Palembang (ANTARA Sumsel) - Saksi Ahmad Marhaen selaku penasehat hukum pengusaha properti HM Muhdi (pelapor) membenarkan bahwa Direktur Apartemen Orchid Hartono Gunawan selaku terdakwa penipuan pemberian giro kosong memiliki hutang senilai Rp2,03 miliar.
Saksi di hadapkan Jaksa penutut umum di Pengadilan Negeri Palembang, Senin, dimintai keterangan karena dipandang mengetahui mengenai perkara itu.
"Saya menjadi kuasa hukum HM Muhdi sejak tahun 2011 sehingga mengetahui persis proses kerja sama dengan PT SBC yang Direktur Utamanya Hartono Gunawan," kata Ahmad Marhaen di hadapan majelis hakim diketuai Ali Makki.
Ia mengemukakan, mengetahui kedatangan Hartono Gunawan ke RS Pertamina (tempat HM Muhdi dirawat) untuk meminjam uang pada Oktober 2011.
Kemudian, menyaksikan pemberian uang secara bertahap kepada terdakwa dengan total Rp2,03 miliar.
Menurutnya, setiap penyerahan uang itu disertakan tanda terima. Namun, saat jatuh tempo pengembalian, terdakwa selalu menghindar dan tidak mau bekerja sama karena informasi yang diterima HM Muhdi bahwa rekening PT SBC selalu kosong.
"Setiap akan mencairkan giro, Muhdi selalu menanyakan ke pihak PT SBC apakah ada uangnya," katanya.
Lantaran tidak ada itikad baik, ia pun diminta mengirimkan somasi ke PT SBC untuk segera membayar hutang.
"Karena sudah menunggu cukup lama tidak ada kepastiaan, akhirnya Muhdi mencairkan giro dan terbukti memang kosong. Setelah itu barulah membuat laporan polisi," katanya.
Sementara, majelis hakim mengatakan akan mempertimbangkan keterangan saksi itu, dan persidangan akan dilanjutkan pada Senin (2/9) dengan agenda yang sama.
Kedua terdakwa telah mendekam di Rumah Tahanan Kelas I Palembang sejak 17 Juni 2013 atas laporan pengusaha properti HM Muhdi Abu Bakar, karena menerima pembayaran hutang dalam bentuk giro kosong senilai Rp2,03 miliar.
Jaksa penuntut umum Dahasril dalam dakwaannya menyatakan bahwa terdakwa dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang, memberi hutang, atau menghapus hutang piutang pada periode November-Desember 2011.
Dalam dakwaan itu dipaparkan aksi terdakwa diawali berkenalan dengan HM Muhdi Abu Bakar selaku Komisaris Utama PT Sukses Bersama Centerpoin, dan mengajak bekerja sama untuk pembangunan Orchid Residence Apartemen di Palembang yang dijanjikan bakal menjadi apartemen mewah pertama di kota itu.
Untuk meyakinkan korban, Hartono Gunawan membeli saham PT Sukses Bersama Centerpoint dan sepenuhnya diambil alih Hartono dan Petrus untuk menjalankannya.
Namun, untuk menjalankan aksinya agar pembangunan Orchid tetap berjalan, kedua tersangka ini meminjam uang kepada HM Muhdi Abu Bakar dengan total Rp2,1 miliar.
Pinjaman kemudian dibayarkan dengan 14 lembar giro Bank BCA dan 10 lembar Bank Mandiri, ternyata setelah dicairkan tidak terdapat dananya.
Berdasarkan perbuatan terdakwa ini maka jaksa penuntut umum mengenakan hukuman pidana Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pembangunan Apartemen Orchid menuai masalah karena pengembang mengalami kesulitan dana, sehingga merugikan sekitar 150 orang pembeli yang terlanjur telah menyerahkan uang muka berkisar puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menetapkan pada 18 Maret 2013 agar pengembang mengajukan rencana perdamaian dengan para pembeli berupa penggantian kerugian, mengingat target penyelesaian pada Desember 2011 tidak tercapai.
Saksi di hadapkan Jaksa penutut umum di Pengadilan Negeri Palembang, Senin, dimintai keterangan karena dipandang mengetahui mengenai perkara itu.
"Saya menjadi kuasa hukum HM Muhdi sejak tahun 2011 sehingga mengetahui persis proses kerja sama dengan PT SBC yang Direktur Utamanya Hartono Gunawan," kata Ahmad Marhaen di hadapan majelis hakim diketuai Ali Makki.
Ia mengemukakan, mengetahui kedatangan Hartono Gunawan ke RS Pertamina (tempat HM Muhdi dirawat) untuk meminjam uang pada Oktober 2011.
Kemudian, menyaksikan pemberian uang secara bertahap kepada terdakwa dengan total Rp2,03 miliar.
Menurutnya, setiap penyerahan uang itu disertakan tanda terima. Namun, saat jatuh tempo pengembalian, terdakwa selalu menghindar dan tidak mau bekerja sama karena informasi yang diterima HM Muhdi bahwa rekening PT SBC selalu kosong.
"Setiap akan mencairkan giro, Muhdi selalu menanyakan ke pihak PT SBC apakah ada uangnya," katanya.
Lantaran tidak ada itikad baik, ia pun diminta mengirimkan somasi ke PT SBC untuk segera membayar hutang.
"Karena sudah menunggu cukup lama tidak ada kepastiaan, akhirnya Muhdi mencairkan giro dan terbukti memang kosong. Setelah itu barulah membuat laporan polisi," katanya.
Sementara, majelis hakim mengatakan akan mempertimbangkan keterangan saksi itu, dan persidangan akan dilanjutkan pada Senin (2/9) dengan agenda yang sama.
Kedua terdakwa telah mendekam di Rumah Tahanan Kelas I Palembang sejak 17 Juni 2013 atas laporan pengusaha properti HM Muhdi Abu Bakar, karena menerima pembayaran hutang dalam bentuk giro kosong senilai Rp2,03 miliar.
Jaksa penuntut umum Dahasril dalam dakwaannya menyatakan bahwa terdakwa dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang, memberi hutang, atau menghapus hutang piutang pada periode November-Desember 2011.
Dalam dakwaan itu dipaparkan aksi terdakwa diawali berkenalan dengan HM Muhdi Abu Bakar selaku Komisaris Utama PT Sukses Bersama Centerpoin, dan mengajak bekerja sama untuk pembangunan Orchid Residence Apartemen di Palembang yang dijanjikan bakal menjadi apartemen mewah pertama di kota itu.
Untuk meyakinkan korban, Hartono Gunawan membeli saham PT Sukses Bersama Centerpoint dan sepenuhnya diambil alih Hartono dan Petrus untuk menjalankannya.
Namun, untuk menjalankan aksinya agar pembangunan Orchid tetap berjalan, kedua tersangka ini meminjam uang kepada HM Muhdi Abu Bakar dengan total Rp2,1 miliar.
Pinjaman kemudian dibayarkan dengan 14 lembar giro Bank BCA dan 10 lembar Bank Mandiri, ternyata setelah dicairkan tidak terdapat dananya.
Berdasarkan perbuatan terdakwa ini maka jaksa penuntut umum mengenakan hukuman pidana Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pembangunan Apartemen Orchid menuai masalah karena pengembang mengalami kesulitan dana, sehingga merugikan sekitar 150 orang pembeli yang terlanjur telah menyerahkan uang muka berkisar puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menetapkan pada 18 Maret 2013 agar pengembang mengajukan rencana perdamaian dengan para pembeli berupa penggantian kerugian, mengingat target penyelesaian pada Desember 2011 tidak tercapai.