang mencegahnya mengalir. Inilah yang menyebabkan lahan gambut rawan terbakar," kata Momon dalam diskusi dengan sejumlah wartawan belum lama ini.
Ia mengatakan, saat musim hujan, areal yang memiliki manajemen pintu air akan dibuka untuk menampung air sebanyak-banyaknya masuk ke perkebunan dan mengisi kanal-kanal sehingga muka air terjaga di angka 30-40 cm.
Kemudian, saat musim kemarau, pintu air ditutup supaya air tetap tersimpan di kanal sehingga lahan gambut tetap basah karena muka air terjaga.
"Seperti diketahui, lahan gambut itu berkedalaman antara 1-15 meter sehingga apabila terbakar maka api akan menjalar di bawah tanah dan sangat sulit dipadamkan. Jadi kuncinya itu pada manajemen air, jika bisa mengelola di saat kemarau maka tidak akan terbakar," kata dia.
Untuk itu, perlu suatu sistem pengawasan dari pemerintah yang memastikan bahwa suatu areal perkebunan memiliki sekat kanal dan pintu air.
Bahkan harus ada pengawasan, apakah kanal tersebut dipelihara oleh pemilik perkebunan atau tidak, dalam arti dalam kondisi tidak kering dan dangkal.
"Disinyalir ini terjadi pada perkebunan-perkebunan kecil yang sedikit modalnya, tapi untuk perkebunan besar yang dikelola perusahaan besar, bisa dipastikan sudah bagus pengelolaannya ada sekat primer dan sekat sekunder dan pintu airnya," kata ahli yang tak berapa lama lagi bergelar profesor ini.
Ia menjelaskan, hingga kini penggunaan kanal dan pintu air ini menjadi satu-satunya cara untuk menjaga lahan gambut yang sudah dibuka tutupannya (kubah) tetap basah.
Sementara untuk kawasan gambut yang belum dibuka, menurut Momon, sebaiknya mulai dihentikan karena telah terjadi kerusakan sistem air tanah akibat masifnya pengalihfungsian lahan.
Untuk menguranginya, pengajar di Fakultas Pertanian Unsri ini mengatakan pemerintah dan instansi terkait harus fokus pada pemulihan terlebih dahulu.
"Butuh usaha radikal dari pemerintah yakni bagaimana yang sudah dibuka ini dipulihkan, sedangkan yang masih perawan jangan diganggu terutama untuk lahan gambut berkedalaman di atas 3 meter. Jika pun terpaksa, itu untuk kepentingan nasional," kata dia.
Sementara itu, pada pertemuan Para Pihak ke-21 (COP-21) Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) itu akan dirundingkan komitmen bersama dalam menjaga kenaikan suhu bumi di bawah dua deraat celsius dibandingkan masa pra-Revolusi Industri.
Tiap anggota UNFCCC telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam dokumen niatan nasional kontribusi penurunan emisi (INDC).
Indonesia juga telah berkomitmen menekan emisi 29 persen secara mandiri dari kondisi tanpa intervensi pada 2030, dan menjadi 41 persen jika ada bantuan luar.
Secara geografis, posisi Indonesia sangat penting untuk isu perubahan iklim.
Dengan luas hutan nomor tiga di dunia dan rawa gambut terluas di dunia sekitar 20,6 juta hektare maka Indonesia sejatinya gudang penyimpanan karbon jika kedua ekosistem itu terjaga. Namun, sebaliknya, jika rusak maka menjadi bencana.
Berbicara di bawah sorotan mata dunia, Indonesia berpeluang meraih simpati dan menaikkan harga diri karena negara ini dapat menjadi solusi perubahan iklim.
Tapi di sisi lain, bangsa lain juga mencatat bahwa Indonesia juga rawan terhadap bencana perubahan iklim.
Negara ini diperkirakan akan menjadi penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar atas terbakarnya sekitar 2 juta hektare lahan gambut.
Kondisi ini dipastikan akan semakin memperburuk posisi Indonesia di antara 12 negara pengemisi karbon terbesar di dunia, mengingat sebelumnya sudah menempatkan pada urutan ke-6 di bawah Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Rusia.
