Palembang (ANTARA Sumsel) - Kebakaran hutan dan lahan sudah berlangsung hampir setengah abad dengan menyebabkan kerugian yang luar biasa, baik materi dan nonmateri.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan merupakan yang paling besar bila dibandingkan dengan bencana lain karena dampaknya berupa kabut asap.
Lantaran itu, hingga Oktober 2015, BNPB telah menghabiskan anggaran sekitar Rp500 miliar untuk mengatasi dampak kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap.
Angka tersebut, kata dia, bisa lebih besar lagi mengingat penanganan kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap masih terus berlangsung hingga kini.
Berdasarkan data BMKG, titik api masih terpantau di Sumatera Selatan, Minggu (1/11), berjumlah total 156 hotspot dengan jumlah tertinggi berada di Ogan Komering Ilir yakni 115 hotspot .
Pada tahun 2014, kata Sutopo, biaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan juga menelan angka yang sangat besar yakni Rp620 miliar.
Terkait dengan besarnya dana APBN yang dikeluarkan negara untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan ini, ahli hukum lingkungan hidup dari Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mengatakan sudah saatnya pemerintah menerapkan sistem reimburse (rembes) atas dana yang dikeluarkan itu.
Andri mengatakannya saat menjadi saksi ahli pada persidangan gugatan perdata Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup terhadap perusahaan pemasok Asia Pulp dan Paper, PT Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri Palembang, Selasa (20/11).
"Pemerintah bisa saja menggunakan uangnya terlebih dahulu untuk upaya pemadaman, tapi dana yang dikeluarkan tersebut harus diganti oleh pihak yang bertanggung jawab. Lantas siapa yang bertanggung jawab itu, semua ini dapat diperoleh melalui proses hukum yakni secara pidana, perdata, atau administrasi," kata dia.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia mata kuliah hukum lingkungan ini, tindakan pemerintah yang menggunakan dana APBN untuk memadamkan api merupakan tindakan yang tidak memegang prinsip keadilan karena sama saja dengan mensubsidi para pelaku pembersihan lahan dengan cara membakar.
"Tidak boleh menggunakan dana APBN, karena sama saja itu mensubsidi pelaku pembakar lahan. Negara tetap harus membebankan biayanya ke pelaku," kata Andri yang dihadirkan sebagai saksi oleh penggugat yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut dia, model reimburse ini harus diperkenalkan di Tanah Air karena hingga kini negara yang selalu mengeluarkan biaya untuk memadamkan api atas tindakan dari pihak lain.
"Untuk proses hukum secara pidana relatif sulit, karena harus ada pembuktian, tapi untuk perdata masih mungkin karena indikatornya adanya kerugian, seperti yang dilakukan KLHK ke PT BMH," kata dia.
Ia menerangkan hanya saja untuk menilai berapa besar kerugian yang harus dibebankan kepada penanggung jawab, tetap harus menggunakan lembaga bersertifikasi.
"Dalam lingkungan hidup, itu ada hitung-hitungan sendiri, setahu saya ada metodenya mulai menghitung kerugian yang terjadi pasca-kejadian hingga potensi lingkungan hidup yang hilang akibat kejadian ini. Bahkan, saya menilai ini besar sekali, karena siapa yang bisa menilai harga suatu lingkungan hidup di masa datang," kata dia.
Nilai gugatan
PT Bumi Mekar Hijau selaku pihak tergugat mempermasalahkan nilai gugatan yang dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yakni mencapai Rp7,8 triliun karena dianggap tidak seusai dengan fakta yang ada.
Ketua tim penasihat hukum PT BMH Kristianto seusai menghadiri sidang gugatan perdata KLHK mengatakan, ganti rugi ini diasumsikan pada kondisi ideal sementara sejak dimulai pemanfaatan lahan sudah tidak ideal.
"PT BMH mendapatkan surat izin pengelolaan pada 2004 sementara kasus bencana kebakaran hebat terjadi di tahun 1997, artinya kondisi lahan waktu itu sudah rusak," kata dia.
Kemudian, ia melanjutkan, dengan investasi sebesar Rp1,5 triliun, maka lahan tersebut menjadi subur dan produktif.
