Palembang, (ANTARA Sumsel) - Bumi bukan untuk hari ini saja, bumi untuk diwariskan kepada anak cucu sehingga siapa pun harus menjaga kelestariannya.

Namun, menjaga bumi saat ini bukan perkara mudah di tengah mendominasinya sistem perekonomian kapital, yakni perekonomian yang menyerahkan pada mekanisme pasar.

Sistem perekonomian ini sangat membahayakan lingkungan karena cenderung mendorong pelakunya menjadi serakah dalam mengeksplotasi kekayaan alam.

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam kuliah umum bertema "Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dan Ekonomi Hijau Abad 21" di Palembang, Rabu (25/11), mengatakan bahwa sudah saatnya negara-negara di dunia beralih dari sistem ekonomi kapital ke ekonomi hijau karena bumi sudah tertekan dan terancam keberlangsungannya.

Menurut Presiden The Global Green Growth Institute ini, rezim ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan ini sudah menjadi tuntutan dunia.

Mengapa? Karena ekonomi hijau itu suatu perekonomian yang tidak menghasilkan emisi karbon dioksida dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Keinginan itu, kata SBY, sejatinya sudah dikonsensuskan oleh negara-negara di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena adanya kerusakan lingkungan yang parah akibat revolusi hijau.

Kemudian, konsesus ini diperkuat lagi pada 20 tahun kemudian di kota yang sama dalam Konferensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan pada tahun 2012.

Terkini, tuntutan penerapan ekonomi hijau ini terimplikasi jelas dalam tujuan yang ingin dicapai dalam Sustainable Development Goals 2015--2030 (pengganti MDGs), yakni pengurangan kemiskinan dan menghilangkan kelaparan. (SBY menjadi salah seorang konseptornya).

Konsesus ini akan dipertegas kembali pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Senin (30/11).

Namun, menurut SBY, persoalannya bukan pada ide baru rezim ekonomi ini, tetapi mau atau tidaknya suatu bangsa untuk menerapkannya.

"Ini bukan persoalan ide barunya, tetapi terkadang bangsa kita sendiri yang enggan berubah. Sudah tahu salah, tetapi tetap mau mempertahankan," kata dia.

Padahal, kata SBY, setiap negara di dunia sudah menyadari pentingnya suatu perekonomian yang berkelanjutan karena menempatkan penyediaan pangan menjadi agenda utama. 

Hal ini dilatari perkiraan pada penduduk dunia akan berjumlah 9 miliar--10 miliar jiwa pada tahun 2050 (saat ini sudah 7,3 miliar jiwa), dengan kebutuhan pangan diperkirakan akan naik 60--70 persen. Di sisi lain, bumi tidak bertambah dan sumber daya alamnya makin tergerus.

Selain itu, kenyataan yang ada saat ini, sebanyak 27,4 persen penduduk dunia tergolong miskin atau berjumlah 2 miliar jiwa, sementara sebanyak 1 miliar jiwa mengalami kelaparan. 

"Artinya, ada bangsa yang kekurangan, tetapi ada bangsa yang kelebihan pangan. Sistem ekonomi kapital, bisa jadi yang menjadi penyebabnya. Akan tetapi, jika beralih ke ekonomi hijau, tujuannya adalah kesejahteraan yang berkeadilan sosial," kata dia.

Lantaran itu, Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia, mau tidak mau harus menerapkan ekonomi hijau ini. Pasalnyaa, jika tidak, bangsa ini akan menjadi bangsa yang tertinggal.

Jumlah penduduk negara ini diperkirakan tembus 306 juta jiwa pada tahun 2035, sementara kelompok pengonsumsi makanan bermutu akan bertambah dari 55 juta jiwa menjadi 125 juta jiwa pada tahun 2035.

"Revolusi hijau yang dahulu dilakukan memang berhasil meningkat produksi pangan, tetapi penggunaan pupuk dan zat kimia secara berlebihan telah merusak lingkungan. Model seperti ini seharusnya ditinggalkan dan beralih ke pertanian hijau," kata SBY

Doktor lulusan IPB bidang ilmu ekonomi pertanian itu mengemukakan bahwa penerapan pertanian hijau sangat penting karena sektor ini menyerap air hingga 70 persen dari yang digunakan di muka bumi, menggunakan lahan hingga 34,3 persen, menghasilkan gas buang 17--30 persen, menyerap pekerja hingga 37,3 persen, dan khusus di negara berkembang mendominasi hingga 97 persen dari sektor lain.