Adalah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP) 21 di Paris, Perancis, Senin (30/11), menjadi momentum Indonesia untuk menegaskan komitmennya dalam pelestarian lingkungan.
Presiden Joko Widodo yang saat ini sudah berada di Paris, dijadwalkan akan berpidato selama lima menit pada pembukaan konferensi. Ia menjadi satu dari 147 kepala pemerintahan yang mendapatkan kesempatan emas itu.
Presiden dalam pidatonya itu, berencana menyampaikan kebijakan negara berkenaan dengan perbaikan tata kelola lahan dan hutan, termasuk lahan gambut.
Hal ini penting disampaikan, karena Indonesia ingin memastikan komitmen semua pihak dalam menghadapi perubahan iklim karena Indonesia berkepentingan dalam memastikan terminimalkannya dampak perubahan iklim.
"Kita memberikan dukungan politik, sama seperti konferensi sebelumnya, kita berikan komitmen," kata Presiden sebelum bertolak ke Paris, Prancis, Minggu pagi ini dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
Jokowi mengatakan Indonesia memiliki 17.000 pulau dan bila permukaan air laut naik akibat perubahan iklim maka akan berpengaruh sehingga Indonesia berkepentingan untuk memastikan hal itu diminimalisir.
Selain itu, kata Presiden, dalam KTT Perubahan Iklim yang akan dimulai awal pekan depan, Indonesia akan menyampaikan hal-hal yang sudah dilakukan selama ini dalam menghadapi perubahan iklim.
"Nanti akan kita sampaikan masalah secara konkret apa yang kita kerjakan termasuk restorasi gambut, review ijin lama dan moratorium dengan jangka waktu yang tertentu," tegasnya.
Presiden mengatakan pemerintah bisa saja mencabut ijin pengelolaan hutan bila terbukti menyalahi peruntukan, dan akan mengembalikan fungsi-fungsi wilayah serapan air dan hutan di masa mendatang.
Sebelumnya, pemerintah menegaskan penghentian pemberian izin konsesi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di lahan gambut menyusul kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana kabut asap di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
"Tidak ada lagi pemberian izin konsesi membuka perkebunan sawit di lahan gambut. Pemerintah akan melakukan moratorium," kata Jokowi.
Kepala Negara menjelaskan bahwa izin konsesi perkebunan di lahan gambut saat ini sudah mencapai 8,2 juta hektare atau dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi penambahan 6,3 juta hektare.
Menurut dia, kalau pun ada pemberian izin konsesi perkebunan di lahan gambut itu sudah mendapat sertifikasi. Itu pun jenis tanaman bukan komoditas kelapa sawit tetapi kayu-kayuan seperti kayu ramin sebagai tanaman penghijauan.
Oleh sebab itu, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya agar memperketat semua bentuk perizinan tentang kehutanan dan perkebunan dan merevisi izin-izin yang telah dikeluarkan.
"Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup saya minta untuk merevisi kembali izin-izin tentang kehutanan dan perkebunan, sehingga masalah kebakaran hutan dan lahan seperti yang terjadi saat ini tidak terulang lagi masa yang akan datang," katanya.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan perusahaan perkebunan yang lahannya terbakar harus melakukan pemadaman hingga tuntas dan memperbanyak kanal-kanal sebagai sumber air, serta melengkapi peralatan pemadaman api.
"Mereka harus bertanggung jawab sendiri jika lahannya terbakar," Siti Nurbaya.
Fokus Pemulihan
Ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya Momon Sodik Imanudin mengatakan atas kejadian bencana ini, terdapat dua hal yang dapat dilakukan pemerintah terhadap lahan gambut.
Untuk lahan yang sudah dibuka tutupannya (menjadi hutan tanam industri) maka tidak ada cara lain selain menjaga kelembaban lahan gambut dengan membuat sekat kanal beserta pintu air.
Sementara, untuk lahan gambut yang belum dibuka tutupannya, maka jangan disentuh dan dibiarkan saja untuk memulihkan penyerapan air di alam terbuka.