"Dari alamnya saja sudah berubah ketika diterima, lalu perusahaan memperbaikinya. Jika nilai gugatannya seperti ini, maka sama saja seperti gubuk yang terbakar tapi minta ganti rumah. Seharusnya melihat kondisi awal, bukan kondisi idealnya, kecuali memang dari awal sudah bagus," kata dia.
Perusahaan juga mengharapkan majelis hakim mempertimbangkan lokasi kebakaran karena terjadi di area akasia yang siap panen dengan seluas 20 ribu hektare (luas masih dipertanyakan juga) dari total 250 hektare areal konsesi.
Bukannya, lahan yang tidak produktif sehingga ada unsur kesengajaan untuk dibakar dengan maksud pembersihan.
"Logikanya di mana, perusahaan yang sudah investasi besar sudah membangun kanal dengan biaya yang besar mau membakar lahannya sendiri," kata dia.
Sementara itu, saksi ahli Atja Sondjaja dalam keterangannya di persidangan yang dipimpin Parlas Nababan mengatakan, dalam gugatan perbuatan melawan hukum harus ada unsur kerugian.
"Kerugian ini, harus dijelaskan dalam bentuk materil dan immateril. Semuanya bisa dikonversikan ke uang. Semisal untuk kasus kebakaran lahan, berapa kerugian yang diakibatkan seperti kesehatan, dan lainnya dapat dikonversikan ke uang," kata dia.
PT Bumi Mekar Hijau digugat atas perbuatan melawan hukum atas dugaan pembakaran lahan di area seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Akibat perbuatannya tersebut, negara menyatakan telah mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.
Jika diamati dari nilai gugatan, kasus tersebut menjadi catatan tersendiri karena menjadi yang terbesar dalam sejarah KLHK.
Direktur Eksekutif Daerah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengatakan sudah saatnya pemerintah tidak hanya berfokus pada upaya-upaya teknis memadamkan api akibat kebakaran lahan.
"Sudah saatnya, pemerintah melakukan upaya-upaya strategis yang selama ini selalu absen dilakukan oleh negara atau pemerintah, yaitu penegakan hukum dan peninjauan perizinan terhadap perusahaan yang membakar lahan dan hutan," kata Hadi.
Ia menilai, penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, selama ini hanya diberlakukan untuk masyarakat kecil yang dijadikan kambing hitam atas bencana kabut asap.
Padahal, berdasarkan monitoring Walhi Sumsel, hotspot terbanyak sejak bulan Agustus-September 2015 berada di 18 perusahaan Hutan Tanam Industri (HTI) dan 60 perusahaan perkebunan yang tersebar di Sumsel.
"Untuk itu, presiden harus memimpin langsung upaya penegakan hukum dan review perizinan yang selama ini selalu absen dilakukan oleh pejabat di bawahnya dan di daerah," kata dia.
Ia mengemukakan, hal ini harus dilakukan tanpa tebang pilih sehingga perusahaan-perusahaan besar yang selama ini bersembunyi akan terjerat.
Selain itu, Presiden juga harus aktif memonitoring terhadap perusahaan-perusahaan yang saat ini sedang diadili dan diproses hukumnya baik di pengadilan maupun oleh penegak hukum kepolisian.
"Walhi mengamati upaya penegakan hukum baik pidana maupun perdata yang dilakukan oleh pemerintah dan penegakan hukum tidak serius. Lebih menyedihkan lagi, jika mencermati vonis yang dikeluarkan hakim," kata dia.
Menjerat pelaku dan pihak yang bertanggung jawab hanya dapat dilakukan melalui proses hukum, termasuk apabila negara ingin menerapkan sistem reimburse.
Hingga kini penegakan hukum terkait kasus pembakaran lahan dan hutan bukanlah perkara mudah karena secara pidana harus memiliki bukti, kemudian secara perdata harus ada unsur kerugian, sementara secara administrasi harus ada bukti pelanggaran perizinan sesuai dengan perjanjian.