"Artinya, sektor pertanian ini besar sekali sumbangsihnya. Jika dikelola dan diimplementasikan dengan benar, akan membawa kesejahteraan," kata dia.

Ia berharap pemerintah saat ini bisa membuat kebijakan regulasi yang tepat terkait dengan pertanian, kemudian penyediaan yang memadai, adanya riset yang unggul, dukungan infrastruktur waduk, irigasi, dan embung, pola cocok tanam bagus yang disebarkan ke komunitas petani.

Kemudian, rantai produksi, distribusi, hingga konsumsi harus efisien supaya harga murah, adanya kemitraan pemerintah, dunia usaha, petani, dan masyarakat, serta kepemimpinan yang bertanggung jawab di tiap-tiap daerah.

"Tidak ada resep ajaib, jadi harus berpikir ke depan dan mau bekerja keras karena tanpa ketahanan pangan maka warganya tidak akan sejahtera, apalagi mencapai suatu kualitas hidup," kata SBY.

Menurut dia, dalam situasi ini, peran negara yang paling menentukan karena hanya negara yang bisa menjadi benteng terakhir penjaga lingkungan.

Mulai saat ini, negara harus berhitung dalam setiap penggunaan sumber daya alam dari mulai produksi, distribusi hingga konsumsi.

"Kita semua harus keluar dari ekonomi yang serakah dan beralih ke ekonomi hijau. Pakailah yang dibutuhkan saja," ujar kata dia.



Kesalahan Masa Lalu

Sementara itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan bahwa negara ini harus belajar dari kesalahan masa lalu dalam pemanfaatkan sumber daya alamnya.

Bangsa ini sangat perlu mengevaluasi diri karena mendapati kenyataan bahwa kekayaan alam berkurang secara masif, sementara penduduknya masih berkutat dengan kemiskinan.

Menurut dia, Indonesia sebagai negara yang kaya SDA ini sudah kehilangan lima kesempatan emas akibat kelalaian dan tidak mau mengevaluasi diri.

Pertama, saat awal orde baru, yakni ketika dianugerahi hutan yang luas dan hijau. Negara tidak menggunakannya dengan baik dan tidak memikirkan keberlangsungannya agar pohon yang ditebang kemudian bisa ditanam kembali dan menghasilkan lagi.

Kedua, ketika Indonesia mulai menjajal energi minyak bumi yang lupa untuk membangun dan memperbanyak kilang sendiri. 

Lalu, yang ketiga terhadap sumber daya laut, yakni membiarkan begitu saja pencurian ikan sehingga para nelayan tetap hidup miskin, contohnya di Maluku.

"Apa yang dilakukan Menteri Susi bagus dengan menenggelamkannya sehingga saat ini nelayan bebas tanpa saingan dan mendapatkan tangkapan ikan yang besar. Akan tetapi, yang lebih bagus lagi bagaimana membuat strategi jangka panjang sehingga sumber daya laut ini bisa berkembang dan memiliki nilai tambah," kata dia.

Kemudian, kesempatan emas keempat yang hilang, yakni kecerobohan dalam mengolah sumber daya mineral. Negara memberikan ke asing selama puluhan tahun, sementara hanya mendapatkan secuil keuntungan.

Begitu pula, dengan kesempatan kelima, yakni terhadap pengelolaan gas yang menjual jorjoran ke luar negeri dengan harga yang relatif sangat murah.

Berkaca dari kesalahan ini, Rizal mengharapkan para pengambil kebijakan untuk belajar dari kesalahan masa lalu karena jika tidak maka bangsa ini tidak akan cenderung jalan di tempat bahkan tertinggal dari negara lain.

"Pada era 1970-an, Indonesia lebih maju dari Qatar, bisa dikatakan negara itu masih naik unta. Akan tetapi, lihat kini, mereka sudah menjadi negara kaya karena cerdas dalam menggunakan energinya," kata dia.

Pembangunan berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan harus diterapkan agar bangsa ini tidak melakukan kesalahan yang sama. 

Meski sudah sepakat dengan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 7 persen, sejatinya hal itu tidak membutakan mata dengan berdamai pada keserakahan.

Pewarta : Dolly Rosana
Editor : Ujang
Copyright © ANTARA 2024