"Keberadaan sekat kanal tidak ada gunanya jika tidak dilengkapi sarana dan prasarana pintu air, karena di saat musim kemarau, air akan terbuang ke sungai karena tidak sarana yang mencegahnya mengalir. Inilah yang menyebabkan lahan gambut rawan terbakar," kata Momon dalam diskusi dengan sejumlah wartawan belum lama ini.
Ia mengatakan, saat musim hujan, areal yang memiliki manajemen pintu air akan dibuka untuk menampung air sebanyak-banyaknya masuk ke perkebunan dan mengisi kanal-kanal sehingga muka air terjaga di angka 30-40 cm.
Kemudian, saat musim kemarau, pintu air ditutup supaya air tetap tersimpan di kanal sehingga lahan gambut tetap basah karena muka air terjaga.
"Seperti diketahui, lahan gambut itu berkedalaman antara 1-15 meter sehingga apabila terbakar maka api akan menjalar di bawah tanah dan sangat sulit dipadamkan. Jadi kuncinya itu pada manajemen air, jika bisa mengelola di saat kemarau maka tidak akan terbakar," kata dia.
Untuk itu, perlu suatu sistem pengawasan dari pemerintah yang memastikan bahwa suatu areal perkebunan memiliki sekat kanal dan pintu air.
Bahkan harus ada pengawasan, apakah kanal tersebut dipelihara oleh pemilik perkebunan atau tidak, dalam arti dalam kondisi tidak kering dan dangkal.
"Disinyalir ini terjadi pada perkebunan-perkebunan kecil yang sedikit modalnya, tapi untuk perkebunan besar yang dikelola perusahaan besar, bisa dipastikan sudah bagus pengelolaannya ada sekat primer dan sekat sekunder dan pintu airnya," kata ahli yang tak berapa lama lagi bergelar profesor ini.
Ia menjelaskan, hingga kini penggunaan kanal dan pintu air ini menjadi satu-satunya cara untuk menjaga lahan gambut yang sudah dibuka tutupannya (kubah) tetap basah.
Sementara untuk kawasan gambut yang belum dibuka, menurut Momon, sebaiknya mulai dihentikan karena telah terjadi kerusakan sistem air tanah akibat masifnya pengalihfungsian lahan.
Untuk menguranginya, pengajar di Fakultas Pertanian Unsri ini mengatakan pemerintah dan instansi terkait harus fokus pada pemulihan terlebih dahulu.
"Butuh usaha radikal dari pemerintah yakni bagaimana yang sudah dibuka ini dipulihkan, sedangkan yang masih perawan jangan diganggu terutama untuk lahan gambut berkedalaman di atas 3 meter. Jika pun terpaksa, itu untuk kepentingan nasional," kata dia.
Sementara itu, pada pertemuan Para Pihak ke-21 (COP-21) Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) itu akan dirundingkan komitmen bersama dalam menjaga kenaikan suhu bumi di bawah dua deraat celsius dibandingkan masa pra-Revolusi Industri.
Tiap anggota UNFCCC telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam dokumen niatan nasional kontribusi penurunan emisi (INDC).
Indonesia juga telah berkomitmen menekan emisi 29 persen secara mandiri dari kondisi tanpa intervensi pada 2030, dan menjadi 41 persen jika ada bantuan luar.
Secara geografis, posisi Indonesia sangat penting untuk isu perubahan iklim.
Dengan luas hutan nomor tiga di dunia dan rawa gambut terluas di dunia sekitar 20,6 juta hektare maka Indonesia sejatinya gudang penyimpanan karbon jika kedua ekosistem itu terjaga. Namun, sebaliknya, jika rusak maka menjadi bencana.
Berbicara di bawah sorotan mata dunia, Indonesia berpeluang meraih simpati dan menaikkan harga diri karena negara ini dapat menjadi solusi perubahan iklim.
Tapi di sisi lain, bangsa lain juga mencatat bahwa Indonesia juga rawan terhadap bencana perubahan iklim.