Namun, terlepas dari persoalan itu, tentunya rakyat tidak ingin uang negara dihabiskan untuk memadamkan kebakaran lahan akibat tindakan pihak yang tidak bertanggung jawab karena sejatinya masih banyak kegiatan lain yang membutuhkan dukungan dana dari pemerintah.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan merupakan yang paling besar bila dibandingkan dengan bencana lain karena dampaknya berupa kabut asap.
Lantaran itu, hingga Oktober 2015, BNPB telah menghabiskan anggaran sekitar Rp500 miliar untuk mengatasi dampak kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap.
Angka tersebut, kata dia, bisa lebih besar lagi mengingat penanganan kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap masih terus berlangsung hingga kini.
Berdasarkan data BMKG, titik api masih terpantau di Sumatera Selatan, Minggu (1/11), berjumlah total 156 hotspot dengan jumlah tertinggi berada di Ogan Komering Ilir yakni 115 hotspot .
Pada tahun 2014, kata Sutopo, biaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan juga menelan angka yang sangat besar yakni Rp620 miliar.
Terkait dengan besarnya dana APBN yang dikeluarkan negara untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan ini, ahli hukum lingkungan hidup dari Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mengatakan sudah saatnya pemerintah menerapkan sistem reimburse (rembes) atas dana yang dikeluarkan itu.
Andri mengatakannya saat menjadi saksi ahli pada persidangan gugatan perdata Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup terhadap perusahaan pemasok Asia Pulp dan Paper, PT Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri Palembang, Selasa (20/11).
"Pemerintah bisa saja menggunakan uangnya terlebih dahulu untuk upaya pemadaman, tapi dana yang dikeluarkan tersebut harus diganti oleh pihak yang bertanggung jawab. Lantas siapa yang bertanggung jawab itu, semua ini dapat diperoleh melalui proses hukum yakni secara pidana, perdata, atau administrasi," kata dia.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia mata kuliah hukum lingkungan ini, tindakan pemerintah yang menggunakan dana APBN untuk memadamkan api merupakan tindakan yang tidak memegang prinsip keadilan karena sama saja dengan mensubsidi para pelaku pembersihan lahan dengan cara membakar.
"Tidak boleh menggunakan dana APBN, karena sama saja itu mensubsidi pelaku pembakar lahan. Negara tetap harus membebankan biayanya ke pelaku," kata Andri yang dihadirkan sebagai saksi oleh penggugat yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut dia, model reimburse ini harus diperkenalkan di Tanah Air karena hingga kini negara yang selalu mengeluarkan biaya untuk memadamkan api atas tindakan dari pihak lain.
"Untuk proses hukum secara pidana relatif sulit, karena harus ada pembuktian, tapi untuk perdata masih mungkin karena indikatornya adanya kerugian, seperti yang dilakukan KLHK ke PT BMH," kata dia.
Ia menerangkan hanya saja untuk menilai berapa besar kerugian yang harus dibebankan kepada penanggung jawab, tetap harus menggunakan lembaga bersertifikasi.
"Dalam lingkungan hidup, itu ada hitung-hitungan sendiri, setahu saya ada metodenya mulai menghitung kerugian yang terjadi pasca-kejadian hingga potensi lingkungan hidup yang hilang akibat kejadian ini. Bahkan, saya menilai ini besar sekali, karena siapa yang bisa menilai harga suatu lingkungan hidup di masa datang," kata dia.
Nilai gugatan
PT Bumi Mekar Hijau selaku pihak tergugat mempermasalahkan nilai gugatan yang dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yakni mencapai Rp7,8 triliun karena dianggap tidak seusai dengan fakta yang ada.
Ketua tim penasihat hukum PT BMH Kristianto seusai menghadiri sidang gugatan perdata KLHK mengatakan, ganti rugi ini diasumsikan pada kondisi ideal sementara sejak dimulai pemanfaatan lahan sudah tidak ideal.
"PT BMH mendapatkan surat izin pengelolaan pada 2004 sementara kasus bencana kebakaran hebat terjadi di tahun 1997, artinya kondisi lahan waktu itu sudah rusak," kata dia.
Kemudian, ia melanjutkan, dengan investasi sebesar Rp1,5 triliun, maka lahan tersebut menjadi subur dan produktif.
"Dari alamnya saja sudah berubah ketika diterima, lalu perusahaan memperbaikinya. Jika nilai gugatannya seperti ini, maka sama saja seperti gubuk yang terbakar tapi minta ganti rumah. Seharusnya melihat kondisi awal, bukan kondisi idealnya, kecuali memang dari awal sudah bagus," kata dia.
Perusahaan juga mengharapkan majelis hakim mempertimbangkan lokasi kebakaran karena terjadi di area akasia yang siap panen dengan seluas 20 ribu hektare (luas masih dipertanyakan juga) dari total 250 hektare areal konsesi.
Bukannya, lahan yang tidak produktif sehingga ada unsur kesengajaan untuk dibakar dengan maksud pembersihan.
"Logikanya di mana, perusahaan yang sudah investasi besar sudah membangun kanal dengan biaya yang besar mau membakar lahannya sendiri," kata dia.
Sementara itu, saksi ahli Atja Sondjaja dalam keterangannya di persidangan yang dipimpin Parlas Nababan mengatakan, dalam gugatan perbuatan melawan hukum harus ada unsur kerugian.
"Kerugian ini, harus dijelaskan dalam bentuk materil dan immateril. Semuanya bisa dikonversikan ke uang. Semisal untuk kasus kebakaran lahan, berapa kerugian yang diakibatkan seperti kesehatan, dan lainnya dapat dikonversikan ke uang," kata dia.
PT Bumi Mekar Hijau digugat atas perbuatan melawan hukum atas dugaan pembakaran lahan di area seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Akibat perbuatannya tersebut, negara menyatakan telah mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.
Jika diamati dari nilai gugatan, kasus tersebut menjadi catatan tersendiri karena menjadi yang terbesar dalam sejarah KLHK.
Direktur Eksekutif Daerah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengatakan sudah saatnya pemerintah tidak hanya berfokus pada upaya-upaya teknis memadamkan api akibat kebakaran lahan.
"Sudah saatnya, pemerintah melakukan upaya-upaya strategis yang selama ini selalu absen dilakukan oleh negara atau pemerintah, yaitu penegakan hukum dan peninjauan perizinan terhadap perusahaan yang membakar lahan dan hutan," kata Hadi.
Ia menilai, penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, selama ini hanya diberlakukan untuk masyarakat kecil yang dijadikan kambing hitam atas bencana kabut asap.
Padahal, berdasarkan monitoring Walhi Sumsel, hotspot terbanyak sejak bulan Agustus-September 2015 berada di 18 perusahaan Hutan Tanam Industri (HTI) dan 60 perusahaan perkebunan yang tersebar di Sumsel.
"Untuk itu, presiden harus memimpin langsung upaya penegakan hukum dan review perizinan yang selama ini selalu absen dilakukan oleh pejabat di bawahnya dan di daerah," kata dia.
Ia mengemukakan, hal ini harus dilakukan tanpa tebang pilih sehingga perusahaan-perusahaan besar yang selama ini bersembunyi akan terjerat.
Selain itu, Presiden juga harus aktif memonitoring terhadap perusahaan-perusahaan yang saat ini sedang diadili dan diproses hukumnya baik di pengadilan maupun oleh penegak hukum kepolisian.
"Walhi mengamati upaya penegakan hukum baik pidana maupun perdata yang dilakukan oleh pemerintah dan penegakan hukum tidak serius. Lebih menyedihkan lagi, jika mencermati vonis yang dikeluarkan hakim," kata dia.
Menjerat pelaku dan pihak yang bertanggung jawab hanya dapat dilakukan melalui proses hukum, termasuk apabila negara ingin menerapkan sistem reimburse.
Hingga kini penegakan hukum terkait kasus pembakaran lahan dan hutan bukanlah perkara mudah karena secara pidana harus memiliki bukti, kemudian secara perdata harus ada unsur kerugian, sementara secara administrasi harus ada bukti pelanggaran perizinan sesuai dengan perjanjian.
Namun, terlepas dari persoalan itu, tentunya rakyat tidak ingin uang negara dihabiskan untuk memadamkan kebakaran lahan akibat tindakan pihak yang tidak bertanggung jawab karena sejatinya masih banyak kegiatan lain yang membutuhkan dukungan dana dari pemerintah.